4. Badut di Hari Ibu

337 25 5
                                    

Lampu LED itu bersinar. Lensa kameranya mengarah pada sosok gadis yang sedang duduk dengan tegang. Di belakangnya, seorang wanita berpakaian dokter tersenyum dan menepuk pelan bahunya.

"Rileks saja, oke?"

Gadis itu mengangguk sebagai balasan.

Dokter wanita berjalan menuju kamera. Ia berdiri di belakang kamera sembari mengatur posisi yang tepat untuk lensanya.

"Kita mulai."

Sang gadis mengembuskan napasnya untuk menenangkan diri.

Dokter wanita menatapnya, tak pernah lepas dari senyuman.

"Siapa namamu?" Dokter wanita itu mulai bertanya.

"Nama saya Michelle Ziudith. Umur delapan belas tahun."

Dokter wanita itu mengangguk mengerti. "Lalu, bisakah kau menceritakan apa yang terjadi di hari itu?"

Michelle sedikit terkejut, namun perlahan mengangguk kecil. "Baik...."

.

.

.

.

.

Aku terlahir di keluarga sederhana. Ayahku bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sementara ibuku tidak bekerja. Aku sendiri adalah anak tunggal.

Semuanya berlalu dengan normal di mataku, namun di sisi lain aku merasa bosan karenanya. Hidupku selalu sama, tanpa adanya kesempurnaan ataupun kecacatan.

Bahkan aku pernah berharap agar sesuatu terjadi pada keluargaku. Aku menginginkan sebuah perubahan.

Pada akhirnya, harapanku terkabul. Sayangnya, harapan itu justru menghancurkanku.

Hari itu, ayah pulang larut malam. Dengan tergesa-gesa, ibu segera menghampiri ayah. "Sayang, ada apa ini? Bau alkohol?!"

Dalam kondisi itu, beliau terus mengigau dan menyalahkan atasannya.

Esok harinya, ayah menjelaskan semuanya.

"Aku dipecat."

Ayah dipecat dari pekerjaannya karena kesalahan kecil.

Mulai sejak itu, sikap ayah berubah total. Ayah lebih sering pulang malam, mabuk-mabuk bersama orang yang tidak kukenal, bahkan terkadang pulang bersama perempuan yang pakaiannya kurang bahan.

"Sayang! Kamu ini kenapa?!"

"Bukan urusanmu!!"

Ibu sering menegur ayah. Tetapi, esok paginya kulihat lebam di wajah ibu. Saat kutanya, ibu hanya tersenyum.

Semua ini terus terjadi seperti siklus hujan. Aku bahkan sudah terbiasa melihatnya. Pertengkaran ayah dan ibu seakan telah menjadi bagian dari keseharianku.

Hingga suatu hari, ayah pulang dengan wajah gembira.

"Aku dapat pekerjaan!" katanya.

Pekerjaannya adalah menjadi badut penghibur. Pekerjaan itu disarankan oleh temannya yang tidak kuketahui. Karena ayah dan ibu terlihat senang dengan pekerjaan baru itu, maka aku juga tidak akan berkomentar apapun.

Hari pertama ayah bekerja adalah sebagai badut untuk pesta ulang tahun. Aku diajaknya ke sana untuk menikmati pesta. Walau hari pertama, ayah terlihat seperti seorang profesional. Dengan mudahnya beliau membuat orang terhibur akan tingkahnya, bahkan aku juga terhibur melihatnya.

Hari kedua ayah adalah sebagai badut jalanan. Mungkin bahasa lainnya adalah 'badut pengamen'. Ada juga yang menyebutnya seorang phantonim. Aku tidak tahu apa perbedaannya karena menurutku keduanya adalah hal yang sama.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang