HA

316 23 7
                                    

Hari itu adalah hari-hari seperti biasanya. Dia duduk di bangkunya. Seperti biasa. Nyaris tak ada yang istimewa. Mendengarkan ocehan guru yang menyebalkan. Atau suara-suara menyebalkan lainnya dari para siswi yang terkadang menjadikan dirinya sebagai bahan ejekan. Atau para laki-laki yang siap sedia mencontek apa pun yang telah dirinya kerjakan.

Jam menunjukkan nyaris pukul sebelas siang. Saat dirinya berharap kelas segera berakhir dan menghindari omong kosong yang dilaluinya sehari-hari.

Seorang laki-laki muda yang tak dikenal tiba-tiba muncul saat guru matematika yang tak menyenangkan telah pergi dari kelas. Dia membawa koper besar berwarna hitam. Memperkenalkan diri sebagai guru pengganti. Guru baru yang baru saja masuk dan mengajar kimia.

Perkenalan itu begitu sangat singkat. Tapi entah mengapa, dia menyuruh semua orang berdiri dari tempat duduknya. Dia bilang, dia ingin memberi sedikit hadiah perkenalan dan ingin mengambil gambar pertemuan pertama mereka di kelas. Semua orang segera berdiri. Ada yang sedikit tak senang dan meracau kesal. Tapi akhirnya mereka semua berdiri.

Guru itu mengangkat kopernya dan menaruhnya di atas meja. Mengeluarkan isinya dan langsung saja, sekian menit kemudian, semua orang berjatuhan, bergelimang darah, dan ruangan kelas itu mendadak sunyi.

Dinding tembok penuh dengan bekas peluru, cipratan darah, dan lantai merah yang bergelimpangan dengan mayat.

Laki-laki misterius itu segera saja keluar melarikan diri. Dan kini, ruangan dipenuhi pekik suara para guru, dan semua orang yang berdatangan begitu histeris melihat situasi yang ada. Mereka semua mengira tak ada yang selamat dari pembantaian yang begitu sadis yang tak mereka sangka akan menimpa sekolahan mereka. Tapi tiba-tiba saja ada yang keluar dari kolong meja, tertutupi oleh salah seorang siswa yang sudah mati.

Laki-laki berkacamata itu hanya berdiri. Memandang sekeliling. Tak tahu pasti apa yang terjadi. Mendadak saja, para guru, dan banyak orang berlarian memeluk dirinya sambil menangis.

"Untunglah kau selamat! Untunglah!" Begitulah yang orang-orang ucapkan kepadanya. Ucapan yang sesuangguhnya dia tak mengerti dengan baik.

Keesokan harinya, para wartawan menemuinya. Meminta keterangan dan ingin tahu pengalaman apa yang didapatkannya setelah kejadian yang mengerikan pada siang hari kemarin. Di depan kamera, dia berujar, "Saya tak peduli mereka semua mati."

Wartawan itu terguncang. Seluruh negeri terguncang. Para guru sampai dunia internasional terguncang.

Semua orang berbondong-bondong meminta penjelasan kepadanya. Siapa tahu yang dikatakannya hasil dari trauma dan ketakutan akibat aksi sadis teroris yang membunuh semua teman sekelasnya. Tapi sekali lagi dia menjawab, "Saya tak peduli mereka semua mati. Apa begitu pentingnya mereka bagi Anda sehingga Anda menanyakannya kepada saya?"

Wartawan itu terhenyak dan balik bertanya, "Apa kamu yakin nak? Apa kamu serius?"

Dia mengangguk. "Ya, saya serius."

Kembali terhenyak. Wartawan itu kembali bertanya dengan agak sedih. "Kamu ini masih sekolah. Semua teman sekelasmu meninggal. Dan kamulah satu-satunya yang selamat. Kenapa kamu berkata kejam seperti itu? Itu sangat tidak manusiaw..."

Laki-laki itu membenarkan letak kacamatanya. Menyodorkan setumpuk buku bertuliskan tangan sebelum sempat si wartawan menyelesaikan perkataanya. "Ini catatan harian saya. Dan ini," menyerahkan dua lembar kertas berwarna putih berisikan nama-nama. "Bacalah ini sebentar. Ini hanyalah ringkasan. Nanti Anda akan mengerti."

Segera saja wartawan itu membaca dari awal sampai akhir sambil sesekali matanya tertuju ke anak remaja berusia enam belas tahun yang ada di depannya.

1) Monic; dia sangat membenci saya.
2) Alfo; dia selalu mengejek saya di dalam kelas. setipa hari.
3) De; dia mempermalukan saya di depan semua orang secara berulang-ulang.
4) Eliza; dia menipu saya. dia membuat saya nyaris dikeluarkan dari sekolah ini.
5) Berton, Robert, Jack, dan Lambert; semua laki-laki ini memalak saya setia hari dan mengancam saya untuk tutup mulut.
6) Cecil, Hannah, Korbie, Lusi, dan Lisa; semua perempuan ini bersekongkol menjatuhkan saya karena nilai sayalah yang terbaik. mereka tak rela orang semacam saya mendapatkan peringkat pertama. mereka semua iri dan membuat skenario bahwa saya mencontek semua hasil ulangan. saya nyaris langsung dikeluarkan dari sekolah karena mereka.
7) Antonie; dia membanting kaca mata saya tanpa meminta maaf sama sekali.
8) Lona, Vee, dan Nico; mereka bertiga menyaksikan saya dihajar habis-habisan oleh kakak kelas. mereka ada di sana. tapi mereka malah tertawa menyaksikan saya dipukuli.
9) Clara; dia berpura-pura mengencani saya demi uang yang saya punya. lalu menuduh saya ingin memperkosa dirinya agar dia mendapatkan jaminan besar dari keluarga saya.
10) George; dia menghancurkan hidup saya.
11) Vito; dia sahabat George. dua orang ini bagaikan neraka bagi saya.
12) Andrea; saya kira dia adalah teman tepat berada di sekeliling Anda setiap harinya?"

Wartawan itu hanya diam. Tak mampu menjawab.

"Saya sama sekali tak bersedih dan tak merasa kehilangan mereka semua. Seandainya sayalah yang mati. Apakah Anda berpikir mereka akan menangis dan mengingat saya? Tidak. Saya bukan tipe orang yang akan repot-repot mereka ingat dan tangisi. Tidak. Pastinya tidak."

Wartawan itu akhirnya membuka mulut setelah membaca beberapa bagian dari catatan harian. "Sejak kapan ini terjadi nak?"

"Sejak semester pertama awal masuk sekolah ini. Saat itulah saya tahu, saya bukanlah siapa-siapa bagi mereka semua. Apa Anda mengerti? Saya bukanlah sosok penting. Jadi, saya juga menganggap mereka tak penting."

Remaja itu memandangi catatan hariannya dan berujar cukup keras. "Ya. Pada dasarnya mereka semua tak penting bagi saya. Sangat tak penting."

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang