15.Fate

859 34 2
                                    

Sebenarnya, gadis bernama Kiana itu sudah sering kali mendengar sekaligus melihat pertengkaran antara Mama dan Papanya yang tidak kunjung berakhir. Isi rumah selalu pecah belah ketika dia pulang dari sekolah.

     Namun, jangankan sedih atau melerai orangtuanya agar menghentikan pertengkaran mereka yang konyol menurut Kiana, Angel bahkan sama sekali tidak peduli dan tidak tertarik iikut campur. Biasanya begitu.

     Tapi berbeda dengan hari ini, Kiana tampak sudah bosan dan jenuh. Dia sepertinya sudah tidak sanggup melihat Mamanya berlutut memohon pada Papanya yang entah patut dipanggil seorang ‘Ayah’, untuk melanjutkan studinya.

     “Kiana masih kecil, Pa! Dia masih lima belas tahun! Dia belum mengerti soal pernikahan, Pa! Tidak bisakah Papa menggunakan pikiran Papa menikahi anak sedini dia demi uang? Demi melunasi utang?” Bentak Mama Kiana yang berpadu dengan air mata.

     Plak! Sebuah tamparan lagi dan lagi, membuat jejak merah di wajah Sang Istri. “Kamu! Kamu masih tidak mengerti tujuanku, hah? Keadaan ekonomi kita sudah diambang kehancuran! Kita dililit hutang yang bengkak! Kamu mau mati kelaparan? Hanya menikahi Kiana dengan putra tunggal konglomerat itu satu-satunya cara agar kita bebas dari keadaan ini.”

     Tidak peduli dengan rasa nyeri yang menjalar di pipinya, Sang Istri berseru marah. “Tapi itu hanya akan menyiksa Kiana, Pa! Kita bahkan tidak tahu bagaimana sikap dan kepribadian orang itu! Bagaimana kalau dia hanya ingin mempermainkan Kiana? Bagaimana kalau dia hanya ingin melecehkan Kiana? Pikirkan, Pa! Atau jangan-jangan Papa tidak peduli dengan Kiana lagi—“

Plak! Tamparan yang satu itu lebih keras dari yang sebelumnya, membuat tubuh wanita berumur empat puluhan itu jatuh tersungkur. Kiana yang melihat itu, segera meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, menghentikan gerakan Papanya yang ingin menampar Mamanya sekali lagi.

     “Sudah cukup, Pa! Jangan pukul Mama lagi!” Teriaknya sedu, memeluk Mamanya.

     Mamanya tampak terkejut melihat kedatangan anaknya. Dibelainya puncak kepala Kiana. “Sayang, kamu udah pulang? Sejak kapan?” Mamanya takut kalau anaknya ikut mendengar pembicaraan barusan.

     “Mama nggak usah peduliin masa depan Kiana. Lagipula Papa benar. Ekonomi kita tidak memadai.” Ucap Kiana lirih, menundukkan kepala.

    “Tapi sayang—“

     Papa Kiana tertawa keras, memotong kalimat Mamanya. “Nah, itu baru putri Papa. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Toh ujung-ujungnya bakal kawin juga. Jadi aku tidak perlu repot-repot membiayai uang SMA-mu. Besok ikut Papa ke—“

     Kali ini Kiana yang memotong. Wajahnya menggelembung kesal. “Tapi aku akan kerja mencari uang untuk melanjutkan sekolahku. Jadi Papa tidak perlu repot-repot membiayai uang SMA-ku karena aku yang akan mencarinya.” Ucapnya dengan suara lantang, meniru kalimat Papanya.

     Wajah Mama Kiana yang tadinya sempat sedih, berubah jadi cerah kembali. Beliau percaya bahwa putri semata wayangnya itu tidak akan mudah putus asa begitu saja hanya karena keadaan ekonomi keluarganya. Kiana menghambur ke pelukan Mamanya.

     Akan tetapi, Papa Kiana lebih dulu menjambak rambut Kiana sebelum Mamanya membalas pelukannya. Kiana merintih kesakitan.

    “Sudah berani ya kamu sekarang menentang perintah saya! Jika saya bilang menikah, ya menikah! Jangan melawan! Saya adalah kepala keluarga di sini.” Ucapnya murka.

     “Kiana nggak mau! Lagipula kerja Papa hanya menghambur-hamburkan uang! Tidak pernah Kiana ingat Papa mengurus rumah tangga ini. Hanya Mama yang membanting tulang mengumpulkan uang. Dan buktinya, Papa malah merebut semua uang hasil tabungan Mama.” Kata Kiana, berusaha melepaskan cengkraman tangan Papanya dari rambutnya.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang