21. Kelulusanku di Tahun 2019

426 20 0
                                    

Kilas Balik dan Masa Kini, Selepas Wisuda

Sinopsis: Setiap awal pasti memiliki akhir, begitu pun pertemuan manis pasti akan bersua dengan pahitnya perpisahan. Perpisahan itu tidak selalu buruk, kau tahu? Masih ada hal-hal baik untuk dikenang. Aku menulis memoar singkat tentang kilas balik hidupku selama 14 tahun belakangan dengan mengerahkan segenap efeksi terkait kelulusanku tahun ini. Meski aku tidak dapat memastikan apakah luapan perasaanku akan mencapai relung hatimu dan menjangkau yang lain, tidak ada salahnya mencoba daripada tidak sama sekali, bukan? Aku tidak ingin kenangan dan ingatan tentang perasaan itu ditelan sang waktu, lenyap tanpa meninggalkan kesan.

Aku akan menunjukkanmu sekelumit bagian dari isi kepalaku. Kencangkan sabuk pengamanmu dan kita akan segera berangkat!

. . .

Sebelumnya, aku cuma anak kecil polos yang banyak memendam keingintahuan dalam benak. Dulu sekali, aku seringkali bertanya-tanya setiap melihat lembar jawaban yang tertumpuk atau berceceran di meja kerja ayahku. “Keren, ya, anak SMA ulangan nggak pakai soal! Jawab pilihan gandanya pakai perkiraan terus uraiannya pasti ngarang, aku sih pasti gak bisa nebak-nebak sama bikin jawaban sendiri begitu. Emangnya main kartu sama suitan? Untung aja, aku ulangannya pakai soal.” Begitu pikirku. Aku berspekulasi aneh sebab ayahku yang notabenenya guru tidak pernah menyatukan teks soal dengan lembar jawabannya, kalau aku yang sudah bisa berpikir logis di zaman sekarang pasti akan menerka bahwa ayahku tidak membawanya pulang, sengaja ditinggalkan di sekolah. Kisaran kelas 1 atau 2 SD, memang belum saatnya menggunakan lembar jawaban uraian.

“Siapa yang menyangka kelak nantinya aku akan kecanduan dunia fiksi dan ditenggelamkan pesona memabukkannya?”

Herannnya, aku sangat penasaran tapi tidak pernah menyampaikannya, mengajukan pertanyaan agar kuriositasku lekas terpenuhi.

Sebelum ini, aku adalah seorang bocah lugu lagi jujur yang masih bersih dari dosa. Dikasih tugas mencatat apa saja kegiatanku di hari Minggu, aku tulis seadanya, polos tanpa sepercik pun polesan sampai ada beberapa coretan tinta merah milik wali kelasku karena saat itu sholatku masih bolong-bolong, malah hampir tidak menunaikkannya sama sekali kalau bukan di sekolah.

Bahkan hingga kini, aku tetaplah seorang gadis naif. Yang menutup mata dari sisi kelam dunia.

Yah, aku memang betulan takut dosa walaupun terkadang aku membuat kebohongan kecil-kecilan jika ibuku mendadak berlaku sebagai aparat kepolisian dan aku adalah tersangka yang mengerut ketakutan karena terpojokkan oleh situasi. Beliau seringkali melancarkan pertanyaan variatif yang menurutku sangat mengintimidasi dan dipenuhi teror (karena aku memang bersalah) sepulangnya aku dari sekolah. Misalnya, “Tadi pas di sekolah jajan apa aja? Uangnya dihabisin semua atau masih nyisa? Nggak nyolong-nyolong beli es,’kan?”

Jujur, aku beli es. Aku makan permen. Intinya aku jajan sembarangan. Dan kapan memoarku ini berhenti jadi lapak pengakuan dosa?

Mamah kalo baca ini ... jangan marah, ya!

Dahulu, aku adalah bentuk nyata seorang gadis cengeng baru masuk SD yang menangis keras-keras cuma gara-gara tutup tupperware-nya yang disembunyikan teman laki-laki yang jahil dan sedang iseng sampai akhirnya kami harus digiring ke ruang guru untuk didamaikan (secara terang-terangan temanku itu menabuh genderang perang dengan wajah jengkelnya dan yang kulakukan jelas-jelas memprovokasi guruku dengan melayangkan tatapan pilu yang memancing simpati orang dewasa sehingga mau tidak mau dia harus menawarkan untuk berjabat tangan duluan sambil membuang muka, ikhlas tak ikhlas mengibarkan bendera putih). Sekarang, aku malah berkali-kali lipat lebih sensitif karena otakku memproses hal-hal yang bahkan menurutmu remeh temeh menjadi beberapa kali lipat lebih kompleks.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang