10. My Memories On Earth

262 12 0
                                    

Aku berlari dengan kecepatan maksimum. Suara nyaring alarm yang melengking sepanjang lorong membuatku tambah gelisah. Keringat dingin bercampur rasa lelah sudah membanjiri tubuhku. Lampu lorong berkedap-kedip berwarna merah. Pintu besi mulai diaktifkan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai para petinggi sadar dan mengaktifkan laser.

Pintu besi berlapis baja terlihat di depan mataku. Sebuah semangat baru mulai menggebu, seulas senyum mengembang sempurna di bibir. Aku segera merogoh saku jersey hitamku, mengeluarkan sebuah kartu identitas, kemudian segera men-scan barcode ke sensor pintu. Pintu terbuka, memaparkan pemandangan dibalik pintu.

Senyumku runtuh. Perlahan, tergantikan dengan air mata. Aku jatuh terduduk, terisak dalam diam. Hanya bisa meratapi pemandangan mengerikan di depan mata.

Sejak awal, ini memang salahku. Seharusnya aku tidak pernah masuk ke dalam ruang memori dan membuka album itu. Seharusnya aku membiarkan semuanya tetap seperti biasanya. Seharusnya, aku menyerah.

Namun, aku justru melanggar peraturan nomor pertama, dan dengan jahatnya membiarkan teman-temanku menjadi korban atas kesalahan yang telah kuperbuat.

Teman-teman ... maafkan aku.

Aku ... menyesal.

***

Semua ini, berawal ketika malam purnama tahun lalu tiba. Malam itu begitu tenang dan hening. Langit cerah tanpa awan, membiarkan bulan purnama bersinar dengan luwesnya.

Ya, seharusnya itu menjadi malam yang tenang. Aku juga seharusnya bisa tidur seperti biasa, beristirahat melepas lelah setelah beraktivitas seharian penuh.

Namun, presepsiku salah besar. Di tengah keheningan malam, sebuah piringan pesawat UFO datang, membelah atap rumahku.

Aku yang baru saja hendak menarik selimut untuk tidur refleks menjerit histeris. Sebuah sorot cahaya dari piringan pesawat UFO menyorot ke tubuhku. Perlahan namun pasti, aku dapat merasakan tubuhku melayang. Seakan ada magnet yang melekat antara diriku dan pesawat UFO itu.

Kepalaku terasa begitu pening. Aku sudah kehabisan tenaga untuk berteriak. Hanya dalam hitungan detik, aku sudah kehilangan kesadaran.

Gelap dan sunyi.

Seakan hanya ada diriku di dalam dunia luas yang hampa ini.

Hingga sebuah suara membangunkanku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Cahaya putih yang begitu terang menyapa indra penglihatanku, membuatku mau tak mau refleks kembali menutup mata.

Setelah menyesuaikan mata dengan pencahayaan, barulah aku melihat keadaan yang ada di sekitarku.

Saat ini, aku sedang terbaring di sebuah papan yang terbuat dari besi. Entah ini baja atau apa, karena teksturnya begitu keras. Ada sebuah bantalan di balik kepalaku. Di mulutku, terdapat sebuah tabung kecil dengan selang yang menyambung entah ke mana.

Suara bising terdengar. Ternyata, aku tidak sendirian. Ada banyak orang yang bernasib sama sepertiku. Mereka terbaring di papan besi, dengan tabung di mulut mereka. Beberapa dari mereka tidak sadarkan diri.

Suara bising yang kudengar berasal dari sebuah ... makhluk?

Entah itu makhluk apa, namun bentuknya begitu abstrak. Nyaris menyerupai manusia, namun dia hanya memiliki tiga jari yang menyerupai tentakel. Warna kulitnya hijau, dengan mata berwarna kuning oval.

Aku ingin menjerit, namun tabung yang berada di mulutku menghalauku untuk melakukannya.

Salah satu dari sosok menyeramkan itu menghampiriku. Dia tersenyum, dan percayalah, senyumnya menyeramkan.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang