EMPATI? Di abad ini? Empati? Omong kosong? Bla bla bla. Selamat tinggal era kuno. Selamat datang masa Anti Empati besar. Inilah dunia kami. Kaum muda. Generasi yang bertahan hidup karena menolak banyak hal.
Wiji Thukul. Empati untuk dia? Keluarganya? Oh tidak. Kami menangis hanya untuk cerita. Setelah ini semua pulang. Santai. Tak lebih dari hiburan pelepas bosan.
Oh Empati. Empati? Dunia kuno itu? Empati, imajinasi yang tak menyenangkan itu?
Saat mendengar Thukul. Aku hanya sekedar melihat hiburan. Dan di sini, di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Thukul hanyalah hiburan. Tak kurang tak lebih.
Apakah nihilis semacam aku masih bisa percaya dengan Empati di abad 21 ini? Masihkah? Empati yang cepat basi. Layu. Ditinggalkan. Setelah itu tak lagi penting.
Aku telah melihat sedikit hal tapi juga banyak. Anak-anak muda di sekitarku. Semuanya terpelajar. Kaya. Mapan. Dan, setelah ini selesai. Semuanya juga selesai. Ya, selesai.
Itulah Empati. Dan, bubarlah para aktivis. Berhentilah menjadi aktivis. Mogoklah. Buanglah. Biarkan semuanya menjadi ladang saling memakan dan mengabaikan. Tak perlu pura-pura.
Hai Thukul, apa kau dengar? Empati telah hilang di abad ini. Kecuali kepura-puraannya.
catatan: sedang di UGM. acara menonton Istirahatlah Kata-Kata dan diskusi tentang orang hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYA
Non-FictionEsai-esai yang aku tulis ini, lebih berkaitan dengan dunia psikologi dan bagaimana kita keluar dari jeratan hidup yang menekan. Di sini kau akan menemukan bagaimana memilih psikiater atau psikolog sebelum memutuskan pergi ke klinik mereka. Bagaimana...