4. Sahabat Yang Sesungguhnya

2.8K 92 3
                                    

Namaku Adinda Fitri Septiani. Usiaku enam belas tahun—kurang beberapa bulan—saat aku pindah sekolah ke salah satu SMK swasta di Kota Purwokerto, Jawa Tengah. Aku berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Barat. Karena suatu alasan, aku memutuskan pindah sekolah ke kota kelahiran ayahku. Jangan tanya lebih lanjut alasan aku melakukannya. Aku tidak mau mengungkit kembali hal itu.

 

Dan kini sudah empat tahun sejak aku lulus dari sana. Aku akan menceritakan sedikit bagian masa sekolahku. Satu bagian yang kuanggap merupakan bagian ‘terkelam’ dari kenangan putih abu-abu.

 

Dan kisahku dimulai!

***

Juli, 2013.

Hari ini adalah hari pertama Fitri—begitulah orang-orang rumah memanggilnya, tetapi ia lebih senang dipanggil “Dinda”—mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa atau disingkat MOS di sekolah barunya. Ia berpikir, “Untuk apa aku kembali mengikuti kegiatan yang pernah ia lakukan tahun lalu?”

Ya. Adinda Fitri Septiani pernah mengenyam bangku kelas sepuluh SMK Pariwisata di kota asalnya, sebelum akhirnya memutuskan pindah sekolah dan mengulang kembali kelas sepuluh karena jurusan yang diambilnya sekarang berbeda. Itu artinya, dia akan berbaur dan seangkatan dengan mereka yang seharusnya menjadi adik kelas Dinda.

Hari ini, Dinda diantar oleh ayahnya menggunakan motor bebek. Dengan penampilan seperti orang gila; rambut dikucir tiga dengan tali plastik berwarna kuning, topi yang terbuat dari bola plastik yang dipotong sebagian, tas selempang dari karung beras, kaos kaki yang berbeda warna, dan rompi yang juga terbuat dari karung beras. Sepanjang perjalanan menuju sekolah barunya, entah sudah berapa pasang mata yang menatapnya aneh. Bahkan ada yang terang-terangan menertawakan penampilannya.

Ugh! Untung saja sekarang bulan puasa! Sabar. Sabar, Dinda mencoba mengontrol amarahnya.

“Kalau udah bubar, kirim pesan atau telepon Ayah, ya. Biar Ayah jemput,” kata Pak Octa—Ayah Dinda—.

“Siap, Ayah,” sahut Dinda seraya mencium punggung tangan Pak Octa. Ia masih berdiri saat ayahnya berlalu pergi.

Dinda menoleh ke kanan dan ke kiri. Banyak sekali murid-murid yang memakai aksesoris antik seperti dirinya. Ia melihat dua orang siswi berseragam rapi tengah melakukan pemeriksaan terhadap murid-murid sejenis Dinda yang baru saja datang.

Mungkin mereka panitia MOS, pikir Dinda. Ia berjalan mendekati dua orang siswi tersebut.

“Dek, udah diperiksa belum?” tanya salah seorang siswi pada Dinda, yang dilihat dari name tag yang dikalungkan di leher, gadis itu bernama Nilla.

“Belum, Kak. Baru datang,” jawab Dinda sopan. Meskipun ia merasa jika dua orang di hadapannya seumuran dengannya.

“Jam segini baru datang? Lima menit lagi acara udah mulai, loh,” tegur siswi di samping Nilla dengan nada ketus. Violetta namanya.

Dinda memandang Violetta tak suka. Dih, baru jadi panitia kayak gini aja mulutnya minta disambit, gerutu Dinda dalam hati. Padahal yang lain juga masih banyak yang datang telat, lanjutnya.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang