JIKA KAMU SEORANG PENCIPTA

879 29 3
                                    

Aku hidup untuk ilmu pengetahuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku hidup untuk ilmu pengetahuan. Bahkan aku rela mati muda untuk sekedar menemukan sedikit celah yang gagal dilewati orang besar di masa terdahulu. Hasrat akan ilmu pengetahuan terlampau besar untukku sampai membuat kejiwaanku goyah. Tapi di sebuah dunia di mana nama-nama orang mudah terhapus, dan usia hanya sekedar pengulangan-pengulangan saja. Mencari gagasan yang bertahan lama mirip seperti obsesi. Untuk menutupi kenyataan akan kehidupan yang rentan dan hidup yang hanya seperti itu saja.

Bagi kamu yang sangat tertarik akan gairah besar penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi. Entah dalam seni, filsafat, sastra hingga sains. Kamu mungkin salah satu dari jenisku. Di mana suatu saat nanti kamu akan terbentur beberapa hal jika hidup di negara bernama Indonesia.

Ini adalah cerita yang berkaitan dengan hasrat besar akan ilmu pengetahuan, lingkungan sekitar, budaya, agama, dan sebuah masyarakat yang nyaris menghancurkan banyak orang berbakat dan jenius yang aku lihat. Ini juga cerita yang berkaitan dengan psikologi dan ilmu pengetahuan. Di mana gairah akan ilmu pengetahuan yang terlampau besar bisa menghancurkan seseorang yang tengah mengejarnya.

Faust karya Goethe, salah satu karya besar yang aku kagumi, adalah sosok manusia yang terlampau mencintai ilmu pengetahuan sehingga merelakan jiwanya untuk iblis. Faust adalah sosok nyata, seorang jenius yang luar biasa di masanya, yang pada akhirnya tersesat dalam keterbatasannya sendiri. Sama halnya dengan Frankenstein karangan Mary Shelley, yang tokohnya, Dr. Frankenstein terlampau tergoda dengan ilmu pengetahuan hingga akhirnya menggabungkan sains dan ilmu hitam hanya untuk membuat sesuatu yang pada akhirnya ditolaknya. Kedua tokoh itu tergila-gila pada ilmu pengetahuan hingga akhirnya merasa tertekan dan hancur akibat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini tak jauh beda dengan Paganini, seorang violis yang luar biasa, yang menjual jiwanya untuk iblis demi nada-nada yang indah dan memesona. Socrates, si filsuf Yunani, dihukum mati hanya karena kebebasannya dalam berpikir dan Bruno dibakar di tempat umum hanya karena

Tapi kita tinggal dulu episode lama dan mencoba kembali ke dunia modern. Di mana para pemikir dan ilmuwan hidup tak lagi peduli dengan sihir, agama, ilmu hitam dan hal gaib. Abad modern di mana Einstein susah mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, cerai dengan istrinya, dan nyaris tak pandai berhubungan dengan manusia. Hingga Alan Turing yang mati secara menyedihkan atau Max Planck, Fritz Haber, dan segenap ilmuwan atau seniman dan filsuf, memilih berdiri bersama Hitler.

Dari para penulis dan filsuf seperti Nietzsche, yang menjadi profesor pada umur 24 tahun dan pada akhirnya gila karena kejeniusannya sendiri hingga van Gogh yang bunuh diri di usia 37, setelah berkarya selama sepuluh tahun, menghasilkan 900 lukisan dan ribuan sketsa, salinan, dan coretan karya lainnya.

Banyak orang hari ini pasti mencemooh orang yang tengah berhasrat dan terlampau mencintai ilmu pengetahuan, penemuan, dan mencoba menemukan hal yang baru. Banyak dari mereka gila, mati muda, dan dicemooh serta diabaikan oleh lingkungannya. Ironisnya, dari jutaan hingga milyaran orang yang hidup di zaman mereka, kita hanya tahu sangat sedikit nama manusia. Apakah milayaran manusia lainnya sungguh sangat tak penting dalam sejarah umat manusia?

Bagi kita yang hidup dengan sains, kita pasti mengenal Gallileo, Copernicus, Kepler, Darwin, Mendel, Linneaus, Newton, Galton, sampai Guttenberg dan Stephen Hawking. Kita juga mengenal Marie Curie hingga Salk. Dan semenjak Guttenberg memperkenalkan percetakan yang lebih mudah kepada manusia dan orang-orang China yang telah menemukan kertas yang dengan segera menggantikan papirus, bilah bambu dan lempengan tanah liat. Dunia buku-buku dan gagasan-gagasan pun berkembang dengan begitu cepatnya.

Dahulu kala, harga satu buku setara dengan satu buah mobil mewah hari ini. Karena begitu mahalnya, hanya orang kaya, bangsawan, dan para raja lah yang lebih banyak memilikinya. Dan mereka yang memiliki puluhan atau sekedar ratusan buku, disebut sebagai cendikiawan. Jelas sangat berbeda dengan sekarang ini. Di mana buku-buku sangat murah dan ilmu pengetahuan tersebar secara nyaris terbuka di internet. Tapi anehnya, ilmu pengetahuan besar seolah surut. Kita hanya sedikit menambahi apa-apa yang orang terdahulu pernah temukan. Dan diet makanan yang hari ini kita kenal, nyaris hampir semuanya adalah penemuan dari orang-orang dahulu kala. Kita hanya sedikit menambahi menu yang ada di piring kita selama ini.

Banyak orang terselamatkan dengan berkembangnya filsafat, pemikiran, sastra dan segenap ilmu pengetahuan. Tapi banyak pemikir dan penemu yang hidup dalam kesakitan untuk mencapai apa yang hari ini kita nikmati. Beberapa orang seperti John Nash harus menderita Skizofrenia. Yang lainnya seperti Ramanujan harus mati di usianya yang cukup muda karena terlalu banyak berpikir.
Ya, dunia ilmu pengetahuan dan hasrat untuk mengejarnya terkadang berisi hal-hal yang luar biasa. Tapi di balik itu semua, terdapat juga rasa sakit dan kesepian yang tak terkira. Bahkan kegilaan dan kematian yang begitu sangat dekat.

Apa yang dinamakan peradaban berisikan jutaan mayat manusia dan apa yang sering disebut sebagai orang kebanyakan. Dan di antara itu semua, terdapat pula para jenius dan orang-orang berbakat yang bertumbangan.

Apakah hasrat akan ilmu pengetahuan dan keinginan untuk mencari ilmu pengetahuan bisa menimbulkan rasa sakit? Ya. Dan aku menamakannya sebagai gangguan intelektual. Dalam dunia psikologi, orang yang terlampaui pintar atau jenius biasanya lebih dekat dengan gangguan kejiwaan. Beberapa alasannya adalah karena mereka berpikir berbeda dan terlampau berlebih sehingga kadang menjadi begitu asing dengan masyarakat yang menginginkan kenormalan dan segala sesuatu yang sudah biasa. Tepatnya, mereka tak memiliki teman bicara untuk hal-hal yang ada di kepala mereka.

Pada suatu ketika, Eka Kurniawan marah kepadaku beserta banyaknya sastrawan muda yang ada. Bahkan di Jogja sendiri, banyak sastrawan muda yang seusiaku nyaris belum bisa memaafkan diriku. Sering membuat polemik yang tak disukai orang-orang dan menulis terlalu jujur terhadap dunia yang ada di sekitarku. Kadang aku berpikir, bagaimana ilmu pengetahuan bisa berkembang pesat jika situasinya terus seperti ini? Saat ada seseorang ingin berkembang pesat dalam ranah ilmu pengetahuan tapi dunia di sekitarnya mencoba untuk menolak, mengasingkan, dan tak menganggapnya ada. Maka, yang terjadilah adalah kelambanan dan rasa sakit yang luar biasa di saat kita ingin berkembang pesat tapi dunia sekitar sangatlah tak mendukung bahkan mengancam.

Aku rasa, banyak dari kalian yang hari ini tengah ikut olimpiade, sedang antusias dengan bidang tertentu, atau menyukai banyak hal sekaligus akhirnya akan menyadari, begitu susahnya hidup demi ilmu pengetahuan di Indonesia. Buku-buku yang susah dicari. Orang-orang yang susah diajak bicara. Hingga para mentor yang jumlahnya terlampau sedikit. Dan yang lebih gila, uang bayaran yang tak seberapa dibandingkan menjadi seorang pedagang, pengusaha atau malah sekedar Satpol PP. Pemerintah yang tak banyak mendukung dan uang penelitian yang sudah lebih dulu dikorupsi ditambah masyarakat yang abai. Begitu mengenaskan bukan?

Banyak anak berbakat dan jenius pada akhirnya sekedar menjadi orang biasa dan hanya hidup untuk sebuah pekerjaan dan hidup makmur. Beberapa di antaranya sangat tak sabar sehingga melakukan penipuan-penipuan di bidang sains dan akademik. Di sebuah abad yang penuh kegelisahan dan jiwa yang tak stabil. Penambahan kata "intelektual" dan "ilmu pengetahuan" pada diri seseorang, terasa menjadi beban berat dan begitu menakutkan. Lebih mudah menjadi biasa-biasa saja dan sekedar membeli apa-apa yang dihasilkan orang lain. Itulah sebabnya dunia lebih mengenal Leonardo da Vinci, Michelangelo, Raphael hingga Mozart dan Chopin dari pada orang semacam kita.

Satu Einstein di tengah milayaran manusia yang namanya terhapus begitu mudahnya.

Ada hal yang harus kamu renungkan jika kamu ingin sekali menjadi seorang pencipta. Mulailah dengan awalan bahwa kamu harus siap dengan segala yang ada di depan. Seorang pioner adalah seorang pendahulu. Dia nyaris sendirian. Dan kamu juga harus siap untuk kesepian atau paling tidak mengidap satu atau dua dari beberapa jenis gangguan jiwa.

Jalan ke arah ilmu pengetahuan sangat tak mudah. Menyakitkan tapi juga begitu menegangkan.

bersambung

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang