3. Hans dan Boneka

270 21 9
                                    

"Enggak mau!" Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun memberontak saat teman-temannya memaksa untuk bermain boneka. "Lagi pula aku kan cowok!" serunya.

"Ah ... kau ini! Lihatlah! Mereka juga cowok dan tetap bermain. Hanya kali ini saja," pinta anak itu. Ia bernama Hazel. Gadis cantik berambut pirang dengan mata biru terang. Sedangkan anak yang sedang berhadapan dengannya adalah Hans. Anak laki-laki pendek dan lucu yang berambut gelap dengan mata senada.

"Enggak! Kubilang enggak ya enggak!" Hans terus bersikeras menolak ajakan Hazel. Teman-temannya yang lain kini ikut memaksanya.

"Hei! Ayolah, Hans! Bukankah momen ini sangat jarang terjadi? Momen saat kita berdelapan berkumpul bersama saat merayakan ulang tahun Hazel?" Heinrich, sahabat terdekat Hans ikut memaksa.

"Apa kau punya masalah dengan boneka?" tanya Gerald asal namun ternyata tepat sasaran. Hans mengangguk samar.

"Aku mengidap pediophobia. Phobia boneka," jawab Hans lemas. Semburat merah kini terlihat jelas di pipinya.

Angel berkomentar. "Apa kau malu? Pipimu merah, loh." Tawa langsung terdengar saat komentar polos Angel terlontar dari bibir mungilnya.

Garry dan Harry merangkul Hans dengan senyuman khas mereka. "Tak apa. Maafkan kami karena memaksamu bermain dengan ketakutanmu."

Heinrich berjalan mendekati sahabatnya, membuka lengannya lebar untuk memberikan pelukan terhadap Hans. Mereka bersatu dalam pelukan persahabatan yang hangat dan tak terkalahkan.

Hanya Rochelle yang tetap diam di posisi awal. Ia menatap Hans dengan tatapan yang sulit diartikan. Beberapa saat kemudian, ia tersenyum.

---

Sebuah boneka raksasa kini sedang mengejar Hans. Di tengah kegelapan malam, hanya ada Hans dan boneka itu di sana. Hans hanya bisa berlari dan terus berlari untuk menghindari serangan boneka anak-anak dengan penuh luka menyeramkan itu. Boneka itu lebih dari kata 'sangat menyeramkan' bagi Hans.

Hans bersembunyi di dalam tong, berusaha menetralkan napasnya yang terengah-engah. Ia sangat ketakutan. Hans terus berharap agar boneka itu cepat pergi meninggalkannya.

Harapan selalu indah, namun kenyataan selalu pahit. Tong yang ditempati Hans seperti ditarik ke atas oleh sesuatu. Saat ia mengintip ke luar, ternyata boneka itu sudah menemukannya. Boneka itu memasang senyum yang amat menyeramkan. Hans mual, ia sungguh pusing. Kepalanya berputar dengan sangat cepat. Boneka itu kemudian melemparnya ke dalam luasnya air danau.

Byuur!

"Aaaaaahhhh!!!" Hans berteriak dan terbangun. Sepertinya mimpi buruk itu masih terus menghantuinya. Sudah empat tahun ia seperti ini. Hidup dalam ketakutan luar biasa terhadap boneka.

Ia merasa aneh. Ada sesuatu yang basah dan bau di area selangkangannya. Ia melihat ke tempat di mana basah dan bau itu berasal.

"A-aku ... mengompol?!" teriak Hans histeris.

"APA?!" Mama Hans menjerit tak kalah histeris. Entah sejak kapan Helena, Mama Hans, sudah berdiri di depan pintu. "Astaga, Hans! Kamu sudah besar, loh! Sudah sepuluh tahun masa masih ngompol?!" omel Helena.

Hans menunduk malu. "Maaf, Ma. Tadi Hans mimpi itu lagi," ujarnya penuh penyesalan. Hati Helena langsung luluh melihatnya. Ia mengelus pucuk kepala anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.

"Kamu mimpi itu lagi, ya? Bersabarlah, Hans! Mama tau kamu kuat. Sekarang, kamu ganti celana, biar Mama yang ganti kasurnya. Oke?"

Hans tersenyum ceria. "Oke, Ma!"

---

Pagi ini, mata Hans tampak begitu bengkak. Setelah kejadian semalam, ia tak bisa tidur sama sekali. Ia masih dalam keadaan terjaga dari jam satu dini hari sampai jam tujuh pagi. Helena yang melihat langsung mengintrogasinya.

"Nama?"

"Hans."

"Umur?"

"Sepuluh."

"Gender?"

"BANCI! Mama apa-apaan sih?!" Hans berseru kesal. Ia menggembungkan pipinya.

Helena terkekeh pelan. "Kamu gak tidur habis mimpi semalam?" tanya Helena to the point.

Hans mengangguk pelan. Ia berjalan ke meja makan sambil mengusap mata yang bengkak. "Hari ini makan apa, Ma?" tanya Hans lemah.

Ibu tersenyum jahil. "Makan daging Hans Morgan." Hans melotot, berhasil membuat ibunya tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat kemudian, ruangan ini dipenuhi oleh tawa.

"Berisik amat, sih!" protes Andryan, Papa Hans, membuat Helena dan Hans segera bungkam.

Helena mengacungkan dua jari berbentuk V. "Piss dame," ujarnya, mencoba sekonyol mungkin.

Andryan kembali ke rutinitasnya, membaca koran sembari berkata, "Garing, Len. Oh, ya! Kita dapet kiriman paket entah dari siapa. Hans, coba buka isinya!" Hans menurut.

Melihat suaminya yang berbicara tanpa menghadap ke orang lain membuat Helena berkomentar, "Kalau ngomong lihat orangnya, Sayang."

Andryan membuat bola mata. "Iya, iya."

Bruuk!

Suara berdebum menggema cukup kuat di ruangan itu. Andryan dan Helena segera melihat ke asal suara.

"HANS!!!" teriak keduanya begitu melihat kondisi anak semata wayang mereka yang tak sadarkan diri. Mereka melihat kotak yang baru setengah dibuka, kemudian membuka sepenuhnya.

Alangkah terkejutnya mereka melihat isi dari kotak itu adalah boneka anak laki-laki dengan luka di sekujur tubuh. Boneka itu terlihat sangat menyeramkan bagi mereka.

Boneka itu kemudian menatap mata kedua orang tua Hans, kemudian tersenyum mengerikan.

---END---

Pediophobia:

Pediophobia adalah ketakutan akan boneka. Karena boneka dialihkan ke anak-anak, pediophobia diderita terutama oleh anak-anak. Seseorang dengan pediophobia biasanya akan menyembunyikan boneka yang mereka temui atau menolak untuk mendekati boneka. Jika mereka mendekati boneka, mereka mungkin merasa malu dengan reaksi mereka, gemetaran, detak jantung yang meningkat, ketidakmampuan untuk berbicara atau berpikir jernih, panik, takut, sesak napas, menangis, dan mual. Dalam kasus yang lebih buruk, seseorang akan kehilangan kendali atau amarah, jantung berdebar-debar, sensasi lepas dari kenyataan, atau serangan kecemasan yang hebat

Sumber: Wikipedia

Penulis : Shiro_Crispy

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang