part 136

146 22 5
                                    

Tak terasa semuanya sudah selesai dan siap di santap. Dengan berantusias mereka mengambil piring masing-masing, nasi, beserta daging dan sosis yang sudah dibakar. Aroma bakarannya sangatlah menggoda, sehingga perut mereka keroncongan tak sabar minta di isi. Namun Verrel dan Febby hanya menyantap daging dan sosis pakai saos sambal, tanpa nasi. Begitu juga dengan Ammar dan Bella. Sampai-sampai si kembar melongok sambil menelan ludah. Sepertinya si kembar juga sangat menginginkan apa yang mereka makan.
"Ya Allah kasiannya anak bunda, dicuekin ya...maafin bunda ya sayang" Gemas Febby menghampirinya. "Anak bunda kan masih kecil, nanti kalau udah gede, kalian bisa kok makan semuanya"
"Sabar ya sayang, tunggu kalian gede dulu" Tambah Verrel mengelus mereka.
"Oia, kalian setuju tidak, kalau saya mengangkat Verrel jadi ketua UKM basket, sekalian jadi pelatihnya?" Tanya Bella disela makannya.
"Wah saya setuju bu" Jawab Wira.
"Iya bener, Verrel lebih cocok jadi pelatihnya"
"Kita sih setuju banget, biar kemampuannya nggak lekang di makan zaman"
"Bener tuh"
"Tapi..." Verrel tampaknya masih ragu.
"Tapi kenapa? Apa kamu tidak mau?" Tanya Bella.
"Pasti akan ada pro dan kontra di kampus, belum tentu semuanya setuju dengan keputusan kak Bella" Jawab Verrel.
"Sebaiknya diadakan pemilihan saja di kampus, kalau hasilnya lebih dari 50 persen, maka Verrel berhak menjadi ketua, tapi kalau di bawah 50 persen, itu artinya banyak yang tidak menyetujui" Dengan panjang lebar Ammar memberi ide.
"Iya juga ya, ya sudah nanti akan kita adakan pemilihannya"
Sementara Febby sibuk menyuapi si kembar dengan air putih pakai sendok. Usai makan-makan, semua tampak kekenyangan. Bella mengucap syukur bisa makan-makan bareng bersama mereka. Ia juga mengucapkan terimakasih, berkat mereka yang sudah memenangkan kompetisi, nama kampusnya semakin di kenal, bahkan membanggakan. Itu semua berkat kekompakan mereka. Sayangnya Aldo yang ikut dalam kompetisi malah tidak datang. Itu sangat di sayangkan Verrel.
"Eiit, lo semua jangan pulang dulu" Febby menahan Wira yang hendak pulang. "Sebelum semuanya beres"
"Iya tenang aja pasti kita beresin kok"
"Ya udah selamat beres-beres ya, soalnya gue mau nidurin si kembar dulu" Sambil melambaikan tangan Febby meninggalkan mereka.
"Iya tau yang punya anak" Gumam Livia bernada meledek.
Mereka lekas membereskan semuanya. Ada yang mengangkat kursi, ada juga yang membawa piring kotor ke dapur.
"Udah nggak usah bu, biar kita-kita aja" Larang Livia kala Bella ingin membantu.
"Iya bu nggak usah, masalah ini mah kecil kita bisa kok" Tambah Reno.
"Ya sudah kalau gitu, kita pamit duluan ya"
"Iya bu"
"Oke duluan ya" Ammar juga berpamitan.
"Assalamuallaikum"
"Walaikumsallam"

Setelah Nasya masuk, Aldo mengendap-endap memasuki halaman rumah itu. Ia sangat penasaran benda apa yang sudah dikuburkan Nasya didekat pohon. Setelah mengamati keadaan, Aldo menggali gundukan tanah itu dengan sangat hati-hati pakai tangan. Berhubung tidak ada cangkul atau sejenisnya, tangannya pun terasa sakit. Akhirnya ia mematahkan ranting kayu pohon itu untuk sebagai alat menggalinya, namun suaranya terdengar oleh Nasya. Nasya lekas membuka pintu dan mendapati Aldo yang sudah berhasil menggali tanahnya.
"Buku apaan sih ini? Sampai dikubur segala" Rasa penasaran Aldo makin tinggi.
"ALDO..."
Teriakan Nasya membuatnya terkejut saat memegang diary itu.
"APA YANG UDAH LO LAKUIN...? INI BUKU GUE..." Nasya benar-benar marah sambil merampas diarynya.
"Sorry, gue cuma penasaran aja"
Tanpa berpikir panjang Nasya memelintir tangan Aldo ke belakang.
"Sorry sya gue nggak bermaksud yang aneh-aneh kok" Aldo berharap Nasya melepaskannya, tapi Nasya menyeretnya sampai keluar.
"Gue peringatin sama lo ya, lo jangan coba-coba ganggu kehidupan gue, karena gue nggak akan segan-segan ngebuat lo menyesal"
"Iya iya gue janji, lepasin pliss"
Nasya melepaskannya sambil mendorongnya agak keras.
"Awas lo kalau masih berani-beraninya kesini lagi"
"Galak banget sih jadi cewek" Sembari kembali ke motor yang diparkirnya diujung jalan. "Penasaran gue, buku apa sih itu sebenarnya? Coba aja kalau nggak ketahuan, gue pasti bisa ngambil buku itu"
Sedangkan Nasya kembali masuk membawa diarynya. Ia bingung harus menyimpannya dimana lagi, agar tidak bisa melihatnya.

Malam sudah larut. Febby pusing melihat piring kotor menumpuk di tempat pencucian piring. Ingin membangunkan bu Rahmi, tapi tidak enak karena bu Rahmi sudah tidur, bahkan lampu kamarnya sudah padam. Ia kemudian mengikat rambutnya tinggi-tinggi dan mulai yang sedikit berantakan.
"Kretek kretek..."
Mendengar riuh suara piring berdenting dari dapur, Verrel lekas bangun melangkah menuju dapur.
"Bunda..."
"Iya"
"Kok malam-malam cuci piring?"
"Kasian bu Rahmi kalau harus dibebani semuanya, apalagi besok harus ngasuh anak-anak"
"Ayah juga nggak tau kenapa mama akhir-akhir ini susah banget dihubungi, apa mama udah nggak mau lagi ngasuh mereka?"
Sambil ngobrol mereka saling bekerjasama. Febby mencuci piring, sedangkan Verrel yang membilas dan menyusunnya.
"Ayah nggak boleh berpikir kayak gitu ah, kita kan belum tau alasannya"
"Iya sih, terus gimana dengan mama Naya?"
"Sudahlah, mana mungkin mama mau ngasuh mereka, mama kan sibuk ngurusin si bunga Mawar itu"
"Aaah akhirnya selesai juga" Riang Verrel setelah semuanya beres.
Febby merentangkan tangan dan meluruskan pinggang disaat Verrel ingin membuka kulkas.
"Kenapa pinggangnya? Pegel...?"
Febby sih tidak menjawab, hanya menunjukkan sebuah gelengan kecil. Tapi Verrel sangat mengerti dengan kondisi lelah istrinya saat ini. Sambil tersenyum ia menggandengnya ke kamar.
"Hoaam..." Verrel menguap sembari menutupnya pakai tangan kiri.
Febby membiarkan Verrel berbaring duluan, karena ingin mengecek keadaan si kembar yang lagi terlelap tidur dengan memeluk guling. Febby tersenyum lembut menatap mereka. Terkadang ia ingin tertawa kalau melihat ekpresinya tanpa guling mungilnya. Ekpresi yang ngambek tapi sangat menggemaskan.
"Selamat bobo anak-anak bunda... " Setelah mengelus kepalanya, ia memberikan kecupan manis didahi mereka satu persatu.
"Si kembar katanya minta dibeliin sepatu baru bunda" Celetuk Verrel dari balik selimut.
"Kayaknya bukan si kembar deh yang minta beliin sepatu" Sahut Febby menoleh. "Bilang aja Ayahnya yang minta dibeliin, iya kan?" Sambungnya.
"Kok bunda tau sih? Hehehe..." Verrel menahan malu sembari menutupi sebagian wajahnya dengan selimut.
"Ketahuan niye..." Goda Febby membuka selimut itu.
"Ya abisnya sepatu ayah buat main basket udah..."
"Iya nanti kita beli sama-sama, sekalian buat si kembar juga" Potongnya cepat.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang