4. FREE

215 16 0
                                    

"Wah, ini anak gadismu?" Wanita paruh baya dengan rambut pirang terikat rapi itu mengatupkan kedua tangannya, menatapku dengan tatapan hangat. "Cantik sekali," pujinya.

Ibu yang duduk di sebelah kananku menyentuh pipinya, tertawa kecil. "Haha, bisa saja," katanya. Meski dia berkata begitu, aku tahu dia pasti sangat senang. Dapat kulihat dengan jelas dari bibirnya yang tak berhenti tersungging lebar.

Aku terdiam. Meskipun aku dibilang cantik, namun aku tidak terlalu merasa senang. Banyak orang yang mengatakan hal serupa padaku―cantik. Akan tetapi, mereka hanya melihat parasku saja. Mereka yang hanya mementingkan paras dan penampilan selalu kubenci.

Dapat kurasakan pinggangku memanas, membuatku nyaris meringis jika saja aku tidak melihat pelototan besar dari wajah Ibu. Ibu mencubitku, perih sekali. Ini adalah tanda dari Ibu; jika aku tidak melakukan perintahnya, maka aku akan tamat setelah makan siang ini berakhir.

Dengan senyum yang dipaksakan, aku memirinhkan kecil wajahku agar lebih terlihat manis, kemudian berkata, "Wah, terima kasih Madam atas pujiannya. Padahal wajahku biasa saja." Tanganku dengan terampil mengangkat cangkir teh, menunjukkan segala keanggunan yang kumiliki di depan wanita itu.

Wanita paruh baya yang biasa kupanggil Madam Rossy pun balas tersenyum. "Tidak perlu merendah seperti itu. Kau memang gadis yang cantik sekali," katanya sembari mengibas-ngibaskan telapak tangan di udara. "Anakku pasti akan suka padamu."

Eh?

"Hoho, tentu saja," Ibu menyahut. "Aku juga yakin sekali jika anakmu dan anakku cocok. Perjodohan ini akan segera berlangsung mulus!"

"Ah, itu dia anakku sudah tiba!"

Suara ketuk langkah kaki terdengar memenuhi balkon yang hanya berisikan satu meja makan panjang dengan enam kursi. Kutolehkan kepalaku demi melihat sosok yang ada di ambang pintu. Lelaki jangkung bersurai perak dengan bola mata yang tak berbeda dari warna rambutnya berdiri di sana. Garis wajahnya begitu tegas, dengan perawakannya yang cukup atletis. Namun entah kenapa, aku tidak menyukainya.

Lelaki itu berjalan santai mendekati meja makan. Dia mengecup singkat pipi Madam Rossy, kemudian dia menghampiri Ibu untuk mengecup punggung telapak tangannya, dan terakhir aku.

Lelaki itu berlutut, mengecup punggung telapak tanganku. Dalam hati, aku bersyukur memakai sarung tangan. Dengan begitu, dia tidak benar-benar mencium tanganku, 'kan?

Dia menarik kursi dan duduk di sebelah Madam Rossy, tepat menghadapku. Tatapannya yang tajam membuatku merinding.

"Nah, Jennette. Perkenalkan ini Zerel. Dia akan menjadi calon tunanganmu!" seru Madam Rossy dengan girang.

Prang.

Cangkir teh meluncur dengan mulus dari genggamanku yang seketika melemas. Mulutku ternganga, pupil mataku mengecil karena terkejut. Teh merah mulai mengalir di atas meja makan karena kelalaianku dalam menjatuhkan cangkir.

"Astaga, Jenette! Kau baik-baik saja?" tanya Madam Rossy cemas. Wanita itu meraih tissue, kemudian memberikannya kepadaku.

Aku tersenyum sepat. "A-Aku baik-baik saja," jawabku seraya menerima tissue dari tangan Madam Rossy.

Oh, dan jangan tanya bagaimana reaksi Ibuku. Dia sudah siap melayangkan cubitan kedua di pinggangku beberapa detik lagi, dan benar saja terjadi! Bersamaan dengan tatapan mengintimidasi, Ibu menyubitku diam-diam. Mulutnya berbisik, "Jadilah anak baik." Meskipun aku mendapat kodenya, namun sungguh, dia seperti tengah merapalkan kutukan dari pada memberikan kode.

Perlakuan Madam Rossy kepadaku lebih baik dari kelakuan Ibu. Terkadang, aku suka heran yang mana Ibuku sebenarnya.

"A-Aku ...," tanganku mulai bergetar. Aku benar-benar tidak menyadari rencana perjodohan ini. Tiba-tiba saja Ibu memintaku untuk datang makan siang bersama klien kerjanya, lantas ini yang terjadi?

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang