Pada zaman di mana sebuah album kenangan telah digantikan oleh teknologi seperti smartphone, Arie masih saja menyimpan sebuah buku tebal berisi ratusan foto teman-teman seangkatan SMA-nya pada masa itu.
Pemuda itu duduk bersandar di tempat tidur. Tangannya memegang album kenangan masa SMA.
Ada sebuah halaman yang selalu ia buka untuk melihat foto seorang gadis. Tentu, siapa lagi jika bukan gadis impiannya.
Tertulis nama Andini Aulia Putri di samping foto gadis itu yang mengenakan dasi berwarna hitam. Di bawah nama Andini, ada alamat rumahnya yang Arie--tidak pernah berani untuk berkunjung ke sana.
Terdapat juga sebuah kata-kata mutiara bercetak miring yang berbunyi "Hidup untuk bahagia dan membahagiakan orang lain" yang selalu menjadi alasan mengapa gadis impian Arie itu selalu tersenyum.
Jika Arie mengingat-ingat kembali, memang Andini tidak pernah terlihat murung. Andini selalu menebarkan virus kebahagiaan pada orang-orang di sekelilingnya. Tahu 'kan, jika senyum itu menular?
Dan Arie menjadi salah satu korbannya.
Di awal tahun pelajaran baru, Arie tidak ingin mendapat seorang pun teman. Mengingat pada saat bangku SD hingga SMP, dirinyalah yang selalu menjadi bahan bullyan teman-temannya.
Saat bel pulang sekolah telah berbunyi sejak tadi. Dan kerumunan orang-orang di sekitar SMA telah kembali pulang, Arie menyendiri di dalam kelas. Selalu begitu, sejak hari pertama masuk sekolah.
Biasanya, sambil menunggu murid-murid yang lain pulang, Arie akan duduk sambil bermain handphone, membaca buku, atau mengerjakan tugas jika ada.
Namun sore itu, gadis berambut panjang yang duduk di depan meja guru tidak kunjung pulang. Arie sedikit risih, karena selama ini yang tinggal di kelas saat semuanya telah pulang hanyalah dia.
Arie melihat sosok Andini dari bangku belakang, seperti sosok hantu yang menunggu sekolah hingga sepi bersamanya, dan setelah semuanya pergi, Andini akan mencekiknya dari bangku depan. Bagaimana tidak? Gadis itu bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arahnya.
Perut rata Arie mulai bergemuruh. Arie belum makan tadi siang, dan inilah akibatnya. Tetapi tekad pemuda itu untuk pulang setelah sekolah sepi tetap kukuh. Ini sudah menjadi kebiasaannya, agar ia tidak berpapasan dengan siapapun yang mengenalnya saat perjalanan pulang.
Jam lima sore. Suara anak-anak mengaji dari masjid dekat SMA sudah mulai terdengar. Perut Arie yang tadinya bergemuruh kini mulai perih. Asam lambungnya naik.
Mau tidak mau, Arie harus pulang karena ia tidak membawa obat penurun asam lambung di tasnya.
Pemuda itu mendorong kursinya ke belakang, lalu berdiri. Dengan malas ia menggendong tas ranselnya, dan berjalan menuju pintu kelas.
Saat melalui bangku yang diduduki Andini, Arie terkejut karena gadis itu mencengkeram ranselnya.
"Hei, aku mau bareng sampai depan gerbang," ucap Andini sambil mendongak, menatap wajah Arie.
"Gak mau."
Arie tidak ingin seorang pun menjadi temannya. Meskipun hal itu mungkin tidak akan membuat Andini menjadi temannya, tapi bisa saja sewaktu-waktu Andini memintanya pulang bersama lagi, dan mereka menjadi teman. Ia trauma dibully.
Andini menarik-narik ransel Arie. "Ayolah. Cuma sampai gerbang depan."
Karena rasa lapar yang tak tertahankan, Arie membiarkannya untuk berjalan bersamanya sampai gerbang depan agar ia bisa segera pulang.
Mereka pun keluar kelas. Arie berjalan satu meter di depan Andini. Awalnya langkah mereka sama, tapi lama-kelamaan langkah Arie semakin cepat, dan Andini tidak bisa menyamakan langkahnya.
"Tunggu," ucap Andini, tidak terlalu keras.
Arie tidak menjawab. Ia hanya sedikit memelankan langkahnya, tapi tidak menyamai.
"Perutku nyeri ...," tambah gadis itu dengan lirih.
Pemuda di depannya pura-pura tidak mendengar karena perutnya juga dalam keadaan tidak menyenangkan. Tetapi jika perutnya dalam keadaan baik-baik saja, Arie tetap akan pura-pura tuli.
Hampir sampai di depan gerbang SMA, Arie semakin mempercepat langkahnya agar segera berpisah dengan Andini. Namun, baru saja ingin mempercepat langkahnya, sebuah suara sesuatu yang terjatuh menarik perhatiannya untuk menoleh ke belakang.
Itu Andini, terbaring di tidak sadarkan diri di atas paving. Arie reflek berlari ke arahnya dan melihat keadaannya.
Arie menggoyang-goyangkan lengan Andini. Tidak ada respon. Pemuda itu langsung menyimpulkan jika Andini pingsan.
Matanya menyisir daerah sekitar, barangkali ada seseorang yang bisa ia mintai tolong. Matanya menangkap sosok penjaga UKS yang baru saja akan menaiki motor.
Arie menghampiri penjaga UKS lalu segera meminta tolong.
"Bu, Bu! Tolong, ada yang pingsan," ucap Arie agak panik.
"Loh, bukannya ditolongin, malah ke sini. Sekarang di mana orang yang pingsan itu?" tanya Ibu Penjaga UKS.
"Di deket gerbang, Bu," jawab Arie.
"Tolong diangkat, terus bawa ke UKS. Ibu siapin dulu tempatnya."
Arie menganggu k cepat, dan meluncur ke tempat di mana Andini pingsan. Ia mengangkat lengan gadis itu, meletakkannya di atas pundaknya, lalu membopongnya. Badan Arie yang jarang diajak olahraga membuatnya sempoyongan menggendong Andini.
Di ranjang UKS, Arie menidurkan Andini dengan hati-hati. Ibu Penjaga UKS membuatkan teh panas dan mengoleskan minyak kayu putih di beberapa bagian tubuh Andini.
Arie duduk di kursi yang disediakan di UKS. Ia bingung antara harus menemani Andini hingga siuman atau pulang ke rumah untuk mengisi perutnya. Setelah menimbang-nimbang, Arie memilih opsi kedua demi keselamatan lambungnya yang terus terkikis asam klorida.
Saat hendak berpamitan pulang, Ibu Penjaga UKS bertanya padanya, "Dia teman kamu?"
Arie menggeleng. "Bukan."
Alis Ibu Penjanga UKS menaut, lalu bertanya lagi, "Kamu tahu nama atau kelasnya?"
"Tahu. Dia Andini, X Bahasa 1," jawab Arie.
"Ya sudah, Ibu mau kasih tahu wali kelasnya, biar diberitahukan ke orang tuanya. Kamu boleh pulang kalau mau."
Arie memutuskan untuk berpamitan lalu pulang.
Keesokan harinya, saat jam istirahat. Andini menghampiri mejanya dengan senyum lebar.
"Makasih, ya, yang kemarin. Aku sengaja nggak pulang cepet karena perutku nyeri. Dan ternyata masih ada kamu. Jadi aku bisa bareng sampe gerbang. Eh, tapi belum sampe gerbang, aku keburu pingsan. Maaf, pasti kamu kerepotan nyari bantuan," cerita Andini panjan ng lebar.
Arie diam tidak menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Pokoknya makasih banget. Nih, roti sebagai ucapan terima kasih. Aku tahu kamu belum makan." Andini menyodorkan sebuah roti manis.
Arie berniat menolak pemberian dari Andini. "Gak perlu. Aku nggak laper."
Dengan kecewa Andini menarik kembali tangannya. Sedetik kemudian, gadis itu kembali tersenyum, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang rapi.
"Ya udah, nggak apa-apa. Lain kali kalau butuh bantuan, minta tolong aja. Dijamin pasti aku bantuin, kok."
Andini tersenyum lebar dengan mata menyipit, menandakan ketulusannya. Entah apa yang menyerangnya, Arie ikut-ikutan tersenyum. Senyum Andini membuat hatinya luluh.
Setelah hari itu, Arie belum pernah meminta bantuan apapun pada Andini. Pemuda itu terlalu gengsi untuk meminta bantuan orang lain.Namun, tidak dapat disanggah jika ia mengagumi Andini. Terbukti hampir setiap saat, mata Arie tidak lepas dari gadis itu.
Mengingat masa-masa SMA itu, tentu membuatnya menyesal tidak pernah memiliki teman.
Melihat nomor telepon dan e-mail yang ditinggalkan Andini di album kenangan SMA membuat Arie ingin menghubungi Andini setidaknya sekali.
Namun, niatnya urung ketika ia ingat bahwa gadis impiannya telah bersama yang lain.
Penulis: haayura

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 10 Days ✔
Short StoryAdalah sebuah project rutin grup kepenulisan FLC. Yaitu member akan membuat sebuah karya cerpen dalam jangka waktu 10 hari. Cover spektakuler dari salah satu mem kami : @Kuroyuki01