BELAJARLAH BERKATA CUKUP

2.5K 161 13
                                    

Kenapa banyak perempuan remaja-muda, yang memiliki tubuh yang bagus bak model, kulit yang mulus putih kekuningan, kekayaan yang sangat lebih dari cukup, otak yang di atas rata-rata, wajah yang begitu cantik, tak kurang apa pun dalam hal materi dan keuangan, liburan di tempat-tempat eksotis dan luar negeri, disukai oleh banyak orang, masih tetap saja tak puas dengan kehidupannya? Seolah-olah semua yang dimilikinya masih serba kurang? Begitu juga laki-laki.

Hari ini kita hidup di sebuah dunia yang saling memandang bak cermin. Perkembangan teknologi dan internet, membuat kita selalu mengukur dan membandingkan diri sendiri dengan banyak orang sekaligus. Orang-orang yang secara kepribadian, mental, dan sikap yang sangat lemah, biasanya mudah terseret arus. Ingin menjadi seperti orang lain dan orang lain. Selalu merasa tak puas dengan diri sendiri. Padahal, bagi banyak orang, dia memiliki segalanya. Beberapa orang yang memiliki kepribadian yang lumayan kuat akan berkata cukup dan memberikan waktu ke hal yang lain. Cukup puas dengan diri sendiri: entah dipandang jelek atau memesona, tak jadi soal. Kenapa bisa begitu?

Kecantikan dan kekayaan tak membuat orang-orang merasa bahagia. Begitu juga kemiskinan dan tubuh yang dianggap biasa saja atau jelek. Yang membuat kita semua menjadi terlalu sibuk dengan menginginkan banyak hal sekaligus karena tekanan orang tua, pendidikan, lingkungan pertemanan, pasar dan iklan-iklan, serta segala macam kode sosial masyarakat yang lebih memandang tinggi nilai tertentu dari pada nilai lainnya. Karena kita adalah manusia sosial maka jelaslah kita ingin diterima dan dianggap menjadi bagian masyarakat luas. Itulah sebabnya kita mengikuti hal-hal yang seringkali kita sendiri tak menyukainya. Yang membuat kita terbebani, dan merasa menjalani kehidupan yang penuh tuntutan tiada akhir.

Kedua orang tua kita menuntut agar kita menjadi dokter, arsitek, atau pebisnis. Padahal kita lebih menyukai seni, humaniora, atau bahkan hukum dan politik. Tapi banyak orang tua sering memaksa dan mengancam dengan berbagai macam cara. Sehingga apa? Kita memang mendapatkan gengsi di dalamnya,  tapi juga perasaan frustasi, tekanan besar, dan ketidaksenangan di banyak waktu. Terlebih bagi orang-orang yang tahu bahwa dirinya sejak awal cukup lemah di sains, walau bisa tapi berusaha lebih dari yang lain, akan mengalami periode benar-benar berat. Memutuskan untuk kuliah kemana kadang nenjadi beban dan pikiran yang tak tertanggungkan. 
Sama halnya memutuskan bersekolah, banyak juga diputuskan oleh orang tua, kesukuan, dan agama. Kita menginginkan sekolah di sini, orang tua ingin di situ. Dan kebanyakan sekolah bagus dan elite, memiliki banyak siswa-siswi yang sejak kecil dididik meremehkan yang lain dan memandang rendah banyak hal. Sehingga sekolah tak lagi menjadi hal yang menyenangkan. Saling berkompetisi tiada akhir. Saling membenci, mencemburui, merendahkan, dan terkadang, akhirnya seringkali tak memiliki satu teman pun di sekolah. Sekolah menjadi tempat yang paling membuat frustasi: selalu ingin menangis di dalam kamar, toilet, atau tiba-tiba di dalam kelas.

Itu pun berlanjut di hal percintaan yang diatur kakak, orang tua, agama, masyarakat, dan lainnya. Lalu saat kita bergaul atau memilih teman juga seringkali diatur oleh banyak pihak. Belum lagi ini dan itu yang jumlahnya begitu banyak. Pada akhirnya kita tak henti-hentinya khawatir dan cemas.

Pacar kita lebih suka tubuh yang langsing, rambut panjang, dan pakaian minim. Maka kita berusaha menurutinya, agar dia tidak pergi dan mencari orang lain. Hal satu ini saja, bisa membuat perempuan manapun nyaris selalu khawatir setiap harinya. Padahal waktu untuk memikirkan kelangsingan bisa digunakan untuk belajar atau sedikit bersenang-senang. Kita sedikit diterima oleh orang lain jika kita merasa bahwa bagiku, semua ini sudah cukup. Tidak. Guru, orang tua, pacar, masyarakat, dan yang segala iklan di tv, mengatakan semua ini kurang. Dan kita dituntut untuk menutupi kekurangan itu tiada akhir sampai kita nyaris kelelahan setiap saat.

Kita dituntut pintar dan berprestasi. Kita dituntut berpenampilan modis. Kita dituntut kaya. Kita dituntut agar diam padahal kita ingin protes pelajaran yang buruk. Kita terus dituntut menjadi orang lain yang tak kita inginkan agar diterima oleh orang-orang di sekitar kita. Atau menutup celah kosong di dalam jiwa kita yang kesepian, karena orang tua kita yang terlalu sibuk bekerja dan perkembangan masa kecil kita yang berantakan: perceraian sejak kita kecil atau pelecehan dan hinaan di lingkungan sekitar.

Itulah sebabnya, kata cukup terhadap kehidupan sehari-hari yang kita jalani menjadi hal yang begitu berat untuk dilakukan. Bagaimana bisa berkata puas dan cukup dengan nilai 67 jika guru, orang tua, dan universitas impian mengatakan 67 adalah nilai yang buruk dan mendekati bodoh? Bagaimana bisa berkata cukup jika semua teman di sekolah memakai handphone merk Apple dan paling rendah Samsung tipe keluaran terbaru? Di saat kita hanya memiliki yang lebih murah? Bagaimana kita bisa merasa cukup dan puas dengan diri sendiri, jika orang yang kita sukai di kelas lebih menyukai orang yang lebih tinggi, rambut indah, dan bermata agak lebar padahal kita sangat tak terlalu memikirkan hal itu dan pada akhirnya terpaksa memikirkannya dan merasa lebih rendah karena tak memiliki hal semacam itu? Bagaimana bisa merasa puas dan cukup jika banyak teman kita membawa mobil, berwisata keluar negeri, memiliki uang jajan yang lebih banyak, dan hidup bersenang-senang dengan kekayaan orang tua?

Sudah saatnya berkata cukup. Mereka mungkin terlihat bersenang-senang dan berbahagia. Tapi hal itu jarang terjadi. Banyak dari mereka melakukan semua itu guna menghilangkan beban berat di hati dan kepala. Atau mengisi ruang kosong di hati mereka masing-masing. Atau pada dasarnya mereka tak mempercayai diri mereka sendiri sehingga membutuhkan penegasan atau penguat berbentuk gadget mahal, mobil, dan gaya hidup berkelas.

Tapi kamu dan dia, nyaris sama. Orang-orang yang berkecukupan, kaya, tak kelaparan, memiliki hampir semuanya, tapi sama-sama merasa tak mampu keluar dari segala tuntutan di sekitar. Dan terkadang, adakalanya kita heran, kenapa para pedagang kaki lima, pemulung, dan seorang petani terlihat lebih berbahagia?

Itulah masalahnya. Kita terlalu sering membandingkan diri kita sendiri. Dan lupa, adakalanya kita tak perlu melakukannya. Dan sudah puas dengan berjalan kaki, memakai gadget seadanya, atau tak terlalu peduli dengan kaki panjang, rambut indah, dan tubuh seperti model. Kecuali kita memang benar-benar ingin tanpa terpaksa atau membuat kita sakit dan menderita.

Berkata cukup, dan memilih hidup kita sendiri. Tidakkah itu jalan keluar dari semua tekanan yang absurd selama ini?

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang