part 68

196 20 0
                                    

Lisa memeriksa kamar mandi, namun Andin tidak ia temukan.
"ANDIN..."
Yang diharapkan Andin, tapi yang muncul justru si suster. Suster ingin memeriksa kondisi Andin, tapi Lisa bilang Andin tidak ada.
"Kok bisa tidak ada? Memangnya kemana?" Si suster malah bertanya.
"Seharusnya saya yang tanya pasien dikamar ini kemana?"
"DOKTER..." Suster keluar memanggil-manggil Dokter.
"Iya kenapa sus?" Tanya Dokter yang menangani Andin.
"Pasien yang bernama Andin hilang dok"
"Kalau terjadi apa-apa sama anak saya, saya akan tuntut Rumah Sakit ini" ancam Lisa.
"Harap Ibu tenang dulu ya, kami akan berusaha mencarinya"
"Gimana saya bisa tenang dok, anak saya hilang"
"Tolong kasih tau security tutup pintu masuk, jangan biarkan ada pasien atau siapapun yang keluar sebelum saya kesana" perintah Dokter pada Suster.
"Baik dok" Suster pergi dengan terburu-buru menemui security yang berjaga di pintu masuk dan juga parkiran. Usai diberitahu kejadiannya, security itu cepat melaksanakan tugasnya yaitu mengunci pintu. Bahkan Ibu-ibu yang baru saja membesuk keluarganya di Rumah Sakit itu tidak diperbolehkan keluar.
"Maaf ya bu ini perintah" ucap Security memegangi pintu.
"Silahkan Bu" Dokter yang baru muncul mempersilahkannya keluar.

Karena Febby bersikeras tidak mau membuka pintu kamar, Verrel pergi memakai motor. Mendengar suara motor itu, Febby cepat-cepat keluar.
"VERREL..." Jeritnya memanggil, tapi sayang Verrel tidak mendengar dan motornya semakin melaju kencang.
Ditinggal Verrel pergi, entah kenapa hatinya tiba-tiba sedih. Sedangkan tadi ia jengkelnya luar biasa.
"Awas aja kalau pulang nanti, aku bakal cakar-cakar muka gantengnya" tekadnya sangat menggebu-gebu, tapi setelah itu mukanya kembali sedih.
Mungkin inilah yang namanya cinta sejati. Meskipun benci tapi tetap saja rindu. Dibibir bilang tidak mau, tapi dihatinya ingin. Ia kemudian masuk dengan langkah gontai dan mengerucutkan bibir. Akibat bete, ia ngemilin kacang sebagai pelampiasan diruang tamu sambil tidur-tiduran. Dan lebih parahnya lagi, kulit kacangnya dibuang ke sembarangan tempat.
"Biarin aja, biar rumah berantakan sekalian" gerutunya sambil terus memakannya.

Untuk menghilangkan stres, Bella pergi ke supermarket. Namun saat hendak memegang troli, Mawar kebetulan memegangnya lebih dulu.
"Wah nggak nyangka ya kita bisa ketemu disini" celetuk Mawar dengan sumringah.
"Iya kebetulan sekali, kok bisa ya?"
Dari nada bicaranya, Bella sepertinya menyindir secara halus.
"Bisa dong, aku sama Ammar aja kebetulan lho"
"Maaf saya duluan" pamit Bella meninggalkannya.
"Kenapa harus buru-buru sih?" Mawar sengaja mendorong trolinya kearah Bella.
"Saya sudah cukup mengalah Mawar, jadi tolong jangan membuat masalah" sahut Bella sambil menghindar dan menoleh.
Diwaktu yang sama Ammar menangkap troli itu.
"Kamu mau mencelakai Bella, iya?" Bentak Ammar menatap Mawar.
"Mmm aku nggak sengaja" jawab Mawar gugup.
"Mungkin Mawar memang tidak sengaja" tambah Bella.
"Awas ya kalau kamu macam-macam" ancam Ammar.
"Siapa juga sih yang mau macam-macam, Oia sekarang kita harus ke butik, kita harus fitting baju" ajak Mawar menggandeng tangannya.
"SAYA BILANG LEPASIN..." Ammar kembali membentak dengan kencang.
Bella meliriknya sejenak dan pergi.
"Tunggu sayang..." Ammar melepaskan tangannya dan mengejar Bella.
Rasa cemburu Mawar seketika memuncak, tapi itu mampu ia tahan.
"Tenang Mawar, sebentar lagi kamu akan menikah dengan Ammar, jadi tahan emosi kamu oke" Mawar membatin sambil meredam emosi.
"Seharusnya kamu menemani Mawar" ucap Bella sambil membawa keranjang.
"Prioritas saya cuma kamu"
Bella tertegun menatapnya.
"sini keranjangnya biar saya aja yang bawa" Ammar meraih keranjang itu dan menggandengnya.

Verrel, Wira, Aldo, Reno dan Astra datang ke apartemen Marcopolo. Kebetulan saja mereka berpapasan dengan Vani yang baru turun dari ojeg.
"Mama kok naik ojeg, memangnya mobil mama kemana?" Tanya Verrel
usai mereka menyalaminya.
"Mmm mobil mama..." Vani kebingungan mencari jawaban yang tepat.
"Mobil mama kamu ada di bengkel saya"
Untung Rifki datang tepat waktu dan menyelamatkan kebingungannya.
"Oia gimana om, apa papa bilang sesuatu sama om?"
"Wahyu minta uang tebusan 100 miliar"
"Haah..."
"Busyet"
"Gila banyak amat minta tebusannya"
Reaksi Verrel dan teman-temannya sungguh mengejutkan.
"Kenapa kita nggak lapor polisi aja om?" Tanya Wira.
"Itu akan membahayakan anaknya, karena papa pasti sudah punya persiapan" jawab Verrel.
"Terus apa yang harus kita lakukan?"
"Gimana kalau besok kita sama-sama ke alamat yang dimaksud papa, tapi jangan sampai ketahuan papa dan bodyguardnya"
"Maksudnya gimana?" Rifki masih bingung.
"Besok om bawa uangnya untuk memancing papa keluar, nah disaat itu juga ada yang masuk ke rumah itu, sisanya biar jadi urusan saya, gimana?"
"Kita setuju"
"Itu ide yang bagus"
"Jadi sebelum jam 6 pagi kita udah di sana"
Muka mereka tampak serius semua, kecuali Aldo yang senyum-senyum nggak jelas. Entah apa yang ada didalam pikirannya. Ternyata ia membayangkan wajah Livia yang sedang tersenyum padanya.
"Apa itu nggak bahaya?" Vani tampak ragu dan khawatir.
"Mama nggak usah khawatir ya" Verrel berusaha menenangkannya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang