part 66

219 19 0
                                    

Ammar masuk ke kamar, menatap Bella yang pura-pura tidur.
"Saya tau kamu belum tidur, iya kan?" tegur Ammar sambil mengusap pundaknya.
Jauh di lubuk hati, Bella tidak ingin diduakan, tapi ia juga tidak boleh egois. Ia bangun dan duduk disisi ranjang.
"Saya memang tidak bisa tidur" ucapnya.
"Apa karena masalah kita?"
"Bukan"
"Terus apa yang membuat kamu tidak bisa tidur?"
"Ternyata hidup saya tidak sempurna seperti orang lain"
"Sayang...kita hanya manusia biasa, kita tidak bisa melawan takdir"
"Terimakasih ya, selama ini kamu udah mendampingi saya walau dalam keadaan apapun, saya sangat mencintai kamu, dan saya mohon, setelah kamu menikah nanti, jangan pernah lupakan kebersamaan kita"
Kata-kata yang dilontarkan Bella membuat hati Ammar terenyuh pilu. Ammar lalu berjongkok dihadapan Bella sembari merengkuh kedua tangannya.
"Saya juga sangat mencintai kamu, selamanya kamu akan tetap ada di hati saya, tidak akan pernah berubah"
Bella mencium keningnya dan tersenyum. Setelah itu barulah mereka tidur.

Saat merapikan tempat tidur, Verrel tak sengaja menemukan beberapa jenis obat dibawah bantal Febby. Jadi selama ini obatnya nggak pernah di minum...?" Matanya nanar menantikan Febby yang tak kunjung muncul.
"FEBBY..."
Lengkingan suara Verrel membuat Febby yang berada dimeja makan kaget bukan kepalang. Sampai-sampai air yang ditelannya menyembur keluar.
"FEBBY..."
"Kenapa harus teriak-teriak sih sayang...?" Tanya Febby menghampirinya dengan terburu-buru.
"Ini apa?" Tegas Verrel sambil menunjuk obat-obat itu.
Sontak saja mulut Febby menganga lebar dengan mata membulat.
"Jadi selama ini obat-obat itu nggak kamu minum? Untuk apa dibeli kalau nggak di minum? Kamu kan tau sendiri saran Dokter seperti apa, tapi kok malah kamu simpen sih?"
Febby dicerca dengan beberapa pertanyaan, sehingga mulutnya jadi terkunci. Bibirnya bergerak-gerak ingin menangis.
"Ya maaf..." Jawabnya kemudian. "Jangan marah..."
"Kamu inget nggak sih pesan Dokter kayak gimana?" Sepertinya nada bicara masih tinggi.
Butiran bening dari pelupuk mata Febby akhirnya mengalir pelan. Ia paling tidak bisa dibentak-bentak seperti itu, apalagi suaminya sendiri yang membentak.
"Febby pliss jangan nangis..." Pinta Verrel. "Aku marah karena aku sayang sama kamu..., Aku nggak mau kamu dan baby-nya kenapa-napa, aku mau kalian sehat itu aja" Verrel mencoba memberi pengertian dan menyeka air mata itu dengan lembut.
Meskipun Febby sudah berhenti menangis, tapi bibirnya masih manyun-manyun gimana gitu. Verrel lalu ke dapur dan membawa segelas air plus pisang kesukaannya.
"Sekarang minum obatnya ya" pintanya sambil memberikan segelas air putih itu.
"Tapi pahit banget sayang..." tolak Febby manja.
"Namanya juga obat mana ada yang manis sayang, kecuali sirop"
Usai Febby menelan obat itu, Verrel memberikan pisang yang sudah dikupasnya.

Di Rumah Sakit, Andin bertanya pada Dokter yang tengah mengecek kesehatannya kenapa bayinya bisa meninggal.
"Karena terjadinya benturan yang sangat keras, sehingga membuat janinnya tidak bisa bertahan, apalagi kondisi kandungannya juga lemah"
Andin kembali menangis. Tadinya ia sangat membenci kehamilannya itu, tapi sekarang ia justru menyesal karena tidak bisa menjaganya dengan baik.
"Ini adalah keputusan yang paling tepat, karena kalau tidak, maka bisa membahayakan nyawa Ibunya juga"
"Lo harus sabar ya" Dino datang menenangkannya.
"Apa anda suaminya?" Tanya si Dokter.
"Mmm iya dok dia suami saya" jawab Andin dengan cepat walau sedikit ragu.
Dino tidak bisa berkata-kata kecuali mengangguk pelan dan menghela nafas.
"Kenapa Andin bilang kayak gitu sih? Gue kan bukan bapaknya plus bukan suaminya juga" keluh Dino dalam hati.
"Kalau gitu saya tinggal dulu ya"
"Iya dok" sahut Dino. "Kenapa lo bilang kalau gue ini suami lo?" Lanjut Dino setelah Dokter keluar.
"Lo kan bapaknya, seharusnya lo yang bertanggung jawab atas semuanya"
"Yang bapaknya itu Bima bukan gue"
Jelas Dino membantah, karena ia tak merasa berbuat salah.
"Jelas-jelas Bima bilang itu perbuatan lo"
"Lo salah Din, justru Bima yang melakukannya bukan gue"
"Udah deh ngaku aja nggak usah berkelit" karena emosi, Andin bangkit ingin memukulnya, tapi malah terjatuh dari ranjang pasien.
"Lo jangan banyak gerak dulu" cerca Dino membantunya berdiri.
"LEPASIN..." tepis Andin.
"Terserah lo mau percaya atau nggak, yang jelas gue udah jujur"
Untuk menenangkan pikiran Dino keluar meninggalkannya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang