16. Kakak dan Adik

745 14 0
                                    

Dua gadis itu tersenyum riang. Berkejar-kejaran di atas jembatan setinggi dua belas meter dari sungai. Mereka adalah kakak dan adik yang sangat akrab.

Awan kelabu sudah berkumpul di langit sejak tadi siang. Tidak bisa menahan lebih lama lagi, kumpulan awan itu mencurahkan airnya ke bumi. Air hujan itu meluncur dengan cepat, membasahi rambut dan baju kakak beradik itu.

Namun sang Adik tetap berlari. Sederas apapun hujan itu, dia ingin tetap berlari dan bermain dengan sang Kakak.
Sang Kakak sudah memintanya untuk berhenti dan berteduh, tapi sang Adik mengacuhkannya. Dia tetap berlari dengan senyuman di bawah derasnya hujan.

Suhu udara menurun. Hujan semakin deras, ditemani oleh angin yang membuat pohon-pohon bergoyang. Air sungai meninggi hingga sejajar dengan jembatan. Sang Adik pun memutuskan untuk berteduh di sebuah gang kecil di seberang jembatan.

Gang kecil itu buntu, beratapkan genting rumah penduduk di sebelahnya yang membuat gang itu tidak terkena tetesan air hujan. Gang itu hanya memiliki lebar tujuh puluh sentimeter dan panjang dua meter.

Sang Adik duduk di sana. Dia memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Kepalanya ia topangkan pada lutut.
Sang Kakak tidak bisa melihat keberadaan adiknya. Dia mulai panik, berlari dan berteriak memanggil adiknya. Tidak ada jawaban. Sang Adik tidak bisa mendengar teriakan sang Kakak karena suara hujan serta jarak yang cukup jauh dengan sang Kakak.

Setengah jam berlalu. Sang Adik telah tertidur di dalam gang kecil buntu itu, dan melupakan kakaknya yang ia tinggalkan di jembatan. Sang Kakak masih mencarinya. Walaupun dengan keadaan bergetar kedinginan, kakinya masih berjalan.

Sang Kakak sudah tidak bisa menahan dinginnya udara sore itu. Badannya bergetar kedinginan. Kakinya berhenti melangkah. Pandangannya mulai kabur. Dunia semakin gelap, dan akhirnya dia pingsan.

Hujan berlangsung selama kurang dari dua jam lamanya. Tidak ada siapapun yang melewati jalan di dekat jembatan karena air sudah naik sejajar dengan jembatan. Sang Adik masih terlelap, sehingga tidak ada yang bisa menolong sang Kakak.

Matahari sudah beristirahat, dan digantikan oleh bulan yang saat itu tertutup awan. Air sisa hujan tadi sore masih ada di atas dedaunan, belum surut dari jalanan, dan masih menggenang di atap-atap rumah warga.

Orang tua kakak beradik itu khawatir keduanya tak kunjung pulang setelah matahari terbenam. Mereka pun mencarinya ke tempat kedua putrinya biasa bermain, jembatan.

Pasangan itu terkejut ketika melihat putri sulungnya yang terbaring lemas di atas aspal jalanan dengan keadaan bibir yang membiru.

Si Ibu segera menelepon ambulans, sementara si Ayah mencari putri bungsunya. Sang Adik berhasil ditemukan oleh ayahnya. Beruntung sang Adik tidak bernasib sama seperti sang Kakak. Dia masih terkena udara hangat yang keluar dari rumah dekat gang kecil itu.

Si Ayah menggendongnya dalam keadaan tertidur. Ia menyelimuti putrinya dengan jaket.

Ambulans datang dengan suara sirine yang keras. Sang Adik membuka mata ketika sang Kakak dibawa memasuki ambulans.

Saat bertanya pada si Ayah apa yang terjadi, tidak ada jawaban. Sorot mata si Ayah menatap lurus pada seseorang yang dibawa memasuki ambulans.

Keesokan harinya, sang Adik terbangun di atas kasur. Ketika keluar kamar, gadis itu mendapati banyak yang berkumpul di rumahnya.

Dan daun telinganya menangkap suara jika sang Kakak telah tiada. Sang Kakak telah tiada oleh ulahnya.

Penulis: haayura

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang