BERJALAN KAKI: LAUT, POHON, PASIR, DAN OMBAK

257 16 16
                                    

Pasir memenuhi jari-jari kakiku, saat aku berjalan kaki di antara pohon-pohon cemara yang kerdil, dengan cabang-cabangnya yang membengkok dan sesaat, embusan angin menyisir kulitku dengan hawa dingin yang lembut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pasir memenuhi jari-jari kakiku, saat aku berjalan kaki di antara pohon-pohon cemara yang kerdil, dengan cabang-cabangnya yang membengkok dan sesaat, embusan angin menyisir kulitku dengan hawa dingin yang lembut.

Aku masih membayangkan Paul Salopek yang hari ini entah sedang berjalan kaki di negara dan benua yang mana. Setidaknya, kedua kakiku saat ini tengah melangkah dengan kedua kaki lainnya. Seperti halnya saat Robert Macfarlane melangkah bersama seorang temannya di dalam The Old Ways, dan memutuskan bergerak dari pantai ke pantai atau dari deruan ombak ke deruan ombak lainnya.

Kedua kakiku sudah terbiasa berjalan sendirian. Menikmati dunia tanpa seorang rekan ke mana pun kaki melangkah. Itu adalah sebentuk kebebasan. Di mana kedua kakiku yang berarti hanya milikku sendiri, lebih banyak memiliki kebebasan untuk memilih, bergerak, dan memutar arah sewaktu-waktu tanpa harus menunggu atau berpikir tentang orang lain. Ini tak lain bukan adalah bentuk dari kebebasan diri, individualisme, dan egoisme perenungan. Di mana, lingkungan hidup di sekitarku jauh lebih hidup saat aku berjalan sendirian.

Menambahkan kedua kaki lagi di samping kaki-kakiku sendiri berarti keputusan yang agak sulit, saat seorang yang berada di samping tidak terlalu tahu banyak tentang alam dan lanskap. Itu juga berarti, aku akan berakhir pada diriku sendiri dan orang-orang. Laut, pasir, gelombang ombak, pepohonan, dan binatang-binatang kecil hanya akan menjadi hal yang tak terlampau penting lagi kecuali hanya dipandangi sekilas dan sesaat dikagumi.

Saat seorang manusia berjalan dengan seorang manusia lainnya di sampingnya. Dunia menjadi terbelah. Pecah. Dan dunia sekitar yang lebih dalam menjadi tiba-tiba mengerut, menjauh, dan menolak untuk masuk.

Pendangkalan kehadiran terhadap yang lainnya pun terjadi. Dan akhirnya, dunia manusia hanya ada di seputar manusia lagi dan lagi.

Seseorang perlu meninggalkan manusia yang lain dan menghindari kerumunan yang terlampau banyak lalu berjalan seorang diri ke alam liar atau dunia yang jauh lebih sepi, di mana tak seorang pun, kecuali diri sendiri terlihat. Karena aku sendiri adalah manusia. Menambah manusia lainnya di sampingku dan bertemu dengan banyaknya kerumunan manusia di sepanjang pantai. Membuat segalanya seolah tak lain bukan hanyalah dunia untuk manusia saja.

Keputusanku untuk menambahkan laki-kaki lagi, membuatku menjadi diri yang lain, yang tak lama kemudian, menampilkan egoisme narsistikku yang khas. Aku sebagai pusat dan alam hanya sebagai latar. Yang semua itu ditopang dengan dunia internet dan kamera. Menjadikan Aku terus-menerus menjadi pusat keberadaan.

Kami melangkahkan kaki menuju tanjakan yang berisikan pasir hitam keabu-abuan yang agak dalam. Terdapat jalan setapak yang membelah pohon, di mana aku pada akhirnya tak kuasa untuk memamerkan diri. Mengambil beberapa foto diri setelah beberapa kali mengambil gambar-gambar dari pepohonan dan sebuah buku berwarna biru yang sejak awal aku genggam di tangan kiriku: The Revenant karya Michael Punke.

Aku selalu membawa buku-buku ke mana pun diriku pergi dan melangkah. Berjalan kaki tanpa sebuah buku adalah sebuah ketidakmungkinan. Kecuali di saat-saat tertentu yang pendek. Perjalanan tanpa buku-buku. Bagiku sendiri adalah perjalanan yang kosong. Karena aku bukanlah ahli dalam segala sesuatunya. Buku, membantuku sedikit memahami dan melihat dunia yang mana kedua mataku tak sanggup untuk mengenali dan menjelaskannya.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang