MENCATAT BUKU

271 19 11
                                    

Aku pernah terpesona akan banyak hal. Sampai akhirnya aku kehilangan kegairahan terhadap semua hal. Buku-buku mencatat duniaku, pikiranku, dan perasaanku. Bagiku sendiri, buku-buku bahkan jauh lebih penting dari pada diriku sendiri dan orang-orang yang sekedar dan datang dan pergi begitu cepatnya.

Membaca banyak. Berpikir terlampau banyak. Merasa yang berlebih. Dan membayangkan banyak hal yang mungkin dan tak mungkin. Semua itu, seringkali aku lakukan dengan buku-buku yang aku miliki. Buku-buku yang mencatat gangguan intelektualku. Dan pada akhirnya, aku memiliki kesenangan tersendiri, yaitu mencatat dan mendokumentasikan lewat foto hampir semua buku yang aku baca dan sukai.

Pendokumentasian itu bukan karena aku ingin pamer dan sombong. Semua buku yang aku foto sangat menyangkut erat dengan pikiranku dan sebagai jalan untuk mengetahui apa itu gangguan intelektual. Buku-buku yang aku baca menyangkut semua yang aku pikirkan dan apa yang membuat aku merasa kesepian dari lingkungan sekitarku menyangkut dunia pemikiran dan intelektual. Di mana aku berpikir terlampau cepat dan jauh. Di saat kebanyakkan orang segenerasiku hanya tertarik dengan sastra, atau sekedar seni, atau hanya sekedar menikmati sains. Aku nyaris menikmati dan membaca semua yang mungkin. Sampai pada akhirnya, aku bagaikan melihat diriku yang berjalan sendirian. Membawa buku-buku seperti orang konyol dan sekedar menunggu era robot datang menggantikan manusia yang mana aku sendiri tidak hidup untuk menyaksikannya.

Aku membawa buku-bukuku ke berbagai tempat, agar orang bisa melihatnya dan tertarik lalu mungkin pembicaraan yang nikmat, yang begitu jarang bisa aku nikmati hari ini, akhirnya terjadi. Aku membawa buku The Sixth Extinction tapi orang-orang di sampingku duduk mungkin tak peduli dengan buku yang aku pegang. Bahkan aku selalu secara terang-terangan menumpuk dan menyerakkan buku-bukuku di atas meja di berbagai tempat. Tapi tetap saja, tak ada yang tertarik. Kecuali beberapa pelancong luar negeri yang menghentikan langkah kakinya dan bertanya buku apa yang sedang aku baca. Atau, hanya sedikit dari temanku sendiri yang tertarik dan bertanya.

Itulah sebabnya aku bosan di sini.

Baiklah. Tak apa. Hanya kaya, dan bahagia itu sudah cukup. Itulah yang banyak orang inginkan. Aku tak memaksa. Hanya saja aku merasa kesepian. Aku tak pernah bertemu satu orang pun segenerasiku yang layak aku ajak bicara secara serius dan para orang tua yang memiliki banyak wawasan pun terlampau sibuk.

Karena itulah, aku hanya ingin mencatat dan mencatat. Siapa tahu, kelak ada anak jenius, pintar, atau memiliki banyak bakat yang terlanjur salah lahir di negara bernama Indonesia yang akhirnya membacaku. Salah terlahir di Indonesia. Ya, Indonesia bukan tempat yang baik bagi orang macam aku. Kecuali dia memiliki orang tua yang mengerti dirinya, apa yang dia suka, dan cukup kaya raya sehingga bisa menyekolahkan anaknya keluar negeri atau bahkan menatap di sana. Beruntunglah dia yang lahir seperti itu.

Di negara ini, tak ada satu pun kota yang memuaskan secara intelektual. Semuanya membosankan. Bahkan Jogja, memiliki terlalu banyak ketakutan di dalamnya. Karena itulah, aku pada akhirnya sangat bosan. Dan tugas terakhirku, aku hanya ingin mencatat dan mencatat.

Aku ingin mencatat semua buku-bukuku. Dan berkata, oh aku tahu, aku tahu. Aku tengah berjuang meninggalkan negara ini dan sangat tak ingin mati di dalamnya.

Bagiku, Indonesia adalah kuburan massal ilmu pengetahuan. Aku lebih memilih mati di mana pun asal tidak di negara ini. Ya. Mungkin seperti itu.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang