ZERO WASTE

444 11 4
                                    


Menjadi minimalis masih cukup mudah untuk dilakukan. Tapi bagaimana dengan menerapkan gaya hidup zero waste dalam dunia keseharian? Bagiku sendiri, menerapkan zero waste di Indonesia sangatlah luar biasa susah dan nyaris mustahil. Kecuali kita memiliki cukup banyak uang dan benar-benar tahu caranya untuk gigih dan bersabar.

Tidak seperti minimalis yang hanya perlu menyingkirkan barang-barang dalam ruangan dan dunia keseharian kita. Gaya hidup zero waste bergerak lebih jauh dan merombak total gaya hidup keseharian kita.

Pada dasarnya, zero waste berarti kegiatan mengurangi konsumsi sampah sampai titik ekstremnya. Karena zero waste, seperti yang dilakukan Bea Johnson dan keluarganya berkaitan erat dengan gaya hidup hijau, berkelanjutan, dan pada akhirnya bergerak jauh ke masalah lingkungan hidup dan pemanasan global. Maka zero waste tak hanya sekedar kegiatan mengurangi sampah secara dratis. Tapi memilah, membeli dan menggunakan berbagai macam barang yang tak merusak lingkungan lebih jauh. Karena seringkali bahan produksi pabrik bersifat sangat berbahaya, limbah atau kandungan bahannya sangat merusak lingkungan. Maka kebanyakan penganut zero waste pun berusaha mencari alternatif, dengan cara membuat barang-barang atau kebutuhan mereka sendiri. Itu berarti mereka akan terus belajar, mempelajari hal baru, dan memproduksi sendiri apa yang bagi mereka tak ada. Titik terberat menjadi zero waste adalah bagian ini: mengganti seluruh produk yang sehari-hari yang kita pakai dan menggantinya dengan yang ramah lingkungan. Bagi banyak orang, perubahan mendadak ini sangatlah tak mudah. Bagiku sendiri, sangatlah mustahil karena kondisiku yang benar-benar tak memungkinkan.

Mengganti sabun mandi, pasta gigi, sampo, dan membuang semua yang terbuat dari plastik dan menggantinya dari kayu atau bahan yang bertahan sangat lama untuk mengurangi penggantian secara terus-menerus dalam jangka pendek. Mengganti alat mandi kita, yang berbahan dasar kimia yang sangat merusak lingkungan dengan bahan yang lebih alami dan mudah didaur ulang, tidaklah mudah. Pada akhirnya para penganut zero waste tidak hanya membuat sabun mandi, sampo, hingga alat-alat mandi sendiri yang mereka anggap lebih ramah lingkungan. Tapi juga segala pola makan yang dianggap tak baik, boros energi, menghasilkan efek rumah kaca, dan limbah berbahaya, semuanya dikurangi dan perlahan diganti. Hingga pada akhirnya, kebanyakan penganut zero waste menerapkan diet vegetarian dan vegan. Membunuh hewan yang memiliki rasa sakit dan menghasilkan limbah peternakan yang besar itu buruk. Maka, mereka pun mulai bereksperimen dengan membuat berbagai makanan dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Dan hal ini berlanjut dengan mengubah total rumah beserta bahan-bahan untuk membuatnya. Mengganti listrik batubara dengan listrik matahari. Mengganti kendaraan yang lebih ramah lingkungan dan kalau bisa, berjalan kaki atau bersepeda untuk mengurangi karbondioksida yang dikeluarkan kendaraan.

Ini adalah gaya hidup yang nyaris mengubah total kebiasaan kita sehari-hari, yang mana kita tak terbiasa berpikir dan memikirkan dari bahan apa saja barang-barang yang kita pakai dan dari negara mana saja barang itu dibuat. Menjadi zero waste berarti kita dituntut untuk berpikir holistik, luas, dan merunut ke akar. Pertanyaan semacam, bagaimana sikapku saat membeli gadget yang berasal dari pembantaian etnis Afrika? Bagaimana aku bisa dengan mudahnya membeli beras murah yang berasal dari negara yang petaninya digaji rendah dan tak dianggap? Jika barang-barang yang aku beli ternyata limbahnya menghancurkan sungai dan lautan di sekitarnya, tidakkah itu sangat buruk? Tidakkah jika aku membeli barang-barang itu berarti aku juga ikut merusak lingkungan dan kemanusiaan itu sendiri?

Pada akhirnya zero waste tidak hanya menyoal lingkungan hidup tapi juga kemanusiaan itu sendiri. Dan mempertanyakan segala jenis barang, sejarah dan proses pembuatannya. Berpikir sampai sejauh itu, bukanlah kegiatan normal yang sering kita lakukan karena setiap hari kita tidak ingin tahu dari mana saja barang yang kita gunakan dan makan. Atau proses seperti apakah yang tengah terjadi saat pembuatannya. Banyak dari kita tak mau tahu. Karena yang kita inginkan adalah segala yang serba instan dan kita sebaik mungkin menghindari perasaan bersalah dan empati dari setiap barang yang kita beli. Membeli minyak goreng yang menghancurkan kehidupan orangutan, membuat luasan hutan menyusut, dan membuat suku Dayak tersudut, bukanlah hal yang diinginkan seorang konsumen yang terbiasa menutup mata. Pada akhirnya, zero waste tidak hanya mencoba untuk menolak setiap barang yang dibuat dengan proses yang buruk dan merusak. Tapi juga akhirnya mengerti dan sadar diri, bahwa dunia ini saling terhubung dan hal-hal kecil yang kita makan, pakai, dan beli ternyata tidak hanya memengaruhi seisi planet tapi juga bisa membuat perubahan yang begitu besar: entah ke arah yang lebih baik atau yang lebih buruk.

Tantangan paling berat menjadi seorang zero waste adalah menghindari dan menolak penggunaan plastik dan kertas yang sangat berlebih dan bagaikan ada di mana pun kita berada. Sampah plastik telah menghancurkan banyak kehidupan hewan liar dan menumpuk di lautan dalam skala yang begitu mengerikan. Mengurangi penggunaan plastik adalah tujuan utama, dan hampir menjadi agenda inti dari nyaris semua penganut zero waste. Karena lebih dari barang apa pun juga. Plastik ada di mana-mana dan sangat susah untuk dihindari.

Hampir di setiap toko dan pusat perbelanjaan, kantong plastik dengan begitu mudahnya diberikan dengan cuma-cuma. Dan milyaran orang setiap hari mengonsumsi plastik dalam jumlah yang begitu banyaknya tanpa mereka pernah menyadarinya. Hampir di segala tempat, saat kita ingin membeli sesuatu: dari makanan, barang elektronik, sampai obat, plastik sudah menjadi tradisi umum untuk digunakan sebagai pembungkus atau kantong barang belanjaan. Konsumsi plastik yang kita lakukan setiap hari, yang kita abaikan begitu saja, ternyata telah merusak luar biasa banyak kehidupan dan menghancurkan banyak sekali ekosistem yang ada di dunia ini. Dan kesadaran untuk mengurangi plastik dan menolaknya, seringkali menjadi agenda utama dari semua orang yang serius menyebut dirinya sebagai zero waste. Kecuali bagi mereka yang menganggap zero waste hanya sebagai trend dan sekedar ingin terlihat keren dan berbeda tanpa keinginan untuk memikirkan hal semacam itu. Gaya hidup zero waste pada akhirnya tak menyentuh inti dari kegiatan itu.

Menolak plastik di negara Indonesia benar-benar luar biasa berat. Aku sendiri mengalaminya dan tak bisa terus-menerus menolaknya. Sampai ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalku tahu, kadang bercanda, saat aku selalu menolak plastik dan tak membungkus barang dan makananku dengan plastik dan plastik. Tapi tentu saja sangat susah untuk menolak plastik saat aku harus membeli makanan kuah, cair, atau berminyak yang jelas tak bisa dimasukkan dalam kantong kain, atau totebag, yang nyaris selalu aku pakai ke mana pun aku pergi. Terlebih saat banyak makanan dibungkus dengan plastik dan plastik. Rasa-rasanya begitu sulit menghindarinya.

Menjadi zero waste di Indonesia tidak hanya sangat berat tapi begitu susahnya sampai banyak orang yamg ingin mencobanya menyerah. Struktur masyarakat, norma, budaya, nilai-nilai, pendidikan, sistem pemerintahan, dan kesadaran umum masyarakat belum siap untuk menerimanya. Berbeda dengan Eropa dan Amerika atau negara-negara Asia Timur yang kesadaran lingkungannya sangat tinggi sehingga sangat mudahnya mencari barang atau bahan yang ramah lingkungan. Di sini, mencari barang semacam itu sangat susah dan terpaksa harus memesannya dari luar negeri. Dengan kondisi yang tak mendukung, menjadi zero waste tidak membuat biaya hidup menjadi lebih murah tapi malah menjadi lebih mahal dan sangat rumit. Bahkan seringkali ditertawakan atau dicemooh oleh masyarakat yang sudah terbiasa memakan daging, membuang sampah sesuka hati, dan mengonsumsi apa pun yang dimau tanpa pernah berpikir panjang.

Jika gaya hidup zero waste diterapkan dalam lingkungan dan masyarakat yang sudah siap. Maka gaya hidup semacam itu bisa sangat menyenangkan dan setahap lebih jauh dari minimalisme. Kepuasan akan gaya hidup hijau dan berkelanjutan tidak saja bersifat moralistik dan kemanusiaan. Tapi juga kepuasaan akan menjalani hidup yang bertanggung jawab dan sadar diri. Tapi, jika gaya hidup zero waste diterapkan dalam lingkungan yang tak mendukung dengan ekonomi pas-pasan, jelas saja, gaya hidup zero waste akan begitu sulit, melelahkan, dan bisa sangat membuat frustasi.

Setidaknya, sebagai orang yang gagal dalam aktivisme lingkungan hidup dan gagal pula menjadi vegetarian. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanyalah meminimalisir apa pun yang mampu aku kurangi dan hindari. Mungkin aku tak akan pernah menjalani gaya hidup zero waste yang sebenarnya. Tapi setidaknya aku tahu, dan mengerti apa yang tengah ingin dilakukan dan tanggung jawab apa yang diemban oleh mereka yang menjalani gaya hidup semacam itu.

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang