SENI DAN RASA KANTUK

279 14 0
                                    


Sejujurnya aku masih lelah dan mengantuk saat sampai di Krack! Studio. Setelah semalaman menyelesaikan naskah dan akhirnya baru selesai saat pagi hari. Di ruang ini, aku selalu menguap saat Alia Swastika sedang membicarakan dunia seni Indonesia dan Internasional. Beserta politik, identitas, dan lain sebagainya.

Aku ingin tidur. Mungkin sangat menyenangkan bisa tidur di saat semacam ini.

Tapi saat pembahasan seni dunia sudah mencapai Prancis dengan pameran Magicien de La Terre di Center Pampidou yang ada di Paris pada tahun 1989. Dengan Jean Hurbert Martin sebagai kurator yang mencoba menjembatani kesenian dari Barat dan yang bukan. Lalu pembahasan bergerak ke Havana Biennale di Kuba, Saopolo Biannale di Brasil, dan lainnya.

Nama-nama seniman Indonesia bermunculan hingga rasa kantuk masih memenjaraku saat Asian Pacifis Triannale tengah dibahas.

Dan kata Venesia atau Venice muncul dengan Indonesia Pavlion dalam World Expo pada tahun 2013. Dunia seni yang mahal dan seolah tak masuk akal. Tahun yang akhirnya Indonesia memiliki paviliun di Venesia. Setelah banyak seniman tak dibayar, karyanya ditinggal, dan lain sebagainya di sekitar tahun 2003. Dan kekonyolannya yang juga dibawa ke sana.

Kesenian Indonesia terlampau dikontrol oleh negara. Sehingga ketinggalan zaman. Yah, semuanya memang ketinggalan zaman. Pemerintah yang kolot. Kolot. Huaaam... Indo Unyu. Seperti itulah.

Karena Indonesia selalu lucu. Kantukku tiba-tiba agak hilang.

Venice 2015 hanya diwaliki Heri Dono. Dan itu menjadi semakin lumayan. Tapi tetap saja. Kalau semuanya coba dipegang oleh pemerintah Indo Unyu yang bodoh itu. Seni menjadi semakin terlihat konyol akhirnya. Sampai, oh ya, Frankfrut Book Fair yang menghabiskan banyak dana itu!

Pameran di tahun 2011 di Venice bahkan tak didanai sama sekali. Oh, Indonesia!

Saat mataku kembali mengantuk. Pembahasan sudah bergerak ke soal kritik seni internasional. Sebuah kontroversi mengenai patung lilin yang ingin dirubuhkan di Belanda, Amsterdam, mengenai sejarah Kolonialisme. Karya seniman Iswanto yang dikatakan menarik tentang J.P. Coen, sang pendiri Batavia yang juga kejam.

Dana dan mempertanyakan praktik pendanaan serta kesenian. Aku sendiri mungkin sangat tertarik bagian yang terakhir ini.

EUROPALIA

Hal yang menarik adalah kesenian Afrika yang seringkali jarang dilirik. Bahkan oleh pemerintah. Artjog, lawatan ke Nigeria bahkan tidak dibiayai pemerintah. Dan arah pembicaraan pada akhirnya menuju ke tanya jawab. Dunia yang paling tak aku sukai.

Hah, yah, di seni sendiri. Aku akhir-akhir ini mungkin dianggap cukup arogan dan tak puas dengan ini dan itu. Inilah dunia yang membuat aku tak betah di Jogja. Seni tak ubahnya dengan sastra.

Ya. Sudah lama aku kecewa dengan ruang kesenian. Mungkin, yah, seni tak lebih dari hiburan semata. Dari pada menuntut terlalu banyak. Biarlah seni menjadi dunia yang begitu dangkal dan nyaman dengan lingkungannya sendiri.

Aku tak tahu kenapa. Di tempat apa pun dengan pikiranku ini. Orang-orang merasa tak nyaman denganku. Diskusi lebih panjang akhirnya tak terjadi.

Tiba-tiba saja aku menjadi melankolis. Untuk apa sebenarnya aku hidup di Indonesia?

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang