6. We Want to Get Out of Our House

147 12 0
                                    

"Hallo, guys! Welcome back to my blog, Erine Rose. Kali ini, sesuai janji aku bakal live stream bareng kalian semua. Tentu saja, seperti biasanya aku akan memberikan tutorial cara menggambar wajah seperti yang telah aku janjikan."

Namaku, Erina Rose. Seorang bloger yang sangat banyak disukai oleh para fans. Penggemarku sudah lebih dari tiga juta, dan ya ... keahlianku adalah menggambar.

Orang-orang menganggap gambarku sangatlah unik, dan tutorial menggambarku mudah untuk ditiru, sehingga membuat mereka selalu membaca blog dan menontonku ketika live streaming di blog milikku— tidak! Ini bukan milikku, melainkan milik ... ayahku.

Setiap hari aku harus menggambar dan terus menggambar, hingga harus mempublikasikan hasil gambaranku tiga kali dalam satu minggu. Aku tidak pernah diperbolehkan ke luar rumah, bahkan kamar sekalipun kadang tidak boleh.

Semua kendali di rumah ini dipegang oleh ayahku. Bahkan adik perempuan dan kakak laki-lakiku pun diperintah oleh ayah untuk membuat blog sepertiku.

Keahlian kami memang sama dalam bidang seni, kakaku seni pahat dan kriya. Aku seni melukis, dan adikku mural. Sungguh indah bukan?

Tapi sayang, setelah ibu kami meninggal karena terlalu lelah bekerja, alhasil kami yang harus dipaksa kerja oleh ayah kami.

Dulu, ibu kami adalah seorang desainer busana ternama di kota. Sama seperti kami, ayah membatasi ruang gerak sang ibu karena khawatir ibu kami selingkuh katanya.

Padahal, ayah yang selalu membawa wanita-wanita di pinggiran jalan dengan make up tebal itu ke rumah. Aku benci mereka, aku benci, terutama pada ayahku.

Sampai sekarangpun, uang hasil dari blog kami diserahkan sepenuhnya pada ayah. Dan, kerjaannya hanya mabuk-mabukan, bermain wanita, membawa teman kaya raya lainnya dan membangga-banggakan kami. Sungguh licik memang ayahku ini.

"Ernie!" pekik ayahku dari luar kamar.

Untung saja aku sudah selesai melakukan live streaming. Hingga, aku bisa menjawab sahutan ayahku.

"Aku di dalam," jawabku.

"Sudah saatnya makan malam. Helix dan Illen sudah ada di bawah menunggumu."

Aku hanya tersenyum lebar. Tak mengapa tak diizinkan ke luar, setidaknya ayahku membiarkanku untuk bertemu dengan saudara dan saudariku.

Aku pun bergegas keluar kamar dengan tergesa-gesa. Ayahku tidak marah karena aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, begitupun dengan kakak dan adikku.

"Kakak, dan Illen. Bagaimana kabar kalian?" kataku mencoba ceria tatkala duduk di meja makan.

Namun, hanta tatapan dingin dan senyum kecut dari adikku yang aku dapatkan.

"Hei! Ada apa dengan kalian?"

"Erine, sebenarnya—"

"Sebenarnya apa?" sanggah ayahku ketika Helix ingin menyampaikan sesuatu padaku.

Seketika Helix menunduk. "Tidak, Ayah. Aku tidak mengatakan apapun."

"Baiklah, makanan kali ini adalah makanan kesukaan Erine. Seluruh makanan yang ada di meja ini Ayah khususkan untuk Erine, karena dia yang sudah menyumbangkan uang terbanyak bulan ini."

Seketika senyum bahagiaku mendadak pudar. "Pantas saja Helix dan Illen diam. Bagaimana ini? Siapa yang akan kena cambuk ayahku kali ini?"

Aku hanya tersenyum paksa sembari memandang ayahku. Seketika saja suasana meja makan menjadi hening, tak tau lagi harus membuka topik apa untuk mencairkan suasana.

Makan malam kali ini usai. Saatnya kembali ke kamar masing-masing. Kami saling tatap dingin karena dibuntuti oleh ayah, namun tiba-tiba ponselnya berbunyi membuka kesempatan untuk kami.

"Siapa yang akan kena cambuk besok malam?" tanyaku seraya berbisik.

'"Illen," jawab Helix.

"Kalau begitu, mari kita cari cara supaya Illen tidak dicambuk."

"Anu ... sebenarnya, Kakak punya sesuatu yang harus dibicarakan dengan kalian. Tidak kali ini, malam sekarang pukul 00.00 datanglah ke kamarku. Kakak akan menunjukkan sesuatu yany bisa membuat kalian bahagia."

Ayah kami pun kembali. Kami kembali diam dan berjalan sepelan mungkin hingga satu persatu orang memasuki kamarnya.

Langsung saja aku merebahkan diri di atas kasur empuk yang luas ini. Meski seperti dipenjara, kami diberikan fasilitas yang nyaman, kami boleh melakukan apapun asalkan tidak beranjak dari kamar.

Sembari menunggu pukul 00.00, aku menyempatkan diri untuk membuka media sosial, itung-itung untuk mengetahui dunia luar, kan?

Bagiku dunia luar itu sungguh hebat. Di sana ada hamparan luas lautan, dan ada banyak gunung. Bahkan langit-langit kamarku yang ditaburi kristal tidak bisa menandinginya.

🐰🐰🐰

Tak terasa waktu suda menunjukkan tengah malam. Dengan langkah kaki perlahan, aku membuka pintu kamar dengan perlahan. Gelapnya ruangan seketika langsung menyambut diriku.

Cahaya dari luar jendela besar yang terpampang di dinding begitu membuatku terpukau, seolah menarikku untuk keluar dari sini.

Perlahan, aku melangkahkan kaki, memegang kaca yang begitu besar, melihat indahnya bulan dengan langit gelap. Hingga, suara burung menyadarkanku.

Akupun bergegas berlari kecil menuju kamar kakakku. Sesampainya di sana aku membuka pintunya sepelan mungkin.

Di sana sudah terdapat Illen dan kakakku yang tengah mengumpulkan barang-barang. Ada senter, tambang, beberapa persediaan makanan, tas dan beberapa pakaian.

"Ada apa ini?" refleks aku langsung menghampiri mereka.

"Kemarilah!" perintah kakaku.

Aku pun langsung menghampirinya. Kakakku langsung berdiri dam mengenggam tanganku. Ia membawaku ke dekat lemari rak buku yang besar, di sana ia memasukan sebuah kode pada rak-rak buku itu.

Seketika rak itu berputar, menampakan lorong panjang yang cukup luas lebar pintu depannya. Seketika aku terpana, menatap kakakku dan Illen secara bergantian.

"Kak, sudah lama aku dan kak Helix memecahkan kode yang tertulis dari wasiat peninggalan ibu. Dan sekarang saatnya kita untuk bebas. Terserah kak Erine mau ikut atau tidak."

"Tentu saja aku ikut. Keputusanku sudah bulat, aku akan ikut."

Kak Helix langsung saja menggendong tas yang cukup besar, begitupun aku dan Illen. Bahkan aku tidak tahu kapan Illen menyiapkan barang-barangku.

Masing-masing dari kami membawa senter di tangan kami. Kak Helix berjalan pertama, disusul Illen dan juga aku.

Di dalam lorong begitu gelap. Oh iya, tentu saja kami sudah mengunci kamar kak Helix dan menutup kembali rak. Untung saja aku membawa ponsel dan sudah mematikan GPS, jadi aku tidak khawatir.

Lorong itu begitu kusam dan penuh debu. Di dalamnya tidak terlalu banyak jalan yang membuat kami pusing. Seolah takdir memang memihak kami, kami berhasil melewati lorong itu dengan selamat dan aman.

Sekarang di sinilah kami tengah berdiri. Di padang rumput yang begitu luas. Diterpa angin malam, di bawah langit gelap dan terangnya rembulan. Kami akhirnya bebas.

🐰🐰🐰

END

Penulis: Mikurinrin_

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang