3. Semua untuk Anakku

304 20 6
                                    

Ketika usiaku menua dan tubuhku bertambah ringkih, aku tak ingin anakku seperti itu.

Hidupku jauh dari kata sempurna. Di masa mudaku, aku pemuda tampan dengan prestasi gemilang. Apakah itu berlebihan? Tidak juga. Aku memang tak pernah absen dari peringkat 5 besar di sekolahku. Lalu semua itu terjadi, kedua orang tuaku cerai. Aku tinggal bersama Ayah yang sering dinas di luar kota. Kehidupanku tak sama lagi sejak saat itu.

Benar kata orang: hidup sebagai anak dalam kondisi broken home tidaklah mudah. Ketika duduk di bangku SMA, aku mulai kehilangan keinginanku untuk belajar. Aku memilih bergaul sampai malam hingga prestasiku merosot drastis. Bahkan hal itu berlanjut hingga kuliah. Surat peringatan sampai dalam amplop rapi di garasi rumahku. Pipiku membara berkat tapak berbentuk tangan yang membekas kuat dalam ingatan.

“Pergi kau dari sini! Kau hanya jadi aib bagi keluarga!”

Satu-satunya keluargaku, Ayah, mendepakku dari rumah. Akhirnya aku menikahi pacarku namun  hidupku masih tak mudah. Ia kabur setelah melahirkan putraku satu-satunya. Entah apa yang merasuki pikirannya hingga ia tega mengkhianatiku tanpa sebab.

Kini usiaku sudah menginjak kepala tiga, kurang beberapa tahun sebelum sampai kepala empat. Itu pun jika Tuhan tidak memanggilku pulang lebih cepat.

Putraku satu-satunya, Riza, kini sudah menginjak bangku SMP kelas 3. Semua tetangga berkata, ia persis sekali dengan bapaknya. Di sisi lain, aku tak ingin dia seperti diriku yang hanya admin pabrik sablon tamatan SMA.

“Pak, beliin HP bagus. Temen-temen Riza pada main PUBG. Masa HP-ku kayak HP mainan gini?” bujuk Riza sesampainya aku dari pabrik.

“Bapak gak punya uang. Kalo Bapak beliin HP baru, siapa yang bayar cicilan rumah sama uang sekolah Riza?”

“Pokoknya Riza gak mau sekolah kalo gak dibeliin HP baru!” rengek Riza.

“Riza. Kemaren Bapak kena tegur sama TU sekolahmu gara-gara telat bayar SPP. Nanti kalo Bapak beliin HP, bayar uang SPP-nya gimana? Gimana kalo gak bisa ikut ujian?”

Riza banting pintu kamarnya. Kami memang tinggal di sepetak rumah KPR tipe 36 yang hanya punya dua kamar. Untung saja aku bisa mendapat info lelang dari bank sehingga tak perlu lagi mengontrak. Cukup overcredit dari pemilik rumah sebelumnya yang tertangkap kasus korupsi dan belum lunas mencicil rumah. Punya rumah kecil saja aku bersyukur apalagi bisa sampai menyekolahkan Riza hingga perguruan tinggi. Sayangnya, adat anak-anak zaman sekarang banyak rupanya.

******

Akhirnya aku belikan HP baru untuk Riza. Itu pun dengan berhutang pada HRD-ku untuk sementara. Uangku sudah habis untuk lunasi cicilan rumah, uang SPP, dan biaya makan sehari-hari. Motor yang kupakai bekerja ini satu-satunya benda milikku setelah diusir dari rumah. Aku langsung belikan HP baru sepulang kerja.

Riza justru sibuk bermain game sepulang sekolah. Itu pun setelah membeli pulsa di warung tetangga.

“Nak, masa main game sih? Semester depan itu UN lho.”

“Males,” balas Riza sambil bersandar malas di atas sofa tua rumah. “Lagi asyik nih!”

Dia lebih membalas voice chat pemain lain daripada sentuh buku-buku pelajaran di dalam tasnya. Hati kecilku meringis seiring dengan desing peluru dari speaker HP-nya yang tiada henti.

“Gimana kalo gak sekolah? Kerja di pabrik Bapak aja minimal tamatan SMA. Itu pun jadi helper buat sablon kaos.”

Riza mendengus.

“Ah, bacot! Jadi aja gagal chicken dinner!”

“Riza Febriansyah! Kamu ini anak sekolahan ato bukan sih? Ngomong kayak preman pasar gitu! Masuk ke kamar!”

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang