5. Erika

248 23 1
                                    

Klinting...

Bunyi bel di atas daun pintu terbunyi. Saat itu aku yang setengah tertidur segera terbangun akibat ulahnya. Kuperhatikan cermin datar di dalam laci, apa masih ada sedikit tahi di lipatan mata atau tidak.

“Eh, benar ini kan kedainya?”

Seseorang menggumam dari luar pintu. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kurasa dia sedikit kebingungan dengan tempat ini. Belum sempat aku berdiri dari kursiku. Secara perlahan dan berhati-hati dia pun menjejakkan kakinya masuk ke dalam kedai.

“Permisi,” bisiknya pelan seraya menolehkan kepalanya kiri dan kanan mewaspadai sesuatu.

Aku terus memperhatikan langkah pemuda itu sampai akhirnya dia terduduk pada salah satu kursi di samping jendela. Segera saja aku memutar frekuensi dari penangkap gelombang suara supaya bisa mendengar percakapannya dengan jelas. Kulihat pria itu masih memilih menu apa yang dia inginkan.

Setelah menuliskan pesanannya di secarik kertas, dia mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan. Secara tiba-tiba, kulihat dia membeku. Si pelayan perempuan memandang pemuda di hadapannya heran. Dipanggilnya berkali-kali pemuda itu, namun tak ada respon yang dia tunjukkan padanya. Menggelengkan kepala, si pelayan itu mengambil kertas pesanan dan buku menu yang ada di atas meja tersebut.

Begitu pelayan itu pergi meninggalkannya. Pemuda tersebut tampaknya sedikit gelisah. Tangan dan tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Napasnya cukup tak beraturan bak pelari marathon yang hampir mencapai garisa akhir.

Aku masih mencoba membuka suaraku untuk melihat reaksinya.

Ada yang bisa saya bantu?”

Pemuda itu celingukan. Matanya yang kecil mendelik tajam mencari siapa yang baru saja mengajaknya bicara. Setelah puas tidak mendapatkan jawaban, dia berangsur-angsur duduk normal kembali menatap boneka yang ada di seberang kursi yang saling berhadapan di tiap-tiap meja.

“Ini benar kedai yang itu, kan?”

Smart doll yang sengaja ditaruh di sana oleh pemilik kedai menganggukkan kepalanya ketika aku juga melakukan hal serupa.

Wajahnya sedikit kusut manakala dia menatap keluar jendela. Gigi-giginya bergemelatuk entah karena alasan apa. Jemari tangannya mengetuk meja sebagai pertanda dia tidak nyaman berada di sana.

Terkadang gelagatnya sedikit membuatku tertawa. Tapi begitu matanya menatap serius smart doll tersebut, aku berhenti tertawa.

Lama dia menggeser-geserkan pantatnya mencari posisi ternyaman yang dia miliki. Hingga pelayan datang membawa pesanan miliknya.

Kukira awalnya dia akan membeku lagi seperti tadi. Namun, dugaanku salah. Ketika pelayan laki-laki itu membawakan pesanan double shot espressonya. Dia bisa tersenyum ramah layaknya ibu-ibu yang mendapati label diskon 65% pada sebuah pameran.

“Selamat menikmati. Jika membutuhkan sesuatu bicaralah pada smart doll yang ada di hadapan anda. Permisi,” ujar si pelayan ramah dengan senyum merekahnya.

“Terima kasih.”

Pemuda itu menyeruput sedikit espresso miliknya. Rasa pahit-asam khas biji kopi robusta yang  mewarnai mulutnya tergambar jelas melalui ekspresi itu. Aku terus memperhatikan dengan detil tiap ekspresi, mimik, cara matanya melihat, jemari tangan yang tak bisa diam, semua tertangkap jelas di mataku.

Spontan, tetiba pemuda itu menangis sesenggukan. Bahkan cangkir tak bersalah di atas meja pun mendapat efek getar dari tangan dan kakinya. Sepertinya aku akan mendengar sebuah cerita darinya.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang