7. Karena Petir

304 15 0
                                    

Ah... dua minggu lagi sekolah dimulai. Aku masih mau menikmati hari-hari santai yang bebas dari tugas dan bermain game juga nonton anime di rumah. Sekolah sudah seperti neraka bagiku. Bersiap untuk turnamen voli, jadi bendahara OSIS, tugas menumpuk, juga pertemuan OSIS dan klub voli di waktu yang sama. Siksaan apa lagi yang menantiku?

"Eh?"

Aku baru saja akan mengambil manga 'Haikyuu!', tapi ada seorang gadis bersurai merah yang rupanya memiliki target yang sama. Klise sekali ini, seperti di anime-anime romantis yang ujung-ujung jatuh cinta.

"Adek suka manga ini juga ya? Kalau gitu ini, buat adek aja," ucapnya seraya memberikan manga itu.

"Terima kasih. Tapi maaf ya, aku ini baru naik kelas dua SMA!" sahutku.

"Eh!? Maaf, Kak! Aku pikir Kakak masih SMP. Sekali lagi, maafkan aku!"

Gadis ini... tingginya hampir sama denganku, hanya beda satu senti. Menyebalkan sekali.

"Iya, aku maafkan. Lagian, udah biasa sih aku dikira anak kecil," kataku sambil mengelus tengkuk.

Kami pun berbincang sedikit tentang anime juga manga. Dan gadis ini memang konyol, seperti yang di anime-anime. Banyak sekali kata-kata konyol yang dia lontarkan sejak awal pembicaraan.

Aaaah! Kenapa aku malah sama-samain cewek asli dengan yang di anime!?

"Anu, Dek? Kamu jadi bayar gak?" tanya penjaga kasir itu.

"A-ah, iya." Aku pun menbayar manga juga beberapa buku tentang voli. Terdengar suara tawa kecil dari gadis di sampingku ini. Menyebalkan.

Baru saja kami keluar dari toko, tiba-tiba petir menyambar tak terlalu jauh dari tempat kami, membuat suaranya menggelegar hebat. Aku dan gadis ini pun memekik terkejut.

Dan hujan pun turun dengan lebatnya, membuatku tidak bisa langsung pulang dan menimati kehangatan di kamarku.

Tanpa kusadari kini aku sedang memeluk gadis konyol ini dan dia pun melakukan hal yang sama. Dengan segera aku menyudahi pelukan tak sengaja ini. Aku mengambil dua langkah ke belakang untuk menjaga jarak.

"M-maaf! Barusan itu refleks, aku nggak bermaksud memelukmu!" seru mulai panik sendir.

"A-aku juga minta maaf." Dia menghindari kontak mata denganku, begitu juga denganku.

Keheningan melanda. Hanya ada suara hujan yang menemani kami, hingga akhirnya dia angkat bicara.

"Jadi... kamu takut petir juga?" terkanya, masih menghindari kontak mata.

Rasanya wajahku ini panas sekali. Aku langsung menoleh padanya dengan perasaan malu dan kesal bercampur.

"Aku gak takut petir! Tadi aku cuma kaget!"

Bohong. Aku berbohong. Suara petir yang menyambar membuatku sangat takut.

"Hayo, kamu bohong 'kan? Buktinya tadi kamu ikut berteriak sampai memelukku," pancing gadis itu.

"Sudah kubilang, itu refleks karena aku terkejut!"

Setelah aku mengatakan kalimat itu, dia terus-terusan mengejekku sampai hujan reda. Sebelum berpisah, kami mengambil foto satu sama lain supaya kami tidak lupa. Awalnya aku yang melakukannya karena ingin terus mengingat wajahnya agar bisa balas dendam suatu saat nanti, tapi dia malah ikut-ikutan. Alasannya adalah supaya dia tidak akan melupakan diriku ini.

Tadinya dia ingin bertukar nomor HowsApp, tapi aku menolaknya. Jujur saja, walau ini lebih suka tinggal di dalam kamar dan melakukan aktivitas harianku yang seperti nolep ini, aku tidak suka dengan chat. Kalau ingin membicarakan sesuatu, aku memilih untuk bertatap muka secara langsung.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang