MELAMPAUI EKA KURNIAWAN

254 6 1
                                    

MELEBIHI EKA KURNIAWAN? Itulah yang akan aku kejar dan tunjukkan ke semua sastrawan muda yang satu generasi denganku. Beberapa waktu yang lalu aku masih ingin sekali membakar buku milik Faisal Oddang dan yang lainnya. Bahkan teman terdekatku sendiri, Sulfiza Ariska, yang sebentar lagi bukunya akan terbit, bahkan berkata bahwa bukunya rela untuk aku bakar seandainya buku itu jelek.

Ya semenjak aku mencaci maki karya-karya Ayu Utami, Leila S Khudori, Aan Mansyur, Eka Kurniawan, Mahfud Ikhwan, Dee, Mario F. Lawi, Djenar, dan banyak lainnya. Terlebih setelah aku membakar buku Eka Kurniawan, dan menulis kritik yang begitu pedas. Pembenciku di kalangan sastrawan begitu banyaknya. Walau temanku, yang bernama Sulfiza Ariska itu, bahkan merasa puas dan aneh, bahkan aku bisa membuat Eka Kurniawan sepeeti itu. Sampai tulisanku diposting di blog milik Eka. Tapi apa itu kemajuan? Tidak. Selama aku tidak bisa menulis dengan baik. Itu bukanlah kemajuan.

Di kalangan para sastrawan, aku nyaris tak dianggap karena aku terlalu keras dan gila. Dan saat aku menulia kritik menjengkelkan mengenis Avianti Armand. Pengagum Avianti bahkan mengutukiku. Saat aku mengkritik habis-habisan Fiersa Besari. Para pengagumnya yang fanatik bahkan lebih gila dari pada kegilaanku. Baiklah. Aku berpikir. Ini adalah tempat di mana kritik apa pun nyaris tidak boleh. Semua orang hanya saling memuji dan para penggemar hanyalah sekedar penggemar. Aku hidup di dunia semacam ini memang.

Sejujurnya, aku sangat senang bahwa tak ada siapa pun yang tahu siapa diriku ini. Mungkin cuma sedikit. Dan biarkan saja mereka tak tahu tentang diriku. Karena tak mudah menerima keberadaanku.

Hanya saja, kali aku akan serius menjadi novelis. Setelah menjadi filsuf terlampau sulit diterima. Ini berati aku harus bisa melampaui Eka Kurniawan yang dikenal di dunia dan karyanya telah aku bakar dan caci maki. Sebuah tanggungjawab. Bahwa aku bisa menulis lebih baik jika aku memiliki waktu dan pendanaan yang cukup.

Selama ini aku berpikir, bagaimana bisa satu orang sakit jiwa sepertiku melawan ratusan dan ratusan penyair dan sastrawan yang sudah mapan dan terkenal?

Entahlah. Yang jelas, aku sudah mulai cukup menjadi seorang novelis. Dan kelak, melebihi Eka Kurniawan. Baru setelah itu, apakah aku layak menengok Pram?

Ah, aku terlampau muluk berkata-kata. Tapi mengenai Eka. Setidaknya aku sangat yakin. Aku hanya butuh dorongan dan sedikit ketenangan untuk mewujudkannya

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang