1. One Way

387 17 4
                                    

Semarang, kota yang cukup ramai dan sering dipadati pengendara. Tidak sesibuk Jakarta atau Surabaya, meski begitu dia masihlah seperti ibukota lainnya.

Bukan untuk singgah, tapi karena ini jalan utama menuju pantura kalau dari arah selatan. Dan tentu saja aku akan menetap di kota ini sementara.

Ah, iya aku lupa. Namaku Vino, maba fakultas kedokteran di salah satu universitas tersohor di Semarang, Universitas Diponegoro.

Datang jauh-jauh dari Jambi, pergi ke tempat ini untuk menimba ilmu, dan sedikit mencicipi apa itu cinta.

Ya, semua orang pasti mengalami yang namanya cinta. Namun aku masih buta akan hal itu, perih. Anak kecil saja sudah saling berduaan tiap kali aku berjalan ke pusat keramaian. Sial.

Bahkan sampai ada yang rela untuk menikah dini atau sesama jenis.

Eh maaf, itu bukan aku tapi orang yang setia mengganggu tidurku di kosan.

Aku masih normal, 100 persen normal! Dan akan selalu normal!!!

Lalu ada Vinka, entah kenapa nama itu begitu terngiang di kepalaku. Saat dia duduk di depanku dalam ruangan yang sama. Wangi harum shampoo yang ia pakai, membekas dalam-dalam setiap kali aku duduk menggumam sendiri.

Kami memang berbeda kelas dan bodohnya tiap kali berjumpa, aku tak kuasa untuk menyapanya.

Pernah sekali aku berhasil menyapa dia.
Dia menoleh, semua orang menoleh, seketika  mereka tertawa.

Tepukan tangan seseorang di bahu, membuatku spontan melirik ke belakang.
"Vin, makalah apa kabar?" Tubuh tegap dengan botak licin tanpa hiasan mahkota berhasil merengkuh pundakku.

"Be-besok P-pak, a-ampun."

Sekencang angin aku melarikan diri setelah lolos dari tangan mautnya. Kulihat wajah Vinka saat aku melewatinya.

Dia tersenyum manis, aku pun membalas dengan senyuman canggung.

Namun langkahku salah, kaki kananku tak menginjak tanah, lubang parit.

Alhasil aku jatuh terjengkal di depan kelasnya, posisi yang pas untuk dilihat oleh Vinka. Lagi-lagi dia tertawa pelan.

Aku menggerutu dalam hati. Merutuk atas kesialan-kesialan yang setia menemaniku.
Kembali aku berjalan pulang ke kosan yang nyaman walau harus menahan malu.

"Sial banget gua hari ini, aaargghh!"

"Bang bang kalo kesurupan jangan disini bang," celetuk Aa' burjo langganan.

"Diem lu a'!" jawabku nyolot

"Yaudah bayar kasbonnya!"

"Hehe ampun a', peace ya peace, damai kita."

Kuteguk segelas es teh yang kupesan tadi. Ditemani dengan bubur ayam terasa lengkap sudah sore hariku ini. Pandanganku tak lepas dari kondisi jalanan. Tumpukan buku yang kubawa ikut menemani sore itu. Makalah harus segera selesai. Setidaknya agar aku bisa ikut acara open house selepas diklat himpunan itu dengan tenang tanpa beban.
Memang sudah menjadi acara tahunan. Ketika ada maba yang mengikuti dan bersedia untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian mahasiswa. Akan diakhiri dengan pesta penyambutan, ya open house. Event besar bagi para jomblo untuk mendekatkan diri dengan gebetan mereka.

Meski kecil kemungkinannya. Vinka sudah jelas akan datang. Ya, aku bukannya jomblo seperti mereka. Mau bagaimana lagi, kesempatan perlahan menghampiri.
Ku pandangi layar handphoneku sesekali, siapa tau si dia online dan memperbarui statusnya. Nihil, nampaknya dia masih sibuk dengan tugas pemberian Si Botak.

Kembali kuseruput minumanku. Hawa panas yang berangsur-angsur dingin membuatku tergugah untuk meneruskan kembali makalah yang sudah terbengkalai sejak dua hari yang lalu.

Dua jam berlalu namun pekerjaanku masih berkutat di bab-bab awal. Materi yang susah dicari begitu menghambat pengerjaan tugas bobrok ini. Sekali lagi kupandangi jalanan yang masih saja ramai.

Sekilas bayangan gadis itu terlihat melewati kerumunan manusia-manusia yang berlalu-lalang.

Tapi dia tak sendirian, ada satu orang lagi yang mengikutinya. Ku tepis segera bayangan barusan dan kembali fokus ke makalah.

"Ngelamun mulu dari tadi bang, mikirin cewek ya?" goda aa' burjo padaku yang saat itu tengah mengecek pesan, dari operator.

"Ah apaan sih a', nggak kok ini lagi bingung sama makalah," balasku sewot.

"Makalah apa makalah? Atau kuota habis? Hahaha," ledeknya.

"Yaudah a', catet dulu ya. Gua mau balik ke kosan dulu."

Dengan jurus andalan aku segera lari dari tempat itu. Akhir bulan memang hal yang  mengerikan. Ketika uang mulai menipis dan beasiswa yang tak kunjung cair.

Begitu sampai di kamar kos, segera ku rebahkan badan yang penat ini ke atas dipan kasur.

Kuhelakan napas panjang dan mengamati kembali foto Vinka yang berhasil kuambil secara diam-diam. Saat itu pertama kali bertemu setelah ospek yang kami lalui selama seminggu. Kami memang sudah dekat semenjak saat itu. Dekat dalam artian ilmu, bukan dalam hal perasaan. Kapanpun dia menemukan masalah dalam mata kuliah yang dia ambil, Vinka selalu meminta solusi dariku.

Saat masa-masa ospek. Aku benar-benar mengalami masalah dalam bahasa. Pasalnya dalam kelompok kecilku, isinya hanya orang-orang jawa. Lalu saat itu lah Vinka masuk ke dalam kelompokku. Aku berpikir, oasis dalam padang gurun.

Ya, Vinka layaknya oasis di tengah-tengah padang gurun yang tandus. Sekumpulan cowok barbar dan seorang bidadari. Aku tidak akan pernah melupakan masa-masa pembinaan itu. Karena dengan adanya Vinka, aku sedikit terbantu akan komunikasi kepada teman yang lain. Aku pun juga membantu kala dia kesusahan, pastinya.

Awalnya aku tidak percaya bisa bertemu dengannya. Para senior pun ada yang sedikit iri denganku. Sempat beberapa kali aku memergoki mereka melotot tajam padaku. Sial.

Yah, tak bisa dipungkiri kalau dia memang pintar. Dan aku tidak sepintar dirinya. Itulah yang kusuka darinya, dia tidak pernah menyombongkan kepintarannya dan tetap mau terbuka padaku.

Wajahnya begitu manis, ditambah rambut panjangnya yang lurus semakin membuatnya elegan. Juga lesung pipit yang menghiasi wajah indah itu, lelaki macam mana yang tak akan luluh melihat dia.

Andai aku bisa berbicara lebih sering dengannya, mungkin aku akan mendapatkan setidaknya satu dari sepuluh ribu kesemputan untuk menyentuh relung hatinya.

Siapa yang tahu.

----

Seminggu berlalu dan makalah telah kukumpulkan. Sekarang aku bisa mengikuti acara diklat himpunan ini dengan tenang. Malam yang telah ku nanti-nanti, malam dimana kami semua terlepas dari tugas walau sesaat.

Segera kukenakan baju paling rapi di lemari. Tak lupa parfum kalengan indomart kusemprotkan agar tak tercium bau busuk kamar kosku yang menempel di baju. Aku menyunggingkan senyum paling indah yang sepanjang hidup, hingga....

"Vinoooooo! rapi banget hari ini ih cucok deh~"

Suasana mendadak horor. Suara yang tak ingin kudengar datang. Sosok paling kubenci meraung-raung mencoba masuk kamarku.

"KELUAR LU BANCI!!!"

"Ih ayang Vino jahat, masa te-"

"KELUAAAARR!!"

Segera ku tendang makhluk mengerikan itu keluar dari kamar. Suasana belumlah damai. Kulirik jendela kamarku dan makhluk jejadian tadi masih berlenggak-lenggok seraya sesekali mengedipkan matanya, horor.

Setelah merasa aman, segera kutinggalkan kamar dan lari sekencang tenaga sampai kampus. Langkahku berhenti manakala ada seorang anak kecil beserta adik-adiknya tengah menjajakan bunga potong. Kulangkahkan kakiku ke tempat mereka berdiri.

“Silakan Kak, bunganya. Ada mawar, tulip, anggrek, bunga lily, bunga terompet, dan masih banyak lagi Kak. Kakak mau beli bunga yang mana? Tolong beli ya, meski sepotong, Kakak udah bisa bersedekah untuk panti kami.”

Merasa tertarik, aku menemukan beberapa kuntum mawar biru di sana. Hatiku menjerit.

Mawar langka ini harus kudapatkan, akan kuberikan pada Vinka malam nanti. Sebagai bukti bahwa dia adalah hal spesial sejak aku datang ke Semarang.

Aku tahu dan paham, sudah setipis apa dompetku. Tapi kesempatan orang menjual mawar biru ini bisa dibilang langka. Kuberikan lembaran uang seratus ribu kepada anak-anak tersebut.

“Aku beli tiga, mawar biru aja, tolong ikat yang rapi ya.”

Mereka mengangguk senang. Anak tertua segera merangkai tiga kuntum mawar biru itu menjadi satu rangkaian. Aku tersenyum puas. Kumasukkan rangkaian mawar tersebut ke dalam saku kemeja di balik jas yang kukenakan.

Sesampainya di kampus, suasana telah ramai dan padat. Satu per satu mereka berdatangan. Mulai dari kasta paling tinggi para high class, sampai kaum paling rendahan yang datang hanya untuk  mencari makan gratis. Tentu saja bagi para peserta diklat himpunan mahasiswa.

Pandangan mataku terpaku pada satu gadis yang begitu manis malam itu, siapa lagi kalau bukan Vinka.

Senyumnya begitu indah, mungkin dia bidadari malam ini.

Aku tau banyak sekali bidadari di kampusku ini. Namun tetap saja, setiap kali ada Vinka di salah satu tempat. Radar milikku akan bergetar dan memberi tahukan posisi di mana gadis itu berada.

Kuberanikan diri tuk menyapanya. Namun dia telah berlalu bersama temannya. Aku hanya tersenyum tipis melihatnya menjauh. Aku telat sepersekian detik.

Malam ini akan kuraih hati itu, pasti!
Sambutan demi sambutan telah berlalu. Entah kenapa waktu terasa begitu lama saat rektor menyampaikan pidatonya. Belum lagi sambutan ketua panitia yang juga sangat membosankan. Tak jarang para mahasiswa ada yang tertidur saking bosannya.

Belum lagi tempatku duduk diapit oleh dua gumpalan besar bau. Aku merasa sial sekali mendapat bangku ini, sedang mereka berdua hanya tertawa sambil sesekali bergerak gerak yang makin membuatku terjepit.

Acara awal berlangsung dengan membosabkan, kini acara kedua dimulai.

Tiap fakultas mengirimkan kandidat-kandidat seniman mereka. Mulai dari musik, tari sampai operet. Sialnya aku masih diapit dua gumpalan itu.

Kulayangkan pandanganku jauh ke depan, kulihat Vinka tengah mengobrol dengan teman-teman di sampingnya.

Andai aku duduk di sebelahnya atau setidaknya satu bangku di belakangnya, mungkin aku tak akan merasa benar-benar bosan. Kuketik sebuah pesan dan lekas kirim ke nomor Vinka. Aku mendapatkan nomornya melalui usaha keras dan intens, dari temanku tentunya. Bunyi notifikasi terdengar begitu pesan tersampaikan.

Jantungku berdebar-debar menanti balasan pesannya. Namun pesan itu tak kunjung terbalas.

Segera kuberdiri dan keluar dari aula. Acaranya mulai membuatku bosan, tak ada yang bisa kunikmati. Dengan sengaja aku tendang sebuah kerikil kecil tak tentu arah.

Kembali mataku memeriksa handphone, siapa tau dapat balasan darinya. Jantungku kembali berdegup kencang saat melihat sebuah notifikasi pesan.

Kupanjatkan do'a dan mantra sebelum membuka pesan itu. Dengan mata sedikit tertutup, kubuka pesan itu perlahan.

"OPERATOR SIALAN!!!!"

Kembali kutendang sebuah kerikil tak tentu arah. Tanpa sadar suara orang mengaduh terdengar pelan. Ku cari-cari suara tersebut, ternyata Vinka sudah berada di luar aula. Tengah mengaduh dan memijit kakinya yang terkena tendangan batu kerikil.

"Aduh, maaf ya Vin aku gak sengaja, maaf banget," ucapku memohon

"Ah iya, gak begitu sakit kok," balasnya sambil tersenyum.

Gila, senyumnya makin indah malam ini. Kuberanikan diri tuk mengajaknya ke tempat barbeque. Dia mengangguk setuju.
Entah mimpi apa aku semalam bisa berduaan sama dia. Suasana begitu hening, tampaknya dia menikmati hawa dingin malam hari di kampus.

Aku bingung topik apa yang harus kubicarakan. Keringat dingin mengucur deras di dahiku. Tanpa sadar dia lalu duduk di salah satu bangku di sana, aku ikut duduk mengekor.

Dia diam, aku juga terdiam.
"Vin, untuk materi yang kelas kemarin kamu paham gak?" celetuknya memecah keheningan.

"Materi yang mana?" tanyaku padanya.

"Itu, yang masalah organ dalam dan kelenjar paru-paru, aku bingung sama salah satu istilah di situ." Dia menggembungkan pipinya yang makin membuat dia kelihatan imut.

Aku mulai menjelaskan sebisaku padanya. Dia begitu memperhatikan apa yang kujelaskan barusan. Tatapan matanya yang dalam membuatku semakin terpana. Kumakan snack yang tadi sengaja ku ambil dari meja.

"Eh Vin, kamu pernah gak merasa kalau perasaan yang kamu miliki tak tersampaikan pada orang yang kamu suka?"

Aku tersedak begitu dia menanyakan hal itu. Dia tertawa melihat tingkahku yang kayak orang kesurupan. Tanpa pikir panjang segera kuminum segelas air yang tak jauh dari tempatku duduk. Ada sedikit rasa asam di air itu, tapi segera kutepis pemikiran tadi.
Mampus kenapa tiba-tiba?

"Kamu, baik-baik aja kan?" tanyanya sekali lagi.

"Haha tenang aja, hmm ada sih yang seperti itu malahan dia begitu dekat sekarang," balasku sekenanya.

"Jangan bilang kamu suka aku."
Aku terdiam, batinku ikut terdiam. Jantungku berasa seperti tertusuk benda tajam. Pikiranku mulai kosong. Walau sakit, aku beranikan tuk menyatakan itu.

"Haha, ya enggaklah kita kan cuman teman, lagipula kita kenal baru sebulan," balasku berusaha menutupi kebohongan yang jelas terlihat.

"Kalaupun suka juga gak masalah kok, wajar kan manusia punya rasa suka ke lawan jenis."

Dia berdiri dari duduknya lalu menatap mataku dalam-dalam, mencari celah terkecil dari gelagat anehku.

"Tapi maaf, untuk saat ini aku gak bisa, ada alasan khusus yang gak bisa kuceritakan. Apalagi padamu,” Dia melanjutkan.

Aku kembali terdiam melihat dia melangkah pergi ke tempat teman-temannya yang memanggil. Dalam diam kupandangi bulan yang muncul tanpa halangan di langit sana.

Kuambil mawar yang tadi kubeli. Kuletakkan rangkaian mawar biru tersebut di tempat yang sebelumnya Vinka duduki. Napas panjang teratur terhembus perlahan di sela-sela batinku yang menggetar.

Akankah aku menyerah ataukah kuterjang saja. Aku tak sanggup memikirkan langkah selanjutnya. Atau mungkin ini seperti posisi skak mat kalau dalam dunia catur.

Kulihat kembali punggung Vinka yang juga bergetar karena gelak tawa mereka. Senyuman Vinka masih sama. Tak ada makna lain yang tersirat dari rona senyumnya. Tampak seperti tak pernah terjadi apa-apa menit sebelumnya.

Mungkin inilah yang mereka sebut cinta satu arah.

The end.

A/N : Selamat menjalani cinta satu arah kalian teman-teman. Semoga kuat.

Penulis
RayLone

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang