3. You and The White Cat Under The Rain

252 22 10
                                    

Hujan menguyur kota Jakarta dengan deras. Ah, sial. Ini mendadak sekali. Aku tidak membawa payung, jaket, atau benda apa pun yang bisa kujadikan untuk melindungi tubuhku. Yang ada hanyalah tasku. Buru-buru aku mempercepat langkahku, dan berteduh di sebuah kafe yang tengah tutup.

Aku mengibas-ngibaskan rambutku yang kena tempias air hujan. Mendongak menatap langit yang kelam, aku menghela napas. Sepertinya hujan ini akan berlangsung lama. Kulirik benda mungil yang melingkari pergelangan tanganku. Sudah pukul lima sore. Sampai kapan aku akan menunggu..

"Meow!"

Aku menoleh ke asal suara, mendapati seekor kucing putih persia sedang mengeong, menjilat-jilat bulunya. Aku menoleh kiri-kanan. Hanya aku seorang di sana. Darimana kucing ini datang?

Aku membungkuk, mengelus-elus kucing putih itu, menatapnya iba. "Astaga, kau tersesat? Atau ada yang membuangmu? Aigoo.."

"Aku tidak tersesat. Aku malah sedang menunggu Tuanku."

Reflek seribu reflek, aku segera melempar kucing itu dari pelukanku, melangkah mundur. Anggap saja aku orang gila, atau penglihatan serta pendengaranku rusak. Barusan, kucing itu bicara? Bicara? BICARA?? Bicara seperti manusia? Apa kau bercanda? Itu mustahil!

Sibuk-sibuknya bergelut dengan logika, seseorang gadis sebaya denganku, berambut kepang dua, bergabung ke tempatku berteduh. Air mukanya datar. Sebuah kacamata bertengger di wajahnya. Aku menelan ludah saat gadis itu membungkuk, mengambil kucing aneh tersebut.

Dia menoleh padaku, tersenyum. Dan ketika aku mengedipkan mataku, gadis itu menghilang. Benar-benar hilang. Mataku melotot. Dapat kurasakan bulu kudukku berdiri.

Tanpa babibu, aku langsung menerobos derasnya hujan.

***

Hari PoV

Diharuskan jurusan IPA.

Demi membaca note kecil di ujung formulir itu, aku berdecak sebal. Padahal aku sempat senang sebelum membaca tulisan tersebut. Nah, dengan berat hati aku harus melepas keinginanku menjadi Ketos SMA Pelita Jaya. Kenapa? Karena aku sekarang berada di jurusan IPS. Pindah jurusan sekalipun takkan ada gunanya. Kenapa lagi? Karena aku-

"Sabar ya, Kawan. Daftar aja di lain waktu, tunggu dirimu pinter dulu." Sindir cowok yang duduk di sebelahku. Dia teman sebangkuku. Namanya Halu alias tukang ngehalu. Aneh, memang. Sama seperti namaku.

Aku mendengus, bersungut-sungut. "Kau bukannya ngedukung malah ngejatuhin. Temen macam apa sih kau?"

Halu nyengir, memasang wajah tanpa dosa. Aku tahu betul tabiat orang ini. Baginya, mengejekku adalah ruinitas harian yang mesti dilakukan-tiada puasa kecuali Hari Minggu. Itupun kalau Halu tidak main ke rumahku. Tapi, aku tidak keberatan diganggu olehnya. Kami sudah berteman sejak kelas satu. Sudah tahu seluk beluk kehidupan dan urusan asmara seperti gebetan, mantan berapa, sedang berpacaran dengan siapa-apakah ini penting?

"Terus kau mau belajar (pelajaran di IPA) sama siapa? Di kelas kita gak ada yang jago Kimia atau Fisika. Ditambah kau jurusan IPS lho, Ri. Mustahil plus not imposibel kalo kau tetep nekat ngedaftar. Apa lagi kau ini super duper polos." Kali ini Halu bertanya serius.

Aku menatap Halu kasihan. "Aku tahu nilai Bahasa Inggrismu hancur, Hal, aku tahu sekali. Makanya gak usah talk pake Inggris yak? Aku jadi geli."

"Wah, parah! Kamu ngejek aku ya? Gak bisa dibiarin nih!"

KRIING

Percakapan mereka berdua terhenti karena bel tanda istirahat berakhir, berbunyi nyaring. Murid-murid di dalam kantin tanpa basa-basi mulai beranjak pergi, menyisakan satu dua siswa yang masih belum menghabisi makanannya, termasuk aku dan Halu.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang