Subtema : LDR
Aku menatap layar HP-ku, lagi. Kira-kira sudah berapa kali aku membuka layar kunci, mengetikkan sandi, dan membuka aplikasi pesan bernama Wattsapp itu. Tapi, tetap tidak ada notifikasi dari pengisi hatiku ini. Aku galau karena jarak kami.
Ini bukan seperti orang pacaran beda universitas atau beda kota, tapi kami beda negara. Tidak, tidak, lebih tepatnya beda benua.
Jika kubandingkan waktuku dengan waktu tempat dia berada, berbeda lima jam. Jika di sini jam sembilan, itu artinya di sana sudah jam empat sore. Dia berada di negeri kincir angin, sedangkan aku di negeri micin—maksudku Indonesia.
Kami sudah berpisah kira-kira selama empat bulan. Dia memutuskan berangkat lebih cepat untuk memudahkannya beradaptasi dengan lingkungan empat musim itu. Dan selama itu, pesan yang kuterima semakin sedikit, waktu menelepon berkurang, dan sudah sebulan kami tidak bertatap wajah melalui video call. Dia bilang dia sibuk dengan kursus bahasanya dan pekerjaan sampingan. Aku mencoba memahami itu.
Krieet.
Karena melamun, aku tidak sadar adikku—Nina—menyelinap ke lemari untuk mengambil satu dus HVS-ku. Ini sudah yang ke-berapa kali aksinya untuk mengambil HVS-ku dalam seminggu.
“Ninaaa! Itu punya Kakak!” Aku langsung menghampirinya.
“Ih, kan itu masih ada satu dus lagi, Kak! Kak Yudha juga gak butuh, kan?” Nina memegang erat tumpukan HVS di tangannya. Dia menatapku tajam.
Ya ampun, adikku menatapku seperti ini ... sakit rasanya....
“Iya sih, Nina. Kamu gak salah. Tapi, kamu sendiri udah berapa kertas di kamarmu? Ratusan? Ribuan? Kayak tongo aja.”
Nina melepas tatapannya dan berganti dengan cengiran, sambil menenteng HVS-nya. “Aku mau membuat lautan kertas. Jadi, butuh buaanyak!”
“Itu kamarmu aja sudah gak bisa dimasukkin Mama atau aku lagi! Itu udah penuh, over, dek!” protesku dan meraih HVS di tangannya. Aku mengembalikannya ke dalam lemari. “Lagi pula, untuk apa kamu buat lautan kertas?”
“Habisnya, gambar Nina gak ada yang bagus! Kalau gambar di buku gambar, kertasnya gak cukup. Nina kan ingin seperti Kakak ...,” lirih Nina. Dia mengusap matanya, meski tidak ada yang menetes dari matanya. Apakah ini hasil dari latihan di depan cermin setiap hari?
Adikku memang hebat.
Aku berjongkok untuk menyamai tinggi Nina dan mengusap kepalanya. “Nina, kertas itu terbuat dari kayu, sedangkan saat ini pohon tidak sebanyak dulu, makanya kita harus menggunakannya sebaik mungkin. Kalau jumlah pohon menipis, kasihan cucu cicit kita. Nanti banyak bencana karena tidak ada pohon lagi, lho.”
Wah, kata-kataku boleh juga nih.
“Terus, aku gambar di mana? Tembok?” tanya Nina sambil memiringkan kepalanya.
Aku menghela napas. Sebenarnya dulu aku suka menggambar di tembok, sih, tapi kena oceh ibu. Kalau sekarang Nina begitu, tetap aku yang kena marah.
“Untuk menggambar kamu bisa pakai aplikasi. Nanti Kakak ajarin, deh.” Aku mencubit gemas pipinya, tapi tumben dia tidak memberontak.
“Jadi, Kak Yudha akan menikah dengan Kak Rika?” tanya Nina dadakan. Setelah sekian banyak yang kukatakan, kenapa dia bertanya itu?
Kalau kamu mau jawabannya, akan kujawab. Aku ...
“... gak tahu.”
Sial, pasti aku terlihat menyedihkan di depan Nina. Aku juga malah melirik ponselku. Padahal aku tahu dengan pasti tidak ada notifikasi darinya.
Tiba-tiba, Nina mencoba mengelus kepalaku. Dia tersenyum padaku. “Kakak kan sering mengelusku ketika aku sedih atau senang. Aku selalu merasa lega setelahnya.”
Tidak keren kan jika aku menangis di depan adikku?
“Makasih ... Nina.”
Apa aku sudah memberikan senyumku yang terbaik dan manis? Atau terlihat kaku dan sendu di mata Nina?
Tapi, Nina keluar begitu saja, tanpa mengatakan apa-apa lagi.
“Terima kasih, Nina,” ucapku begitu Nina menutup pintu kamarku.
Aku kembali memandang kertas kartonku yang masih kosong. Karena terlalu sibuk melamun dan melihat HP, aku sampai lupa menyentuh kertas yang harus dikumpulkan besok itu.
Sepertinya ... aku menyesal menerima begitu saja keputusan sepihak darinya. Waktu itu aku terlalu bahagia karena dia menerimaku yang stidak seberapa ini.
Tapi, rasa bernama rindu ini menyebalkan. Aku tidak suka melihat wajahnya hanya dari balik layar, begitu juga dengan suaranya yang hanya bisa kurekam dan kuputar berulang kali.
Aku tahu dia pergi sejauh itu demi mimpi, tapi memberi kabar saja jarang. Aku tidak mau egois, tapi dia terus membuatku khawatir dengan dugaan-dugaan negatif, seperti perselingkuhan. Terkadang, aku jadi merasa rendah. Apa hanya aku yang merindukannya?
Apa hanya aku ... yang mencintainya?
Sudahlah ... mau kupikirkan sebanyak apa pun, aku masih harus menuntaskan tugas ini. Tugas kali ini adalah menggambar wajah. Aku ingin menggambar wajah Rika dan menunjukkannya setelah selesai. Semoga saja, dia menyukainya....
Ting!
Aku dengan gesit meraih ponselku dan membuka WattsApp. Ternyata itu dari Rika! Aku pun membuka pesannya. Baru saja ingin menggambar, pesan darinya malah tiba. Ini kah namanya budak cinta alias bucin? Masa bodo ah!
Aku membaca isinya: Maaf, aku baru pulang.
Hanya begitu? Aku pun membalas pesannya: Gapapa. Kamu udah makan?
Aku meletakkan HP-ku dan mengambil pensil yang sudah tinggal setengah dari bentuk aslinya. Aku mulai menggerakan tanganku dengan gesit. Satu pesan darinya—walau singkat—berarti banyak untukku.
“Dasar bodoh! Lo itu udah dikhianati tahu! Sadar, bro!”
Cih, aku teringat perkataan temanku lagi. Aku tahu, memiliki hubungan seperti ini memang tidak mudah. Banyak godaan, kritikan, dan pengganggu dari sekitar. Tapi, kalau tidak bisa melewatinya, aku tidak pantas menjalin hubungan.
Aku tidak pantas untuk tersenyum di hadapannya lagi. Aku tidak pantas ... memasukkan cincin ke jari manisnya.
Rika ... kita pasti bisa kan melalui semua ini?**
Belanda, Oktober 2022 (3rd’s POV).
Perempuan berkuncir satu dengan syal biru itu sedang terduduk di bangku taman. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan bernapas sesekali dengan mulutnya.
Sekitar setengah jam dia sudah duduk di sana, bertemankan dengan secangkir kopi dan roti dari toko roti tempatnya bekerja sampingan. Dia belum makan siang karena terburu-buru ke tempat ini.
Drrrtt.
Getaran dari saku jaketnya, membuat perempuan itu mengambil ponselnya. Dia melihat nama pengirim pesan tersebut dan menekan tombol kunci ponselnya, kemudian memasukkan kembali ke dalam saku jaketnya.
Perempuan itu menengadah ke langit. Siang ini cerah, dibandingkan dengan tadi pagi. Suasana hatinya pun lebih cerah dari kemarin.
“Rika! I’m sorry for being late on our first date.”
Perempuan itu menurunkan pandangannya dan mencari sang pemanggil. Dia tersenyum mendapati pria pirang dengan manik biru di depannya.
“It’s okay, I just arrived too, Harry.”
Sang pria menjulurkan tangan kanannya dan disambut oleh sang perempuan. Keduanya menautkan tangan dan melangkah bersama di atas daun yang sudah gugur.
Tanpa sang daun tahu bahwa dia telah diinjak-injak oleh orang yang tidak pernah memandangnya.
Fin.
Penulis
s-elEVEN
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 10 Days ✔
KurzgeschichtenAdalah sebuah project rutin grup kepenulisan FLC. Yaitu member akan membuat sebuah karya cerpen dalam jangka waktu 10 hari. Cover spektakuler dari salah satu mem kami : @Kuroyuki01