4. Mabataki

159 11 0
                                    

Mataku memanas, sulit bagiku bernapas. Sesak aku rasakan di tengahnya laut dangkal. Lalu kulihat partikel cahaya biru yang semakin banyak dan membentuk uluran tangan. Menahan tubuhku sebelum berbenturan dengan dasar jurang. Seharusnya aku sudah mati.

✨Mabataki - Backnumber✨

Kebahagiaan itu bukanlah malam hari penuh bintang berguguran.

Ataupun pagi hari menyilaukan yang silih berganti terulang.

Tapi, kebahagiaan itu bisa membukakan payung bagi orang yang terkasih di saat mereka terguyur kehujanan.

"Nana, kamu gak bakal ikut latihan?" sindir Teo, laki-laki menyebalkan di akademi. Aku hanya mengembungkan pipi seraya membolak-balikkan buku yang sekali pun tidak aku baca. "Kamu akan menyesal."

"Gak ada yang aku sesalkan kecuali berlatih tentang apa yang aku bisa. Sampai tahun ketiga tidak ada sihir apa pun yang bisa keluar dari tanganku," ucapku geram. Teo tertawa sekilas sambil mengayunkan tongkat sihirnya.

"Asphelus Inclusion!" Kulihat sebuah kristal biru muncul, tidak lama ada retakan di mana-mana. Aku tidak panik, justru dengan hancurnya kristal sihir yang dipanggil akan segera muncul.

Teo memunculkan familiarnya, seekor burung hantu cokelat yang selalu membuatku kagum. Semua murid Horn of Nights memiliki familiar, kecuali aku. Aku selalu suka ketika burung hantu tersebut terbang menjulang ke atas dan tiap sayangnya menjatuhkan hiasan bulan, bintang dan pernak-pernik warna-warni.

"Kamu pasti bahagia kalau sihirmu sudah aktif," ucap Teo padaku.

Aku hanya balas tersenyum. "Iya kah? Bahagia itu sederhana. Melihat alam keesokan hari sudah cukup membantu kok."

Aku tak lagi perlu jawaban untuk apa aku hidup di dunia

Jika aku masih bisa melakukan suatu hal untuk melindungi mereka yang amat kurindukan dan hal-hal yang kuperlukan
Menara sekolah, tempatku beristirahat bersama Teo dan Lunar. Namun keduanya sibuk menghampal mantra untuk ujian akhir. Aku tidak terlalu peduli dengan pelajaran.

Mata emasku, menurut Lunar sangat indah dan membuat orang lain membatu. Terkadang mata itu juga menjadi hangat hingga semua orang ingin memelukku. Aku jengah, untuk apa aku mengingat masa-masa yang telah lalu?

"Lunar, tolong kasih tahu Hanna, mau sampai kapan dia berdiri membuang waktu?" ucap Teo. Aku segera melirik, laki-laki itu tetap sibuk dengan buku. Tidak ada pergerakan dari mulutnya. Lagi-lagi aku bisa mendengarkan telepatinya.

"Nana! Ayo belajar bersama. Biar kita keluarkan sihirmu," ucap Lunar padaku. Jelas itu ajakan yang menarik untuk diriku empat tahun lalu.

"Sihirku terkubur jauh di dasar jurang laut merah! Oh ya, Teo, bicara saja langsung."

Teo tanpa sengaja melempar buku miliknya. Mata-matanya membesar dan mulutnya terbuka lebar. "Apa? Kamu mendengarkan telepatiku lagi?"

Segera aku mengangguk. "Aku pikir kita harus ke ruang ujian. Teman-teman pasti menunggu."

"Tapi, kamu ...."

"Lunar," panggilku, "percayalah pada panahku. Aku bisa mengatasinya, kok! Lagipula kita ini saling melindungi, 'kan?"

Keduanya saling menatap. Hal yang selalu aku ketahui dengan hanya menatap mata mereka. Begitu yakin, sampai membuatku tenang. 

oOo 

Pintu besi tanpa ada celah sedikit pun menjadi mimpi buruk semua orang. Aku melirik ke samping kanan. Banyaknya teman-teman yang antusias tanpa merasakan takut, sebaliknya aku tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan. 

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang