PERJALANAN TERAKHIR: 3 Agustus

270 18 9
                                    

Ini adalah catatan terakhirku. Bulan terakhirku di sini. Agustus. Bulan kelahiranku. Juga bulan perpisahanku. Setelah bulan ini selesai. Aku akan menghapus seluruh komunikasi sosial yang ada. Blog. Wattpad. Instagram. Facebook. Wastapp. Dan banyak lainnya.

Semua itu hanya akan jadi kenangan. Seperti diriku yang akan segera menguap tanpa sisa.

Ingin rasanya aku bisa menutup mataku. Tidur. Dan melupakan segalanya. Mataku masih perih. Sisa air mata yang tak berhenti sejak pagi sampai siang menjelang. Entah kenapa, setelah sekian lama tak pernah menangis. Air mataku pecah tanpa bisa aku kendalikan.

Tangis yang datang lebih dulu tadi malam. Membuatku jatuh tertidur tanpa aku menyadarinya.

Mataku masih terasa perih juga. Tak kunjung terpejam walau kepala terasa sakit akibat kurang tidur. Tangis yang menyusahkan.  Tangis yang membuat mataku begitu merah?
Pagi ini, aku bernyanyi mengucapkan perpisahanku dengan diriku sendiri. Bersama denting gitar sumbang yang membuatku tak bisa membendung air mata berkali-kali.

Aku ucapkan terimakasih pada buku-buku yang telah sekian lama menemaniku. Pada lampu. Tembok. Tas. Kasur. Laptop. Pensil. Baju-bajuku. Selimut. Bantal. Kursi. Meja. Lantai. Langit-langit. Jendela. Cahaya matahari. Kicau burung. Gantungan baju. Sandal. Sepatu. Kunci. Dan semua benda yang pernah menemaniku dan mau menerimaku ada.

Aku kabarkan kepada teman-temanku yang paling dekat. Bahwa aku akan pergi. Walau akhirnya aku menutup mulutku, pada satu orang temanku yang kamarnya tak jauh dari tempatku berada. Malah kami bercanda dan tertawa lepas. Membicarakan banyak hal. Membicarakan salah seorang penulis yang mati akhir-akhir ini. Seolah-olah bagaikan terasa seperti membicarakan diriku sendiri.

Biarlah. Biarlah itu kesan terakhir yang mungkin kelak dia kenang dariku. Bukan kenangan akan perpisahan.

Perasaanku begitu cemas tak terkendali. Diiringi demam. Rasa ini begitu sangat menyakitkan. Membuatku sangat ingin segara tidur sepanjang hari. Melupakan kenyataan di dunia ini untuk secepatnya.

Sudah lama aku tak seperti ini. Memilih tidur untuk melupakan masalah setelah keputusanku semenjak sekolah untuk tidak menyerah terhadap depresiku. Aku juga tak pernah ingin membeli dan meminum obat tidur. Tapi kali ini, ingin sekali aku membelinya. Melahapnya selama sebulan penuh. Sebagai tanda menyerah atau mungkin berhenti.

Perjuangan panjang yang nyaris sendirian akhirnya akan berakhir juga.

Aku menguap. Kepalaku begitu berat. Aku teringat kedua orang tuaku. Aku jadi menangis akhirnya. Anak laki-laki mereka tak akan pulang untuk waktu yang sangat lama. Tak akan pulang untuk selamanya. Tapi aku ingin pulang. Untuk yang terakhir, melihat orang tua. Mereka yang membesarkanku dan menyayangiku walau tak tahu bagaimana harus menangani sakitku.

Sialkan. Aku jadi menangis lagi. Ah. Aneh ya. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa begitu cengeng? Selama satu bulan ini, aku ingin menguatkan diriku. Tapi rasa-rasanya aku juga tak akan bisa.

Aku tak lagi bisa hidup di dunia orang-orang. Bersentuhan dengan manusia semakin membuatku sakit begitu hebat. Berharap. Menunggu. Menanti. Mengulangi lagi dan lagi. Sudah cukup. Ya. Sudah cukup. Aku sudah tak lagi kuat menghadapinya. Serangan cemas ini seperti saat awal kuliah dahulu. Salah satu kecemasan dan depresi terparahku. Membuatku rasanya ingin segera berakhir sekarang juga. Saat ini.  

Aku masih berusaha untuk memejamkan mata. Melupaka diriku. Orang-orang. Buku-buku. Gagasan-gagasanku. Dan berhenti berharap.

Tibalah langkah terakhir yang sejak dahulu aku nantikan. Dan aku ingin membayangkannya. Bagaimana akhirnya aku akan mati.

Huhf, sudah saatnya mencoba kembali untuk ke dunia tidur. Berusaha memejamkan mata. Berusaha menghilangkan cemas dan rasa sakit ini.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang