9. Laut

646 21 1
                                    

Aroma anyir air laut menusuk hidung Sean. Bunyi mesin kapal nelayan beradu dengan bisingnya kaokan burung camar laut. Air laut yang berwarna biru tua sesekali terbawa ke atas kayu dermaga karena adanya gelombang. Sean memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket lalu berjalan pelan ke pinggir dermaga. Ia menunduk, lalu sejenak melihat ke arah bawah. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada air laut yang berwarna biru pekat.

Ia menghela napas, mengacak-acak rambutnya yang berwarna coklat itu, lalu berbalik. Sambil berjalan, ia menyalakan sebatang rokok untuk meredakan rasa bosan yang sedang menyerangnya. Ia berjalan ke arah rumah -atau bisa disebut markas- nelayan untuk berkumpul bersama teman-teman sesama nelayan. Benar, Sean adalah seorang nelayan. Tak ada seorang pun dari teman nelayannya yang tahu mengapa ia memilih pekerjaan ini sebagai penyambung hidupnya. Padahal, Sean bisa saja menjadi model ternama, dokter yang disayangi oleh pasien-pasiennya, bahkan menjadi seorang pejabat bergaji besar karena kepintaran dan fisiknya yang memadai. Namun, agaknya nelayan memang adalah pekerjaan yang sudah lama menjadi cita-citanya tebak semua temannya.

Sean membuka pintu rumah nelayan yang terbuat dari kayu itu. Catnya sudah lapuk dan beberapa bagian dinding malah sudah ditumbuhi oleh jamur. Di pojok ruangan bahkan tersimpan ikan hasil tangkapan nelayan lain yang sengaja dititipkan di rumah ini agar tidak habis dicuri oleh anjing laut yang sering berkeliaran di daerah sekitar pantai ini. Jendelanya hanya satu, dan itu pun sudah mengenaskan kondisinya. Kusennya hancur sebagian dan kacanya sudah berdebu parah.

Semua teman Sean menoleh ke arah pintu yang sama reyotnya dengan rumah ini. Mereka menghentikan permainan kartu mereka sebentar, lalu menyambut kedatangan Sean. "Kau sudah kembali, Sean? Ayo sini bergabung bersama kami," ajak salah seorang dari nelayan di dalam rumah ini.

Sean tersenyum lalu melempar puntung rokoknya ke lantai kayu. Ia kemudian menginjak bara api yang masih menyala di rokok itu lalu duduk bergabung bersama dengan temannya yang lain. Ia mengambil sebuah kotak kayu lalu duduk di atasnya. "Jadi, ada permainan apa hari ini? Kartu lagi?"

Semua temannya tersenyum miris. Perkataan Sean barusan seratus persen betul. Setiap hari, waktu istirahat mereka hanya mereka habiskan dengan bermain kartu. Terkadang bermain catur jika Olaf kebetulan membawa mainan dengan papan kotak-kotak itu. Membosankan. Tidak ada lagi yang bisa nelayan-nelayan itu lakukan selain memburu ikan, merokok, bermain kartu, dan mengobrol tanpa juntrungan yang jelas.

"Ya sudahlah. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain memainkan kartu sialan ini lagi. Baiklah, kita mulai permainannya dari awal, oke?" Sean bertanya sambil menyusun kartu yang berserakan di meja lalu mengocoknya. Setelah dirasa sudah teracak bebas, lelaki berkulit putih pucat itu membagi-bagikannya ke teman-temannya yang lain yang juga ingin ikut bermain.

Mereka tetap bermain permainan itu walaupun sudah merasa bosan luar biasa. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Babak demi babak sudah mereka mainkan. Kini, kebosanan mereka sudah mencapai puncak. Ingin rasanya mereka kembali melompat ke dalam kapal dan menangkap ikan lagi di lautan lepas. Tapi apa daya, cuaca sedang marah saat ini. Badai mulai turun dengan ganasnya tepat setelah Sean memasuki rumah nelayan.

Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti bermain lalu duduk-duduk tanpa alasan di dalam rumah lapuk itu. Tatapan mereka kosong, begitu juga dengan otak mereka. Sean melihat keluar jendela. Hujan badai masih menyerang pantai dan area sekitarnya di luar sana. Sean kembali duduk di posisinya semula lalu menghela napas berat. Badai ini akan lama, pikirnya. Jika dilihat dari awan yang bergumul di langit, badai ini akan berhenti kurang lebih empat jam lagi.

"Bagaimana kalau kita memainkan permainan baru?" usul Paul, salah satu teman Sean tiba-tiba. Semua orang yang ada di rumah tersebut langsung menatap Paul secara intens. Orang yang dilihat malah salah tingkah. "E-eh, setuju tidak?"

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang