15. Tertidur

275 12 0
                                    

Hujan jatuh begitu derasnya sore itu. Tetesan-tetesan yang tertangkap dalam gendang telinga pria itu merambah keheningan yang terjadi. Dia terjebak bersama dengan seorang gadis yang entah datang dari mana di sebuah gazebo taman. Gadis itu meringkuk kedinginan di sudut dalam gazebo. Terkadang manakala sang petir menyambarkan tali lasonya, membuat gadis itu sedikit terjengkal.

Dua jam berlalu sejak hujan pertama kali jatuh. Namun langit seakan  tak ingin menunjukkan senyumnya. Dia masih menghitam pekat menangis. Sesekali pula dia bersin yang menyebabkan para manusia di bawahnya takut untuk keluar dari persembunyiannya. Angin pun tak ingin kalah, dia terus memprovokasi agar sang langit tetap menangis. Dibawanya awan-awan tidak bersalah untuk bergelut satu sama lain. Hingga energi negatif membalut mereka yang semakin menambah temaramnya hati sang langit.

 Pria itu mencoba memantik korek api untuk membakar tembakau. Kepulan asap segera menyeruak dari dalam mulut pria itu. Dihembuskannya asap tersebut agar ikut bergabung dengan kawanannya di atas sana. Kedua matanya memicing ketika sang gadis menderu-deru. Tidak ada alasan jelas kenapa dia menggerutu. Tangannya yang dingin segera meraih apa saja di sekitarnya lalu dia memeluk tiang gazebo itu.

Si pria merasa keheranan. Dia geser posisi duduknya mendekat ke gadis itu. Jejakan yang dia terima. Gadis itu menggila. Meraung-raung layaknya hewan buas yang terancam. Entah itu karena dingin atau memang sebuah kebiasaan. Mulut gadis itu mengeluarkan desisan tiap kali ia hendak berbicara.

Petir kembali menyambar. Beda dengan beberapa saat yang lalu. Energi negatif dari petir barusan lebih besar dari sambaran sebelumnya. Kilatan kuning menjingga itu seakan membutakan siapa saja yang melihatnya atau malah terpaku terdiam tak kuasa tuk memberi respon jelas. Gemerisik dedaunan saling bertautan dengan derasnya hujan kala itu. Membuat kedua orang di gazebo itu harus saling berdekatan karena sisi luar gazebo mulai basah akibat inflasi hujan.

Napas gadis itu memburu. Mungkin dia tak lagi kenal dengan yang namanya ketenangan. Tangannya mencakar pundak serta pipi pria tersebut. Terkadang dia menyalak, atau pun mengaum. Berkebalikan dengan si gadis, pria itu justru semakin tenang. Batang rokok yang dia hisap telah habis. Sekali lagi dihembuskannya asap rokok untuk yang terakhir kalinya. Kini dia memutarkan badan dan menghadap si gadis. Garis matanya yang mellow menatap iba.

Sang gadis kembali ingin mencakar pria itu. Refleks, pria tersebut menangkap tangan itu yang menegang. Kuku-kuku panjang milik sang gadis hampir mencoret wajah kalemnya lebih dari cukup. Pria itu lalu meletakkan tangannya yang lain ke atas kepala gadis itu. Dengan lembut tangannya mengusap mencoba menenangkan gadis itu. Tetapi dia baru sadar akan satu hal setelah cukup lama terdiam. Posisi telinga gadis itu tidak seperti manusia yang lazim. Telinganya runcing juga daun yang lebar, dan letaknya agak sedikit ke atas tertutup dengan rapi dibalik rambut tebalnya.

Naas, sang gadis tak kunjung tenang. Dia semakin memberontak. Tenaganya yang sedikit di atas rata-rata manusia membuat pria itu terjengkal dari posisi duduknya. Gadis itu merangkak lalu mencengkram kaki si pria hingga berdarah. Mulutnya terbuka lebar, menunjukkan gigi taring yang sedikit mencuat keluar. Kembali dia melolong dengan keras diikuti sambaran petir yang cukup untuk membuat tanah bergetar.

Pria itu tertawa, tatapan iba yang dia miliki kini bergumul dengan ketakutannya. Seluruh tubuhnya bergetar, cakar gadis itu kembali menancap di lengannya. Gadis itu memiringkan kepalanya sebelum dia mendekatkan wajahnya ke arah leher pria itu. Seperti hewan buas yang menangkap mangsanya. Gadis itu segara menancapkan taringnya ke leher sang pria.

Jeritan pria itu tak sanggup terdengar. Suara hujan benar-benar menghalangi gelombang suara lain untuk saling bertautan. Hingga pria itu tergeletak lemas dan sesekali terguncang akibat ulah si gadis yang menghisap habis darahnya. Dia pun segera meninggalkan mayat pria itu. Sembari mengusap bekas darah yang ada di pipinya, dia menengadahkan kepalanya menghadap ke langit.

Wajah yang tadi tampak gelisah kini kenjadi tenang. Dia melolong dengan keras untuk terakhir kali sebelum cahaya kilat menyambarnya.

Langit pun berhenti menangis. Energi negatif yang sejak tadi berkumpul kini saling menjauh. Bekas tetes terakhir hujan masih membasahi wajah gadis itu yang cerah. Dia mengembangkan senyumnya. Tak lagi ada taring di sana. Dia lalu bergegas jalan menjauh dari taman tersebut. Meninggalkan jejak-jejak kaki pada tanah yang basah. Juga meninggalkan kehampaan pada gazebo yang tadi dia gunakan untuk berteduh.

*End*

Penulis: RayLone

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang