21. Tangisan Langit

365 6 0
                                    

Empat tahun berlalu, abi telah ditangkap oleh Sultan Abu 'Abbas dan kabarnya masih berada dalam penjara istana. Diriku masih belum mengerti tentang apa yang ada dalam pikiran orang-orang dewasa itu. Jujur saja, kepalaku berkali-kali mendidih kala mencoba untuk menerobos dan mengira-ngira siklus kehidupan yang terjadi saat ini.

"Oh, Sa'ad! Anakku, ke mana saja kau selama satu bulan belakangan?"

"Umi, maaf. Sa'ad hanya merindukan abi."

Kurasakan pelukan umi semakin erat. Aku bisa mengerti kenapa beliau bisa sepanik itu tadi. Mungkin, wanita lunak yang hampir menua seperti dirinya tidak ingin kehilangan orang tersayang untuk kedua kali. Akan tetapi dadaku masih sesak, bahkan aliran darahku semakin deras seperti saat terkena badai pasir di siang terik yang mana kerongkonganku pun masih belum tersentuh tetesan air.

Setelah mendengar penjelasan yang cukup, umi membiarkan diriku istirahat di kamar. Aku si tukang tidur ini pun menutup mata demi mengharapkan suatu ketenteraman dalam pelukan semu dari tikar yang tertindih. Begitu hangat, pikirku sambil menutup kedua mata.

Lima menit kemudian.

"Dingin sekali. Ataukah hanya perasaanku saja?"

Dua menit kemudian.

"Hei, yang benar saja? Tapi, mungkinkah ini pertanda hujan?"

"Hm, hujan lagi? Tumben."

Tubuhku terus bergerak, bahkan kedua mataku sudah tidak kuasa menahan ketidaknyamanan ini. Tiba-tiba terlintas wajah pria tua yang memberikan sepotong roti, entah beberapa hari lalu. Sungguh, laki-laki yang baru pertama kali kutemui itu tampaknya sulit ditebak.

Kutopang wajah kecilku dengan kedua tangan, aku merasa seperti orang bingung. Sesaat setelah menguap, aku menidurkan kembali seluruh raga mungil ini. Dan aku pun kembali masuk ke dalam dunia mimpi.

"... Iya."

"... Ah, ya,"

"Yahya!"

Ampuni aku. Semoga tidak ada yang terkena serangan jantung setelah mendengar teriakan mendadak dariku barusan, ujarku membatin masih dengan debaran dada yang tidak karuan. Bertaruh apakah ibu kandungku yang sedang mengolah gandum di dapur terkejut atau tidak.

"Sa'ad, ada apa? Kenapa berteriak? Perlukah umi masuk dan memberimu segelas air?" suara lembut umi terdengar dari balik pintu kamar.

"Hm, Yahya?" Aku terus bergumam mengucapkan nama itu tanpa sadar bahwa belum menjawab pertanyaan dari sang bunda.

Banyak sekali sesuatu yang berputar dalam ingatan samar-samar milikku. Sayang sekali, yang kuingat hanya pria tua itu dan ... hujan. Ya, benar. Siang itu, gerimis datang di saat yang tidak tepat. Aku pun ingat kenapa bisa terjatuh dan diberi sepotong roti olehnya.

"Mimpi kah? Ah, mungkin aku hanya butuh istirahat lebih sebab kelelahan dalam perjalanan ke ibukota. Apalagi, baru dua hari yang lalu umurku genap sepuluh tahun."

***

Kedua kaki kecilku berusaha mengimbangi langkah sang pria dengan buku tebalnya itu. Selama perjalanan, pria tua ini tidak menjawab pertanyaan dariku dengan benar. Malah, mengajak bercanda. Aku merasa kalau orang ini sedang mempermainkan diriku. Tapi, mana mungkin orang yang sudah memberikan roti enak ini suka mempermainkan anak-anak?

"E-eh, mungkin saja. Kan?" tuturku pelan sambil mengerutkan dahi.

"Hm? Apa yang mungkin?" tanya orang di samping.

Aku menggeleng lamban dan menjawab, "Bukan apa-apa."

Tanpa sadar, kami sudah sampai di depan pohon besar dalam hutan. Aku yang pada dasarnya sangat peduli dengan situasi pun memberi respon dengan cepat.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang