TERAPI BERJALAN KAKI

341 18 10
                                    


Berjalan kaki adalah terapi. Tidak hanya bagi jiwa dan pikiran. Tapi juga bagi tubuh. Masalah terbesarnya,Indonesia adalah negara dengan masyarakat paling malas (termalas) berjalan kaki. Hal itu, sempat membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku bercampur kagum, begitu hebatnya Indonesia dikukuhkan oleh BBC yang menayangkan berita yang menempatkan Indonesia pada peringkat pertama masyarakat yang paling malas berjalan kaki. Di sebuah negara yang memiliki sejarah berjalan kaki yang paling lama.

Kenyataan itu sangatlah menyakitkan. Begitu mudahnya orang membuang kegiatan berjalan kaki saat kondisi ekonominya tengah naik, dan saat kemudahan tranportasi ada di depan mata, berjalan kaki menjadi tak lagi penting. Sebuah budaya instan, mudah membuang hal yang baik dan dengan mudahnya membuang yang lama dengan alasan tak mau bersusah payah dan ingin segala sesuatunya serba cepat. Nyaris mirip dengan budaya rumah tangga hari ini yang mudah bercerai seenaknya. Berjalan kaki dan perceraian mungkin memiliki kaitan yang cukup banyak jika kita mau memikirkannya.

Di dunia yang mana para pejalan kaki mulai menghilang di desa-desa dan hampir di semua kota besar di negara ini. Maka berjalan kaki tidak hanya sebagai terapi bagi kepala dan jiwaku yang rentan. Tapi juga mengingatkanku akan masa lalu yang sangat dekat dengan alam dan saling sapa dengan masyarakat di sekitar.

Berjalan kaki adalah kegiataan dan budaya yang nyaris punah kecuali hanya untuk sekedar berjalan di rumah, halaman sekolah, mal, tempat makan dan tempat kerja. Bahkan hari ini, orang-orang pergi ke masjid dan gereja pun seolah merasa terhina jika harus berjalan kaki dan tidak menggunakan mobil. Orang-orang yang beragama bagaikan ingin memamerkan kekayaan atau semakin malas untuk bersikap sederhana atau melakukan hal yang lebih bijak dengan tidak menggunakan mobil atau motor di saat berjalan kaki saja lebih dari cukup.

Saat aku tengah berjalan kaki dan melihat kenyataan betapa sangat sedikitnya orang berjalan kaki di trotoar jalan. Aku merasa tak habis pikir dengan masyarakat Indonesia dan akhirnya menulis esai dengan judul "HARAM BERJALAN KAKI DI INDONESIA".

Bagiku sendiri berjalan kaki adalah bentuk dari kerendahan diri, kebijaksanaan, mau menilai diri sendiri, dan menjadi bagian erat kesadaran diri terhadap sekitar -baik sesama manusia, alam, makhkuk hidup lainnya, dan lanskap- yang pada akhirnya nanti terkait erat dengan gaya hidup minimalisme dan zero waste.

Dan salah satu alasan utamaku, menggunakan kegiatan berjalan kaki adalah sebagai terapi. Terapi yang paling murah, gratis, bisa dilakukan seorang diri, dan begitu sangat bebas. Terapi murah ini banyak dilupakan orang, sehingga setiap sore berjubel masyarakat yang tengah melakukan lari kecil atau jogging.

Jogging seringkali identik dengan keterpaksaan karena ingin cepat turun badan, kurus, menekan penyakit, atau sekedar untuk ikut bersantai tapi bukanlah sebuah keseharian bagi banyak orang. Dan ini adalah gaya hidup modern yang baru diperkenalkan akhir-akhir ini. Berbeda dengan berjalan kaki yang bisa kamu lakukan nyaris di mana pun dan di waktu kapan pun. Jogging seringkali terbatas waktu dan tempat. Terlebih jogging lebih rentan dengan perasaan malu dan tak nyaman jika dilihat lingkungan sekitar yang minim orang yang juga melakukan hal yang sama. Sedangkan berjalan kaki, pada akhirnya lebih mudah dijadikan sebuah keseharian dan gaya hidup. Tidak hanya mampu dengan cepat menurunkan stress dan depresi. Tapi jika kamu lakukan setiap hari akan membuatmu sehat dan tetap kurus tanpa kamu harus beralibi dan menghabiskan waktu untuk berjogging.

Banyak perempuan dan laki-laki gemuk dan sakit-sakitan karena gaya hidup berjalan kaki tak lagi menjadi keseharian mereka atau tak pernah menjadi keseharian semenjak masih kecil. Dan hilangnya budaya berjalan kaki, membuat orang ingin segala sesuatunya serba cepat yang berujung pada mudah marah, main hantam, tak toleran, rasis, sampai pada tak menghargai orang lain.

Di negara ini, budaya berjalan kaki sangat terkait erat dengan menghormati orang lain dan mengamati detail keadaan alam dan lanskap sekitarnya. Tapi keadaannya kini berubah dan kamu bisa melihatnya dengan kota yang panas dan kemacetan yang tak habis-habis. Dan intoleransi yang meledak di mana-mana, salah satunya adalah akibat dari berjalan kaki yang ditinggalkan.

Lalu kenapa aku sakit-sakitan padahal aku sering berjalan kaki ke mana pun? Ah, pada dasarnya aku sakit sudah sejak dari kecil. Memiliki tubuh yang lemah secara imunitas. Sehingga aku tak bisa berbuat banyak untuk itu. Tapi berjalan kaki, mampu sedikit memulihkan kondisi tubuhku. Terlebih, yang paling penting, berjalan kaki membuatku lebih bahagia dan melupakan perasaan sakit dan betapa lelahnya hidup ini.

Berjalan kaki sebagai terapi, akan menjadi fokus utamaku beberapa bulan terakhir ini. Dan aku akan menuliskan banyak hal mengenai berjalan kaki dan dunia yang ada di sekitarku.

Seharusnya aku bisa menuliskan kaitan antara berjalan kaki dan perasaan malu. Berjalan kaki dan beragama yang tak bijak. Berjalan kaki dan kemanusiaan. Berjalan kaki dan budaya instan. Berjalan kaki dan intelektualitas. Dan lain sebagainya.

Tapi di sini, aku akan menuliskan kegiatan berjalan kakiku dengan cara yang lebih ringan. Sehingga kalian tak harus pusing membacanya. Tidak seperti esai-esai Anti-Empati, yang ternyata masih sangat berat dibaca oleh anak remaja-muda dewasa ini.

Yah, cukup di sini dan mari kita berjalan kaki dan bersenang-senang!

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang