Ammar memanfaatkan silatnya untuk menyerang Juan. Sampai akhirnya Juan bertekuk lutut minta dilepaskan. Tapi Ammar kembali memukul lehernya sampai tak sadarkan diri. Ammar menuntunnya keluar berpura-pura kalau Juan sakit, lalu membawanya ke ruang mayat tak jauh dari toilet itu. Tak lupa ia juga menyumpal mulut Juan dan mengikat kedua tangannya.
"Kamu pikir saya anak kemarin sore yang bisa kamu kelabui? saya pastikan kalian tidak akan berhasil" Ammar memakinya meskipun didalam hati.
Saat ia kembali ke ruangan Verrel, Vani sudah ada untuk menemaninya.
"Ya udah Febby pulang aja ya, biar Tante yang nemenin Verrel, lagian Verrel juga udah tidur" ucap Vani.
Melihat Verrel yang sudah terlelap tidur, Febby juga tidak tega kalau harus mengganggunya.
"Nggak Tante, Febby juga mau nemenin Verrel disini" sahut Febby setelah berpikir sejenak.
"Ya udah kalau gitu Kak Ammar pulang dulu, kalau ada apa-apa langsung telpon ya"
Ammar mencium tangan Vani dan pamit pulang.
Sementara tidak jauh dari kamar itu, Mawar baru saja konsultasi ke Dokter tentang keluhannya yang suka mengalami sakit kepala. Namun setelah di Rontgen hasilnya mengatakan kalau ia ada penyakit kanker otak stadium lanjut.
"Nggak mungkin, saya nggak mau punya penyakit ini dok, saya nggak mau" Ingin rasanya ia berteriak sekuat-kuatnya.
Mawar meninggalkan ruangan itu sambil membawa hasil Rontgennya. Langkahnya seakan gontai. Air matanya tiba-tiba mengalir deras. Kemudian ia terhenti didekat mobilnya dengan merintih pilu.
"Untuk apa aku hidup kalau harus menanggung beban yang berat seperti ini?"
Ia ingin merobek hasil Rontgen itu, tapi tangannya tak sengaja menyenggol Ammar yang hendak menuju mobilnya. Kertas Rontgen itu terjatuh, dan Ammar memungutnya.
"Kanker otak...?" Celetuk Ammar membacanya. "Ini punya kamu?" Sambil memberikannya.
Tapi Mawar hanya diam seribu bahasa sambil mengusap air matanya dengan tangan.
"Mungkin waktu aku nggak akan lama lagi" rintihnya.
"Hidup ini adalah milik Allah, kalau ia berkehendak kita untuk terus hidup, maka kita akan diberikan jalan untuk sembuh, jadi kita harus tetap optimis dan tawakal"
Mawar mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas. Namun tangannya gemetar saat ingin membuka pintu mobilnya, sehingga kuncinya terjatuh.
"Biar kamu saya antar saja" Ammar menawarkan diri.
Dengan senang hati, tentu Mawar tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia lalu pura-pura lemas agar Ammar memapahnya. Benar saja, Ammar ternyata memapahnya karena tidak tega.
"Kenapa nggak dari kemarin-kemarin sih Ammar memperlakukan aku kayak gini? Kan so sweet" girang Mawar dalam hati.Bella berbaring dikamar ingin memejamkan mata, tapi sayang ia mempunyai firasat kalau Ammar sedang bersama perempuan lain. Pikiran itu membuatnya gelisah. Menghubungi Ammar juga tidak aktif. Melihat lampu dikamar Bella masih menyala, Ibunya Ratu mengetuk pintunya.
"Masuk aja Bu nggak dikunci" ucap Bella sambil mondar mandir memegang ponsel.
"Kok belum tidur?"
"Nggak bisa tidur Bu"
"Kamu lagi mikirin Ammar ya?"
"Ah Ibu bisa aja" Bella berusaha menutupi perasaan sesungguhnya.
Disisi lain, tampak Ammar mengantar Mawar sampai ke rumahnya.
"Masuk dulu yuk" ajak Mawar. "Lagian nggak ada siapa-siapa kok cuma aku sendiri, ayolah..."
Rayuan maut Mawar menggetarkan jiwa Ammar, sehingga tanpa penolakan Ammar pun masuk dengan malu-malu.
"Mmm kamu mau minum apa?" Tanya Mawar.
"Oh nggak usah, saya nggak lama kok"
"Meskipun sebentar juga nggak apa-apa, aku bikinin minum dulu ya" Mawar kemudian ke dapur.
"Tadi siapa yang nelpon ya?" Pikir Ammar sambil memeriksa ponselnya, ternyata itu panggilan dari Bella istrinya, tapi Mawar menyodorkan segelas minuman untuknya.
Ingin menolak, tapi kerongkongan Ammar terasa haus.
"Kamu pikir ini ada racunnya" sindir Mawar sambil duduk agak menjauh.
"Makasih" Ammar lalu meminumnya sampai habis. "Kenapa kepala saya agak pusing ya?" Keluhnya sambil memegangi kepala.
"Itu artinya kamu butuh istirahat, sini aku bantu" Mawar memapah Ammar bermaksud ingin membawanya ke kamar.
"Lepasin" pinta Ammar.
"Tapi kamu lagi nggak enak badan, udah kamu istirahat aja dulu"
"Kamu jangan coba-coba memanfaatkan saya"“Mama ke bagian administrasi dulu ya” ucap Vani kepada Verrel yang masih terbaring lemas di ranjang pasien.
Verrel hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Namun Febby mendengar suara perut Verrel seperti sedang menyanyikan lagu keroncong.
“perutku laper, beliin aku nasi goreng dong...” rayu Verrel sambil memegangi perut.
“nasi goreng...? kenapa harus nasi goreng?” Febby mengerenyitkan dahi.
“nggak tau nih tiba-tiba aja pengen nasgor”
“udah kayak orang lagi ngidam aja” cerca Febby.
“pliss...” Verrel tampak memohon.
“iya iya Febby beliin” meskipun mengeluh, tapi Febby menurutinya.
Febby keluar mencari nasi goreng, namun diluar sana tidak ada abang abang yang menjual nasi goreng seperti yang diinginkan Verrel. Mana ya kok nggak ada...?” keluhnya kesana kemari menelusuri sepanjang jalan, padahal suasana semakin sepi karena malam semakin larut. Setelah agak jauh akhirnya Febby menemukan penjual nasi goreng yang nangkring di pinggir jalan. Ia pun memesannya, namun ada Bima yang menghampiri.
Bima melihat ke sekelilingnya, namun tidak ada Verrel yang selalu mendampingi Febby. Bima tersenyum bahagia, seakan-akan mendapatkan curahan air setelah sekian lama gersang.
Setelah membayarnya, Febby pamit pergi. Tapi Bima sepertinya sudah punya rencana spesial untuknya.
“udah gue anterin yuk” Bima menawarkan diri sambil mengiringinya.
“gue bisa sendiri kok” tolak Febby.
“udah nggak apa-apa gue anterin” paksa Bima sambil memeganginya, tapi Febby menepisnya dengan kasar.
Bima mengejar Febby yang melarikan diri.
“MAU KEMANA LO FEB...? GUE CUMA MAU NGANTERIN LO DOANG KOK NGGAK BERMAKSUD APA-APA...” teriak Bima menggapai tangannya, namun tangan Bima tak sengaja menarik plastik yang berisi nasi goreng tersebut. Langsung saja Nasi goreng itu terlempar dan tak sengaja terinjak oleh Febby.
“kalau lo masih ngikutin gue gue akan teriak” ancam Febby.
“oke oke” Bima membiarkan Febby pergi dengan terburu-buru setelah memungut plastik itu.
Sementara Verrel gelisah menantikannya. Entah kenapa ia jadi khawatir. Kenapa aku jadi egois kayak gini sih...? seharusnya aku nggak nyuruh Febby keluar, mana udah malem lagi...!” ia lalu beranjak bangun sambil membawa infusnya yang menggantung. “kok aku bodoh banget sih...!”
Febby muncul dengan wajah pucat.
“Febby kenapa?” tanya Verrel cemas, tapi Febby hanya diam tak ingin bicara. “Febby kenapa?” lagi-lagi Febby cuma menggeleng.
Sambil menunduk Febby menyodorkan nasi goreng yang sudah acak-acakan tersebut.
“Febby minta maaf, tadi nasi gorengnya jatoh” ucap Febby dengan wajah cembetut, tapi Verrel malah tersenyum tipis.
“kenapa harus minta maaf, aku seharusnya bersyukur punya calon istri seperti Febby”
Spontan Febby menoleh kearahnya yang tampak senyum-senyum.
“JANGAN...” Febby melarang Verrel yang ingin menyantapnya.
“nggak apa-apa kan nggak kotor” dengan lahap Verrel menyantapnya.
Ternyata Vani sedang khusuk melaksanakan sholat malam di mushola, sedangkan Febby tidur di samping bonekanya. Verrel tersenyum menatapnya, lalu menyelimutinya dengan jaket. Hampir saja bibir Verrel menyentuh keningnya, tapi ia tersadar kalau Febby belum resmi menjadi istrinya. Akhirnya ia mengurungkan niatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...