SISIPUS KECIL

282 8 2
                                    

Tentang karya-karyaku sendiri, aku telah mempertaruhkan hidupku untuk itu, dan akalku separuh-runtuh karenanya, tak apalah... tapi apa gunanya?
Vincent van Gogh

"In a sense, and as in melodrama, killing yourself amounts to confessing. It is confessing that life is too much for you or that you do not understand it," ujar Albert Camus dalam buku, The Myth of Sisyphus. Sebuah buku tentang hidup yang absurd dan bunuh diri.

Kehidupanku juga tak kalah absurdnya. Sebenarnya, aku sangat ingin berhenti.

Lalu aku membuka buku milik Alvarez, The Savage of God: The Study of Suicide dan langsung saja membuka bab dengan judul, Dada: Suicide as an Art. "The arts, that is, survive because artist continue to believe in the possibility of art in the teeth of everything that is anti-art. Dada on the other hand began by being anti everything, including art, and ended, by the logic of caricature, by being anti-itself. Like so many of the Dadaists, Dada died by its own hand."

Kejadian dan malam ini, membuatku tak hanya teringat van Gogh. Tapi tentang banyak hal. Seperti tokoh Raskolnikov dari Dostoyevsky dalam Crime and Punishment. "Ia berjalan seperti narapidana yang divonis mati. Ia merasa tak ada lagi yang tersisa dalam hidupnya: kebebasan berpikir, kehendak, dan keyakinan yang teguh, semua telah sirna."

Dan entah kenapa, tiba-tiba aku sudah tertidur dan bangun dari mimpi yang sedikit aku ingat. Sekarang waktu mendekati jam empat pagi. Perasaanku tiba-tiba cemas. Tak ada siapa-siapa. Seandainya malam ini aku meloncat ke sebuah jurang atau laut. Tak ada yang tahu. Karena pada waktu ini, bahkan sebelum aku tiba-tiba jatuh tertidur, semua orang tak ada.

Bahkan saat aku tiba-tiba dalam kondisi yang tak baik dan butuh ditemani. Baiklah. Tak apa. Aku jadi teringat kehidupan George Orwell. Kehidupan yang penuh kemelaratan saat berada di Paris dan London.

Sekarang, baiklah. Aku bangkrut. Mungkin seperti lelucon. Uang sesedikit itu mungkin hanya menjadi ejekan dan bahan tertawaan mereka yang hidup mewah. Tapi bagiku, itu sudah bisa membuatku bertahan hidup beberapa bulan, menghasilkan uang dan menuliskan karya-karya pentingku. Sedikit dan terlampau sedikit. Tapi bisa aku manfaatkan sebaik mungkin. Suatu hal yang tak bisa dilakukan oleh mereka yang kaya raya dan dari keluarga konglomerat. Tapi tetap saja. Kenyataan adalah kenyataan. Aku sudah lelah membiayai diriku sendiri. Membiayai Sisipus kecil milikku. Jatuh berulang-ulang tanpa pernah puas dengan apa-apa yang aku tulis.

Dua minggu lagi, atau tak ada dua minggu lagi, mungkin aku akan terusir dari tempat tinggalku ini. Aku masih belum membayarnya sampai empat bulan. Dan sebentar lagi lima bulan. Baiklah. Periode sedikit ketenanganku akan segera berakhir. Tapi entah kenapa, aku tak rela menjual buku-buku yang aku kumpulkan sebagai bahan menulisku. Hah, aku tak mau meminta bantuan keuangan siapa pun. Aku tak ingin mengganggu orang-orang. Kecuali mereka dengan tulus datang membantuku. Tapi siapa?

Tadi malam ada seorang teman lama berbaik hati dan yang tak terduga sedikit membantuku. Aku berterimakasih padanya. Kelak, aku akan membalasnya jika aku masih hidup dan berhasil. Ya, jika masih hidup.

Pagi ini, sewaktu aku bangun, aku tak tahu harus berbicara dengan siapa. Itu cukup melegakan. Melegakanku. Karena aku tahu, aku bisa mati kapan pun aku mau tanpa seorang pun tahu bahwa aku telah mati. Kematian yang mengakhiri lingkaran Sisipus kecilku.

Aku sudah tak tahu harus kembali meneruskan menulis novelku atau tidak. Aku sudah tak memiliki apa-apa untuk bisa meneruskannya. Aku ingin bisa kembali sedikit menikmati membaca dan bersenang-senang.

Berjuang untuk yang terakhir. Perjuangan semu dan kepura-puraan yang aneh. Sepertinya masa depresi hebatku akan kembali datang. Dan aku tak tahu apakah aku akan bisa menanganinya kali ini. 

Aku tak tahu.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang