9. I Just Want It

222 8 0
                                    

Mohon jangan ditiru dan jangan ditelan mentah-mentah isi ceritanya! Pilahlah dengan baik.

.

.

Aku tidak setuju dengan pernyataan ini: "Hidup adalah pilihan.". Sejak aku masih dalam bentuk zigot, aku sudah tidak memiliki kekuatan apapun untuk memilih. Aku tidak mempunyai apa itu yang disebut sebagai hak.

Kerajaan kami memang tidak menjunjung keadilan. Hak hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan, sedangkan rakyat hanya memiliki kewajiban yang lebih berat, dibanding yang mereka dapat. Apalagi dengan kaumku—kaum buangan alias budak—yang bahkan berada di kasta terbawa.

Budak tidak memiliki hak, tetapi budak memiliki harga—ya, harga untuk diperdagangkan. Kami dipertontonkan dan dilelang layaknya sebuah barang. Kami adalah barang cacat, sehingga sekali tuan kami bosan, kami bisa dibiarkan kelaparan. Yang paling parah adalah disuruh bertarung di koleseum, melawan monster bertahan di sana.

Aku tak pernah, tetapi seseorang dari tuan yang sama denganku pernah dikirim ke sana. Aku bahkan melihat aksi mencabik-cabik monster itu. Kulitnya dirobek seperti kertas dan kepalanya dia pecahkan seperti memecahkan telur. Otaknya diambil dan dimakan. Sepertinya, monster itu suka dengan otak.

Aku tidak merasa perih, marah, sedih, atau iba. Emosiku ikut menghilang bersamaan dengan memutihnya rambutku. Bisa dikatakan aku mengalami stres berat.

Ibuku hampir membunuhku. Namun akhirnya, dia malah dibunuh oleh pengemis gila. Aku dijual oleh ayahku ke pasar budak, demi sekeping emas.

Jujur saja, aku lebih menyukai kehidupanku sekarang. Aku tidak perlu mencuri dan dipukuli atau ditempeli besi panas. Memang ini kebalikan karena seharusnya budak diperlakukan lebih kasar. Tapi, nyatanya Tuan lebih baik dari kedua orang tuaku.

Hidup sebagai budak tidak terlalu buruk. Ambil saja sisi baiknya, walau terkadang tidak ada kebaikan di dalamnya. Contohnya seperti sekarang.

"Kerja bagus, Rim. Makanlah ini." Tuanku menyodorkan sepiring nasi dan daging kepadaku. Ini berkat keberhasilanku membawakan mata merah darah itu. "Aku bisa mengangkatmu, jika kau mau, Rim."

Dia memang suka mengadopsi anak dari kalangan manapun, padahal Tuan adalah bangsawan. Bangsawan lainnya tidak memrotes karena Tuan adalah tangan kanan Raja. Memang sih, Tuan pasti akan membunuh siapapun yang menghalanginya, sehingga mereka enggan untuk mengatakannya.

Seseorang pernah memperingatiku untuk menolak tawaran Tuan karena itu berbahaya. Walau begitu, aku lebih suka sesuatu yang menegangkan. Aku kehilangan rasa itu dan ingin mendapatkannya. Aku ingin mendapat hakku yang hilang.

"Jika itu keinginan, Tuan, saya tidak bisa membantah." Aku menunduk—tanda hormat.

Tuan tertawa. "Baiklah, mulai hari ini kau adalah anakku yang ke dua puluh dua. Mari bangkit dan bertemu saudara-saudaramu."

Tuan tidak memiliki 21 anak kandung, dia hanya mempunyai dua anak yang berasal dari genetiknya. Aku sudah pernah bertemu mereka dan setiap bertemu, sebagian dari mereka tidak dalam kondisi yang baik.

"Rim, ini ruanganmu." Tuan membukakan pintu dan aku memperhatikan isinya. Hanya ruangan besar kosong dan seorang anak laki-laki—tanpa kasur, meja, kursi, dan lainnya.

Aku menatap Tuan. "Apa maksud Tuan?" tanyaku. Tuan hanya tersenyum dan melambai pergi. Aku kembali menatap ruanganku. Bukankah dia anak Tuan yang ke-10?

Anak laki-laki di ruangan itu menatap ke arahku. Ada luka bakar di sekitar mata kanannya—yang belum ada seminggu lalu. Laki-laki itu memang sering terlihat dalam kondisi yang buruk, seperti patah tulang, kulit penuh jahitan, atau goresan pisau di batok kepalanya. Orang-orang suka meringis jika melihatnya.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang