5. Akankah Mimpi Bersama Bintang Di Langit?

669 23 7
                                    

Aku tak mengerti.

Kenapa hidup ini terasa begitu membosankan? Yang kulakukan tiap harinya selalu sama; bangun tidur, pergi sekolah, main game, makan, tidur lagi. Terus berulang bagaikan sebuah gift yang tak ada habisnya. Tak adakah sesuatu yang lebih menarik di dunia ini?

Kutopang dagu menggunakan telapak tangan, sibuk menjaga keseimbangan batang pensil yang sengaja kuletakkan di bibir atas, mengabaikan fakta bahwa di depan sana ada seorang guru yang sedang mengajarkan tentang rumus percepatan fisika.

Masa bodoh dengan fisika. Kenapa orang-orang sibuk menghitung buah apel yang jatuh dari pohon? Apa sebegitu kurang kerjaannyakah mereka hingga melakukan hal demikian?

Guru yang mengajar juga tampak tak mempedulikanku. Aku tahu guru fisika itu bukannya tidak peduli, hanya lelah telah menegurku berkali-kali namun aku tetap saja cuek meladeninya.

Oh, bukanlah hal yang jarang bagiku menjadi bahan obrolan para guru. Mereka jelas tidak menyukaiku. Terlebih dari sikapku yang pemalas, aku juga sering tak mengacuhkan nasihat yang mereka berikan.

Pernah, kudengar ada rumor bahwa aku hendak dipindahkan jurusan ke IPS, namun jelas mereka tidak bisa melakukannya. Kenapa? Karena nilai biologi, bahasa inggris, dan matematikaku berada di peringkat tertinggi se-kota madya. Mereka tak memiliki alasan yang kuat untuk melakukannya.

Sebenarnya, aku terlalu malas untuk pergi ke sekolah. Pelajaran yang kusukapun hanya tiga; bahasa inggris, biologi, dan matematika. Hanya tiga pelajaran itu yang menurutku cukup penting untuk kehidupan. Sisanya? Tidak sama sekali. Hanya membuang-buang kapasitas otakku saja.

Bel yang menandakan jam istirahat kedua berbunyi. Guru fisika mematikan infocus yang tadi sempat menampilkan rumus-rumus percepatan dalam bentuk grafik serta trigonometri. Ketua kelas memimpin untuk mengucap salam, lalu semua orang bubar, sebagian besar dari mereka menuju Kantin.

"Yo, Lam. Mau ke Kantin bersama tidak?" teguran dari seseorang membuyarkan lamunanku. Akibatnya, batang pensil yang kujaga keseimbangannya sejak tadipun goyah dan terjatuh ke atas meja.

Ah, sial.

Aku melirik melas, berdecak pelan. "Tidak, ah. Aku sedang tidak lapar," kataku malas.

"Kau itu," lelaki bernama Farel yang merupakan sobatku itu berkecak pinggang. "Kau itu seperti tidak punya semangat hidup saja!"

"Memang tidak," balasku cuek. "Hidup ini membosankan sekali."

"Aku tidak mau ya mendengar kalimat itu terucap dari seorang artis sepertimu," cibir Farel, tampak sebal.

Aku mendengus. "Aku mau vakum dari dunia hiburan. Membosankan sekali, sih. Yang kulakukan hanya diam, tersenyum ke kamera, lambai-lambai tangan," ujarku sembari berlagak selayaknya bintang artis ternama--meskipun pada kenyataannya aku memanglah seorang artis.

Percayalah, menjadi seorang artis itu membosankan. Tidak sampai setahun terjun ke dunia hiburan, aku sudah berencana akan vakum, atau mungkin berhenti sepenuhnya. Kenapa? Karena rasanya benar-benar membosankan!

Dan menyebalkan, jika aku harus menambahkan. Dikejar-kejar wartawan sama sekali tidak menyenangkan, apalagi saat ada seorang fans yang fanatik.

Yah, tapi aku merahasiakan identitasku sebagai artis. Nama panggungku dengan namaku di kehidupan sehari-hari jelas berbeda. Di sekolah inipun tidak ada yang mengetahui bahwa aku seorang artis kecuali Farel.

Jika kalian bertanya-tanya bagaimana aku tidak takut wajahku dicurigai, jawabannya mudah. Saat pergi ke sekolah, aku selalu memakai soflens hitam untuk menutupi warna bola mataku yang sebenarnya, yaitu biru. Aku juga mewarnai rambutku dan memakai kacamata, jadi jelas tidak akan ada yang mengenaliku. Yang tahu identitasku yang sebenarnya di sekolah ini hanyalah Farel, sobatku yang paling setia. Oh, dan kepala sekolah. Sisanya, tidak ada yang tahu.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang