8. Goodbye Sugar, Hello Demon!

276 19 0
                                    

"Uh, lagi-lagi dia ya.. "

"Apa yang kalian harapkan? Jika masih ada sosok iblis itu di sekolah kita, jangan harap kita bisa masuk sepuluh besar."

"Wajahnya saja yang Gulali, kelakuannya kayak Setan."

Saat masih duduk di bangku SD, aku selalu mendapatkan juara satu. Padahal aku sudah berusaha keras untuk tidak terlalu mencolok, berpura-pura bodoh, mengisi asal jawaban di lembar soal. Kenapa aku tetap saja tidak bisa 'turun' sesekali? Apakah para guru tahu kalau 'mereka' menekan diriku?

Tahu apa mereka soal hidupku? Aku mempunyai pengetahuan yang luas itu karena hobiku membaca buku. Tapi bukan berarti aku kutu buku ya! Soalnya aku juga hobi memasak. Tapi bukan berarti juga kalo aku ini cewek ya! Cita-citaku memang mau jadi koki. Aku ini cowok seratus persen. Dan namaku, Dewa.

Setiap hari melangkah di koridor, telingaku selalu menangkap suara bisikan-bisikan murid-murid wajah asing sambil menatapku dengan tatapan jijik. Seolah-olah aku bukan manusia melainkan sampah yang berjalan. Itu benar-benar membuatku tertekan.

Aku pernah bertanya pada mereka soal 'kesalahan yang mungkin aku perbuat dan membuat mereka membenciku'. Namun, lagi-lagi yang kudapatkan hanyalah tatapan mencemooh dan kata-kata yang tak enak didengar. Serius, aku tidak tahu apa salahku sehingga aku diperlakukan begini.

"Hei hei, berhenti mengganggunya. Kau lupa kalo dia anak pemilik sekolah? Bisa kena skor kita kalo kau menyentuhnya secara terang-terangan begitu."

"Oh iya, aku lupa statusnya di sekolah ini. Maaf ya, Pangeran Manis. Lain kali kita main di 'luar' ya? Kakak akan bayar kamu seberapa banyak yang kamu mau."

Polos. Gampang terpengaruh. Lemah. Postur tubuh tak memadai. Semua itu membuatku tidak terlihat seperti seorang 'laki-laki' di mata mereka, tetapi anak TK yang gampang menurut. Jadi mereka seenak jidatnya 'menyentuhku' dengan rayuan sebuah permen gulali.

Entahlah. Aku sangat mencintai permen yang satu itu. Rasanya bak secarik kepahitan dalam kemanisan.

XXX

Waktu berlalu cepat. Tak kusangka aku sudah duduk di bangku SMP. Tapi, situasinya masih sama. Mendengar aku lulusan dari SD XXX, refleks semua murid di kelasku menatapku kaget dan saling berbisik-bisik dengan teman sebangku. Aku menundukkan kepala, pura-pura tak dengar.

"Ah! Aku sering mendengar namanya! Dia selalu menjuarai olimpiade tingkat daerah, provinsi, dan nasional. Dia juga juara satu berturut-turut."

"Gawat, kalau dia di kelas ini, kita gak bakal kebagian posisi nih."

"Kenapa sih dia mesti sekolah di sini sih?!!"

"Hei, kau ketinggalan berita ya? Ini 'kan SMP XXX, SMP Pamannya! Beliau juga kepala sekolah di sini. Mungkin saja Ayah serta Pamannya berkompromi dan memasukkannya ke sini."

"Anak Holkay plus genius memang beda yah."

"Tidak, lebih tepatnya, anak haram."

"Hei! Jangan sembarangan ngomong dong! Nanti kedengeran tuh ma yang lagi diomongin. Ngomong-ngomong, apa maksud kau bilang dia 'anak haram'?"

"Dasar kau ini! UP dong! Dia itu lahir saat kedua orangtuanya tidak ada hubungan apa-apa. Katanya cuman iseng, eh beneran ngandung. Terpaksa deh si bapak nikahi ibunya. Yah, kata orang ibunya kaya raya sih."

"Oh! Jadi maksudmu ayahnya cuman demen harta ibunya?"

Menggelikan. Aku seperti tidak sedang di kelas. Kenapa panas sekali di sini? Apa kelas ini aslinya neraka? Ah, gerah. Mau keluar. Mau keluar. Mau keluar. Kenapa kakiku tak bisa bergerak? Dan, eh? Apa ini? Air mata? Haaa, cengeng sekali aku ini. Masa diejek begini aku menangis. Kamu cowok loh, Wa!

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang