GANGGUAN INTELEKTUAL

23.9K 1.2K 181
                                    

Kadang, kau harus membuat sebuah karya untuk membumihanguskan seluruh dunia.

Karya, yang akan terus bertahan
sebagai perwujudan kegilaan yang paling ambisius dan kejam.

Agar orang-orang yang buta tahu,
mereka tak kalah kejamnya dengan
para diktator dan pembunuh besar dalam sejarah.

Karena masyarakat yang bisu dan tuli
Lebih kejam dan gila dari pada tuhan yang diam membatu.

Yang aku takutkan hanya satu; diriku sendiri.
Kepribadianku yang paling gelap. Yang tak menganggap apa pun penting di dunia ini. Akhir-akhir ini, perasaanku ingin sekali berjalan menuju itu. Betapa menyenangkannya menjadi kejam dan berdarah. Menghapus semua nilai di dalam diri dan sekitar. Di mana hidup dan mati sudah tak lagi penting.

Dan seluruh tulisan kasarku akhir-akhir ini, hanya kecil dan sampah di depan seluruh kekejaman yang bagian lain dari diriku miliki. Aku ingin menyadarkan orang-orang yang mirip dengan diriku. Dunia ini sudah tak ingin memiliki orang yang baik. Marilah kita bersekutu dengan iblis dan kemurkaan tuhan. Dan membuat bumi menjadi luapan amarah dari mayat-mayat yang tergeletak dingin.

Kemarin, aku pergi ke gang semangat, di tempat jual buku sastra. Aku membeli sebuah buku untuk meninggalkan sastra Indonesia. Mereka rupanya tahu tentang diriku akhir-akhir ini yang katanya membuat heboh dunia maya. Begitu juga Martin ketika di Surakarta mengatakan hal yang serupa. Selama ini aku tak begitu peduli akan hal itu. Orang-orang seharusnya melihat iblis yang bermetamorfosis dalam diriku. Laki-laki yang gagal menyembuhkan diri, nyaris tak ada seorang pun yang menolong, dan sebaik apa pun menulis, berpikir, menarik kesimpulan akan dunia, akan selalu dianggap sampah di generasiku. Siapa yang akan membelaku kalau tidak diriku sendiri? Siapa yang akan membela orang macam kita kalau tidak diri kita sendiri?

Aku pergi dari gang itu, dan bilang, "doakan aku cepat mati!".

Aku tak mau jadi Chairil yang diacuhkan ketika masih hidup. Dipuja ketika sudah mati. Dan aku tak mau bernasib seperti kebanyakan penulis, pemikir besar, para genius, intelektual, filsuf, dan beberapa orang lainnya yang aku tahu dan kenal. Menolak mereka ketika hidup tapi memujanya setelah mati. Masyarakat yang busuk dan egois semacam itu, harus sekali-kali kita ledakan dan ratakan dengan beton.

Tak selamanya masyarakat baik. Tak seterusnya masyarakat peduli. Tak selalu rakyat harus dibela dan dilindungi. Adakalanya mereka adalah sekumpulan orang buta, egois, hidup untuk diri sendiri, lebih gila, kejam, dan tak berperasaan. Sebagai seorang nihilis, aku sudah tak lagi peduli akan kematian-kematian. Untuk apa peduli dengan orang dan masyarakat yang tak memedulikanmu?

Tapi diriku yang lain, yang masih naif, anak-anak dan berjiwa manusia, mengingikan menulis Mengembara di Tanah Asing dan masih mau dan sempat-sempatnya memikirkan masyarakat, negara, dan bangsa ini ke depannya dengan menulis kritik yang menggebu soal sastra, psikologi sosial, agama, pokitik, sosiologi, dan lainnya. Pada akhirnya, dia, sisi yang baik itu, dibenci bukan? Tidakkah kau pada akhirnya dibenci? Orang sepertimu tak layak hidup di dunia dan tak seharusnya muncul lagi. Masyarakat ini lebih menyukai dunia kacau dan buruk seperti sekarang ini. Abaikan masyarakat. Biarkan mereka mengurus dirinya sendiri. Mereka tak akan pernah mengurusmu walau kau bakal menderita dan mati.

Masyarakat ini membutuhkan orang yang kejam dan diktator. Kenapa kau tidak memberikan hal semacam itu dan mulai sekarang menutup mulutmu? Apa pentingnya kematian seribu orang hingga ratusan juta orang karenamu? Tidakkah kematian adalah hal yang biasa bagi kehidupan? Jika mereka mati. Kau tak berhutang apa-apa kepada mereka kecuali hutang secara tak langsung yang berkaitan dengan makanan, benda-benda, dan penunjang hidupmu selama ini.

Seorang laki-laki yang sudah tak lagi menginginkan hidup juga tak akan menganggap penting seluruh kehidupan di dunia yang ada di sekitarnya.

Kapan kau membuatku terbebas dari dunia naif anak-anakmu? Kau masih ingin menyadarkan orang-orang, menulis demi kebaikan dan masa depan mereka, demi kemanusiaan yang tak pernah jelas itu, demi kebenaran, keadilan, dan anggapan konyol yang kau pertahankan itu! Ingatlah, mereka semua tak menginginkan itu! Mereka semua mengingkan kematian, perang, kekacauan, dan segala hal yang rusak!

Untuk apa kau terus menderita untuk masyarakat, orang banyak, dan membela mereka mati-matian? Mereka tak akan membelamu. Mereka tak akan mengerti perasaan dan pikiranmu. Mereka akan mengacuhkan dan menjauhimu. Mereka tak pernah menganggapmu ada. Lalu, mulai sekarang, anggaplah mereka tak pernah ada.

Dirimu sendirian. Terjepit. Kosong. Sudah saatnya berhenti berharap akan dunia. Di sebuah dunia yang tak menginginkanmu keberadaanmu.

Kadang, melihat satu orang yang mempertahankan sedikit sisi baik dalam dirinya, bagaikan melihat kapal karam di tengah padang pasir. Berapa banyak orang baik yang tulus disingkirkan dan dibungkam, dibuat gila dan kesakitan oleh masyarakat?

Dunia Yang Harus Kita Akhiri adalah karya terbesarku dalam bentuknya yang paling kasar. Hanya sedikit orang yang mengerti dan akan memahami kebesaran karya itu. Buku itu tak akan berpengaruh apa-apa bagi orang biasa. Bahkan mungkin akan menggelikan dan dianggap buruk dan sampah. Tapi bagi orang yang memiliki kemiripan sepertiku, mereka akan tahu, entah saat ini atau kelak, aku telah melihat kesimpulan sejarah manusia dalam seginya yang paling buram. Dan aku akan membukakan mata mereka lebar-lebar mengenai dunia yang kita tinggali, yang coba kita pertahankan, dan membuat banyak dari kita terus bertengkar. Hanya sedikit orang, dan khusus yang bisa menikmati buku itu. Dan kepada yang sedikit itulah, aku menuliskannya.

Aku selalu bertanya-tanya sejak kecil, kenapa kehidupan masih mempertahakan diriku hingga saat ini? Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan. Aku tak pernah meminta memiliki pikiran dan perasaan semacam ini. Aku tak pernah tahu, untuk alasan apa keberadaanku berada dan mengada.

Waktu pun bergerak menjauhi belakang. Aku akan menuliskan apa yang mampu aku tulis. Semua yang ada di kepala dan pikiranku. Dan sampai sekarang aku bertanya-tanya, apakah kehidupan itu masih cukup penting untuk dipertahankan?

PSIKOLOGI, PSIKOTERAPI, DAN MASALAH LAINNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang