3. One Death, One Corpse, One Way

225 10 0
                                    

Berlatar jaman dahulu dengan sedikit bumbu supernatural. Saya juga mengambil “nama” tokoh sejarah. Hanya namanya.

**

Tak tak tak

Bunyi geta—sandal kayu tradisional Jepang—terus terdengar setiap dia melangkah. Dia gelisah ketika melihat ada api dari tempat “orang itu” tinggal. Dia pun mempercepat langkahnya.

Dia sampai di sana dan pria itu terperangah. Bukan karena rumah itu terbakar setengahnya, tetapi sosok yang sedang diangkut keluar yang menarik perhatiannya. Orang yang dia kasihi ... meninggal.

Sensei ....” Dia tidak bisa menangis. Langit yang merasa iba, mulai menurunkan “air mata”nya, menggantikan dirinya.

Lima menit berlalu, dokter pribadi keluarganya sudah menghilang dari hadapannya. Insiden ini membuatnya berniat meninggalkan rumah sementara waktu. Untuk terakhir kalinya dia berbalik ke belakang. Manik cokelatnya memandang dalam-dalam rumah itu. Pria itu berbalik kembali ke depan—maniknya menjadi merah—dan menghilang.

Bruak!

Pria itu tertimpa oleh seseorang. Padahal dia sudah memastikan untuk berpindah tempat ke area yang sepi. Sepertinya, orang yang menimpanya sedang berada di atas pohon dan kebetulan jatuh saat dia tiba.

Ternyata seorang gadislah yang menimpa pria itu. Gadis itu bangun dan meminta maaf padanya. Pria itu tidak memberikan respon, selain tatapan sendunya untuk sang gadis. Gadis itu bertanya “Kau sedang bersedih?”

Pria itu tetap diam. Dia mengamati gadis di hadapannya, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan sang gadis. Gadis itu langsung mengejarnya karena penasaran. Dia menarik tangan sang pria, tetapi segera ditepis oleh sang pria. Dia melakukan itu lagi dan ditepis kembali. Pria itu mulai mempercepat langkahnya. “Hei! Kenapa kau meninggalkanku?!”

Pria itu menoleh. “Apa urusanmu?” Dia kali ini berhenti. Gadis itu menyusulnya dan segera menggenggam tangan sang pria dengan erat. Dia harus memastikan sang pria tidak kabur.

“Urusanku? Karena kau menunjukkan wajah itu!” seru gadis itu. Helaian hitamnya berkibar-kibar ditiup angin.

Pria itu menganga. Jawaban yang dia dengar terasa familiar. “Dasar aneh.”

Gadis itu tersinggung. “Aku tidak aneh! Aku hanya tidak tahan melihat wajah orang bersedih!” katanya dengan lantang. Pria itu mengamati gadis kecil di depannya. “Kau baru saja berpikir aku kecil, ya?! Besok aku berusia 17 tahun, tahu!”

“Aku tidak bilang apa-apa.”

“Wajahmu mengatakannya!”

Pria itu tersenyum dalam hatinya, walau wajahnya terlihat gugup. “Ya ... ya, tubuhmu k-kan pen—”

“Aku tidak pendek!” bantahnya. Gadis itu kini malah marah-marah. Pria itu hanya bernapas sabar. Setidaknya hatinya terasa lebih ringan. Pria itu tidak sadar dia melukiskan lengkungan manis di wajahnya.

Gadis itu menatap seram. “Kau ... bukan masokis, kan?” Gadis itu menunduk dan berlari cepat. Dia berlari dengan jantung berdebar.

Pria itu ikut berlari di belakangnya. Dia merasa harus membenarkan kesalahpahaman ini. “Tu-tunggu! Aku bukan masokis! Sungguh!”

Gadis itu menoleh sambil berlari. “Sungguh?”

“Sungguh!”

Gadis itu berhenti. “Baiklah, aku percaya.” Walau berkata begitu, dia masih menjaga jarak. “Kita belum berkenalan, kan? Namaku Chiyome ... kau?” Gadis itu mengulurkan tangan kanannya.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang