SEMARANG: KOTA LAMA

129 4 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan dari Demak ke Semarang adalah perjalanan yang begitu mengerikan di siang hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan dari Demak ke Semarang adalah perjalanan yang begitu mengerikan di siang hari. Terlebih saat panas matahari begitu terik antara jam dua belas sampai kisaran jam dua. Panasnya terasa begitu menakutkan. Jalur pantura memang jalan raya yang tak menyenangkan saat dilalui menggunakan sepeda motor di siang hari.

Aku butuh mobil untuk menghapus panas yang menyengat. Aku butuh mobil. Tetanggaku butuh mobil. Ratusan tetanggaku butuh mobil. Satu kota para warganya butuh mobil semua karena jengkel dengan panas, debu, dan hujan. Maka, jadilah Jakarta.

Jakarta yang gila. Sama halnya dengan Bandung yang gila.

Jalanan tak hanya sangat panas tapi juga berisikan banyak truk besar atau peti kemas yang begitu padat, membuat perjalananku semakin tak menyenangkan. Tapi, inilah yang menarik dari perjalanan. Perasaan cemas, depresi, dan semacamnya teralihkan karena fokus pada perjalanan dengan aneka ragam suka dukanya. Itulah sebabnya, bagiku, perjalanan adalah terapi.

Perjalanan menuju Semarang adalah perjalanan yang gersang, kering, dan juga panas disertai debu. Berbeda dengan Jalan Raya Solo-Purwodadi atau Purwodadi-Kudus, yang masih banyak hutan dan tutupan pepohonan. Di sepanjang jalan ke Semarang, dunia begitu monoton dan membosankan. Panas menyengat membuat segalanya lebih mirip neraka.

Saat aku memasuki Genuk, kota bagian utara Semarang, suasananya tak berubah. Kota yang hancur dan tenggelam. Berantakan. Tak lagi indah. Dan sesampainya di Kota Lama, keadaannya tak jauh berbeda.Bagaikan sebuah kota yang dibombardir di masa perang.

Kota lama yang dulu dianggap sebagai Belanda Kecil, keadaaan sekarang kacau. Perbaikan jalan di sana-sini membuat pemandangan jadi lebih suram. Tak apalah. Setidaknya aku sudah menepi di Taman Srigunting. Taman kecil yang cukup rindang dan banyak manusia yang sudah lebih dulu ada di dalamnya.

Gereja Blenduk tampak kokoh dan masih indah. Terlihat para remaja sekolah, wisatawan lokal, dan dua turis asing beserta berbagai penjual kerajinan lokal yang berderet di sepanjang gang di sebelah timur taman.

Di sini, saat pepohonan cukup lebat walau hanya beberapa puluh meter saja. Rasanya, aku bagaikan berada di dunia lain. Sejuk. Segar. Dan menyenangkan.

Sedikit pepohonan sudah cukup membuatku betah, terhibur, dan ingin lama tinggal di dalamnya.

Semarang adalah kota yang panas. Kota yang membuatku bosan selama bertahun-tahun. Kota yang sejak kecil, baru aku sadari, betapa panasnya kota ini.

Aku berjalan sebentar di taman. Melihat sekilas bangunan-bangunan kuno. Memegangi bukuku. Merasakan keletihan yang sangat akibat jalanan yang memanggangku.

Kota Lama terasa sedikit sejuk sekaligus terlampau tua dan tak terurus. Lalu aku bangkit dan bergerak pergi. Kemudian memandangi suasana menyenangkan di sekitar Balaikota, yang sejak dahulu kala memang menyenangkan dan tak lama kemudian terpaku dengan Tugu Muda dan Lawang Sewu.

Kota ini masih saja indah jika dilihat dari pusat kotanya sampai ke sekitaran Universitas Diponegoro dan Ungaran. Jalan lebar. Masih banyak pepohonan. Rapi. Tertata. Dan lahan yang luas ada di mana-mana. Tapi jika sudah memasuki berbagai gang, ceritanya lain. Wajah asli Semarang barulah terlihat.

Aku bermaksud ke Bu De yang rumahnya ada di sisi Sungai Banjir Kanal Barat Dekat Tugu. Tapi aku urungkan. Aku tak mau dilihat siapa pun. Terlebih... aku tak ingin mengatakannya.

Aku menikmati suasana jalanan yang cukup lancar, mulus, lebar, dan menyenangkan. Kota ini memang sedikit mempercundangi Bandung jika menyangkut beberapa bagian ruas jalanannya. Sama-sama kota penting di masa Kolonial. Yang sayangnya, secara intelektual kini pun nyaris mirip. Laksana kuburan.

Aku menatap patung kuda yang mengarah ke Universitas Diponegoro yang baru. Sudah lama aku tak kesitu. Lagian, aku juga tak peduli. Aku terus menancapkan gasku. Memasuki Ungaran. Lalu berbelok sebentar ke sebuah tempat yang membuatku selalu terkenang akan keindahannya.

 Lalu berbelok sebentar ke sebuah tempat yang membuatku selalu terkenang akan keindahannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang