UANG DAN EMOSI KITA: MENAHAN IDEALISME

774 33 0
                                    

Uang, dalam abad 21, menentukan nyaris hampir segala jenis emosi yang kita miliki. Kestabilan kejiwaan, perasaan, dan otak kita, tak lain bukan karena adanya uang yang mencukupi atau berlimpah. Era yang mengatakan bahwa hidup bukan sekedar mencari uang nyaris tak berlaku. Memang benar ada banyak orang yang tak mau terikat kuat dengan uang sebagai tujuan hidup. Tapi masalahnya, di abad yang semakin terdigitalisasi sekarang ini, uang benar-benar mengatur hidup kita dan memengaruhi banyak kondisi hidup yang kita alami. Terlebih di pusat-pusat kota besar. Tanpa uang di tangan nyaris setiap harinya, kita mungkin hanya sekedar tak lebih dari balok kayu. Makan, minum, dan segala jenis kebutuhan dasar kita membutuhkan uang. Saat kebutuhan dasar kita tak tercukupi, siapa saja merasa marah, sakit, kecewa, iri, gelisah hingga depresi. Tapi hidup di kota besar, terlebih bagi keluarga berpendidikan tak melulu hanya memenuhi kebutuhan dasar saja. Masih terlampau banyak hal yang harus diurus dan dilakukan. Dan nyaris semuanya membutuhkan uang dan uang.

Pada akhirnya, uang yang menentukan kebahagiaan kita atau paling tidak, uang menentukan kestabilan emosi, pikiran, dan kejiwaan kita. Ini berarti, psikologi dan uang semakin saling mengikat begitu kuatnya.

Sebuah buku karya David Brooks, Bobos in Paradise, adalah salah satu buku menarik yang coba merekonsiliasi atau genjatan senjata antara borjuis dan kaum intelektual. Jika kaum borjuis hidup hanya untuk mencari kekayaan dan mengorbankan aspek kepuasaan intelektual. Para intelektual malah mengorbankan keamaan finansial mereka demi mencapai kepuasaan dan sukses intelektual. Tapi situasinya telah berubah dengan generasi Bobo atau Borjuis Bohemian. Banyak seniman dan intelektual kini pun seorang pengusaha dan kaya raya. Begitu juga para borjuis dan pebisnis besar bisa membicarakan sastra, seni, filsafat dengan begitu mudahnya. Hanya saja, David Brooks tengah membicarakan kondisi negara maju bukan negara berkembang atau ketiga semisal Indonesia.

Di negara ini, jenis Bobo masihlah minim. Dunia seolah masih terbelah dan sedikit beranjak dari masa sebelum perang dunia. Sehingga banyak orang lebih fokus mencari uang dari pada intelektualitas, spiritualitas, dan makna hidup. Dan beberapa anak muda idealis, yang jumlahnya sedikit, berkoar dengan kesusahan mengenai utopia dan kebaikan dunia dan lupa bahwa mereka berada di abad ke 21. Abad uang, informasi, ikatan sosial, dan intelektualitas bergabung menjadi satu. Banyak anak muda yang idealis, akhirnya sadar saat mereka memasuki usia ke 25 hingga menjelang 30an. Idealisme nyaris tak berguna tanpa uang di tangan. Dan hampir semua dari kita tahu, kita membutuhkan lebih banyak uang dari pada generasi sebelum 2000 untuk menenangkan hati kita yang mudah gelisah, otak kita yang ambisius dan jiwa kita yang mudah lelah dan sakit.

Hidup hanya untuk kebutuhan dasar nyaris tak mungkin kecuali mereka yang terpaksa miskin seumur hidup. Tapi bagi anak remaja-muda yang hidup di zaman serba internet ini, menjadi miskin sangatlah menyakitkan. Benar-benar beban psikologis yang berat hidup serba miskin atau kekurangan uang di saat kita punya banyak impian, hasrat, dan keinginan. Kita ingin sekolah di tempat yang bagus, les demi masuk universitas, mengikuti olimpiade, membeli buku, melakukan praktikum, wisata sekolah, prom night, hingga hal-hal sepele dari makan sehari-hari, pensil, laptop, handphone dan kuota yang wajib dimiliki agar tak tertinggal informasi dan juga tak terjebak dalam dunia kebosanan. Untuk menjadi peringkat satu atau sekedar lulus sekolah, kita butuh uang sangat besar. Mencari kerja, kita butuh uang untuk mempermudahkan kita pergi ke mana pun dan mencari kerja di tempat apa pun. Tanpa uang yang cukup, banyak dari impian kita terlantar dan tak terwujud. Kita akhirnya tak jadi masuk kedokteran yang kita impikan karena orang tua mendadak bangkrut. Kita tak bisa fokus belajar karena uang sekolah, kos, dan les belum dibayar atau kita hanya mengandalkan diri sendiri di saat teman sekelas kita memiliki guru les pribadi yang mahal untuk bisa tetap bersaing dan agar masuk universitas ternama. Hal-hal semacam itu hanyalah contoh kecil, bahwa uang menentukan banyak tingkat kepuasaan hidup kita. Kita seringkali tidak puas, padahal kita tahu bahwa kita bisa dan sangat ingin, dan berkata, "Seandainya aku memiliki uang, aku akan masuk ke situ." Kata "seandainya" bermula dari kekecewaan kita karena pada akhirnya kita gagal karena kita miskin atau kekurangan uang.

Banyak kelas menengah merasa miskin hanya karena mereka tak bisa mewujudkan hal-hal yang memerlukan jumlah uang yang sangat besar. Kuliah di teknik, arsitektur hingga kedokteran, membutuhkan jumlah uang tak sedikit. Sehingga banyak anak sekolah merasa kecewa, tertekan, tak puas, hanya karena keluarga mereka tak bisa membiayai masuk ke berbagai fakultas itu. Di dunia serba internet dan pendidikan menjadi umum, menjadi miskin sangat tak mengenakkan. Dalam artian, kita gagal berkembang dengan cepat dan bakat yang kita miliki terhenti karena tiadanya uang di tangan. Generasi macam kita tak bisa hidup tanpa kuota internet dan kita juga ingin bersaing dalam ranah pengetahuan sampai jenjang karir. Saat orang terdahulu sudah puas hanya makan dan tinggal di rumah. Kita hanya bisa puas setelah kita melakukan ini dan itu yang jumlahnya banyak. Uang membantu mewujudkan keinginan kita. Dan membantu kita tak terlalu kecewa dan depresi karena tahu bahwa kita tak bisa mewujudkan semuanya.

Hanya saja, di Indonesia, jumlah orang miskin luar biasa banyak. Dalam artian miskin yang sebenarnya. Bukan kelas menengah-atas yang merasa dirinya miskin. Kelas menengah-atas merasa diri miskin saat tak mampu membayar hal yang diimpikan tapi masih bisa membayar untuk yang lain. Contohnya, gagal masuk kedokteran akhirnya ambil psikologi atau geologi. Tapi orang yang benar sangat miskin, tak punya pilihan semacam itu. Mereka bahkan terancam tak sekolah dan kuliah. Bahkan sekedar berharap untuk makan setiap hari saja kadang kesusahan. Apalagi membeli kuota, lebih baik untuk membeli nasi dan air minum. Mereka akan lebih memikirkan uang dari pada prestasi atau egoisme pendidikan hari ini. Yang penting tidak mati kelaparan dan tetap hidup. Yang jelas, dari orang kaya yang mengaku miskin hingga orang miskin yang sejati, uang adalah kebutuhan penting nyaris di atas banyak hal lainnya. Uang menentukan kepuasaan hidup dan tingkat kestabilan emosi dan kejiwaan kita. Tanpa uang, pacaran di abad 21 semakin susah dan menikah tanpa uang bisa berakhir cerai. Tanpa uang, beragama dan bertuhan pun sangat luar biasa menyedihkan dan membuat marah.

Ikatan sosial, yang menjadi sangat penting dalam ranah psikologi, hari ini ditentukan oleh kadar banyaknya uang di tangan dan seberapa lama keberadaan uang yang kita miliki. Tanpa uang, berteman juga berakhirnya menjemukan. Bermain futsal, game, traveling, ke cafe, ke bioskop, dan sekedar video call, semuanya membutuhkan uang. Berteman tanpa uang, kita nyaris seperti hidup terisolir jika berada di kota besar. Saat sekedar membuka chat dan facebook tak lagi mampu. Dan membeli kuota nyaris seperti utopia. Saat bensin untuk berpergian atau sekedar uang transportasi hanyalah angan-angan. Menjaga kewarasan dan tetap bahagia menjadi hal yang mustahil jika kita adalah remaja dan anak muda usia sekolah dan masuk dalam angkatan kerja.

Tanpa uang, pertemanan dan ikatan sosial menjauh dari kita.

Di dunia semacam ini, idealisme seringkali berakhir saat usia mendekati 30, dan saat kaum idealis tahu bahwa tanpa uang nyata, hidup benar-benar serba susah dan tak menyenangkan. Mungkin itulah sebabnya, kita harus sedikit menahan idealisme kasar yang tak mencintai uang sebelum semua terlambat dan kenyataan menohok dengan begitu kuat.

Ini adalah abad 21, di mana psikologi dan uang, adalah keberlangsungan hidup yang tak lagi bisa dipisahkan.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang