ANTI-EMPATI DAN SEBUAH AWAL

407 17 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Anak-anak Asia Tenggara sangat tersentuh oleh kesedihan orang lain, tetapi itu justru cenderung memicu kesedihan pribadi, yang justru tidak mendorong munculnya empati dan keinginan untuk menolong," ungkap David Howe mengutip Trommsdorff. Benar atau tidaknya kutipan tersebut, keterbatasan penelitian psikologi dalam kajian akan empati tidak mengurangi kenyataan sehari-hari bahwa kita membatasi sikap empati kita hanya untuk segelintir orang saja. Empati yang terbatas dilakukan oleh hampir semua manusia dari mulai para aktivis, politisi, mahasiswa, hingga presiden dan masyarakat biasa di lingkungan pedesaan atau pun kesukuan.

Selama empati selalu bersifat terbatas. Maka segala wacana akan kebenaran, keadilan sosial, dan kemanusiaan beserta nilai-nilai turunannya tak lebih dari omong kosong. Orang-orang begitu mudahnya merasa bersedih akan nasib orang lain. Tapi jika berurusan dengan tindakan menolong, segala empati tiba-tiba menjadi macet.

Frans de Waal dalam bukunya The Age of Emphaty mengatakan bahwa "Empati tidaklah absen tapi hanya datang terlambat." Sejujurnya, ini tak ubahnya menolong seseorang yang sudah terlanjur melakukan tindak bunuh diri. Empati yang datang terlambat, membunuh luar biasa banyak orang dan entah sudah membuat derita berapa banyak juta orang di dunia ini. Terlebih, hari ini, rasa-rasanya empati hanyalah sekedar khayalan yang tak perlu diwujudkan dalam kenyataan. Orang sudah cukup puas dan merasa manusia dengan bersedih dan menangis tersedu-sedu saat menatap layar kaca televisi dan menonton film-film yang memperlihatkan kemalangan manusia, membaca novel dan buku biografi, menikmati karya seni dan membayangkan seniman yang tengah menderita atau sudah merasa berhati nurani hanya sekedar melihat foto-foto yang penuh penderitaan dari korban perang dan kekerasan di seluruh dunia.

Dewasa ini, empati hanyalah sekedar yang dibayangkan. Kita menginginkannya dalam khayalan dan benak kita tapi bukan pada tahap kenyataan sehari-hari. Inilah yang mendorong aku mengatakan bahwa kita telah memasuki abad Anti-Empati.

Dalam bukunya yang sangat bagus, Stiff, Mary Roach mendekati mayat manusia dengan cara yang humoris sekaligus mencoba memberikan kesan hormat pada seonggok tubuh yang bukan lagi manusia itu. Apakah mayat masih bisa dianggap sebagai manusia? Ataukah sekedar objek atau benda mati lainnya yang tak banyak membuat kita berkesan?

Sebaik apa pun Mary Roach mencoba bersikap menjaga jarak dan membicarakan mayat sebagai berguna secara ilmu pengetahuan. Dia pun tidak bisa menghindari apa yang diakuinya, "Saya tidak ingin menyaksikan sebuah eksperimen, bagaimana pun menarik dan pentingnya, pada jenazah orang yang saya kenal atau cintai."

Ilmu pengetahuan mencoba menghapus emosi kita terhadap mayat dan segala yang telah mati. Tapi era internet membawa kita sebaliknya ke arah yang berlainan. Membuat manusia menghapus emosinya terhadap mereka yang hidup dan memiliki perasaan.

"Kematian membuat kita sangat sopan," ujar Mary Roach saat bukunya terbit pada 2004. Tapi kini, Mary harus segera merevisi ulang bukunya bahwa dewasa ini kematian adalah bahan candaan paling populer di abad internet. Kematian tidak hanya sekedar lagi membuat kita sopan dalam kepura-puraan etika sosial. Kematian adalah terapi yang menyenangkan untuk sebagian besar orang akhir-akhir ini. Membuat banyak orang menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya yang setiap harinya coba ditutupi dengan agama, etika sosial, norma, hukum, ideologi, dan beragam nilai yang banyak orang menyepakati sebagai positif atau baik.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang