part 20

311 18 7
                                    

"Sejujurnya aku tidak menyetujui pernikahan ini" ucap Naya.
Spontan semua saling melirik satu sama lain. Naya melihat ada kecemasan dan keraguan dalam diri Ammar dan Bella. Mereka sangat berharap kalau Naya merestuinya.
"Tapi aku tidak mungkin menghalangi manusia yang saling mencintai, sebaiknya kalian menikah secara resmi" lanjut Naya.
"Jadi, mama benar-benar merestui kita?" Tanya Ammar penasaran.
Walaupun terasa berat, tapi Naya berusaha tetap tersenyum sembari mengangguk. Karena biar bagaimanapun juga, Ammar lah yang akan menjalani bahtera rumah tangganya. Lagi-lagi Bella merasa mual.
"Bella ke toilet dulu ya..."
"Kamu kenapa?" Tanya Ammar.
"Mual, pengen muntah" Bella buru-buru ke toilet.
"Ammar nyusul Bella sebentar" Ammar juga ke toilet menyusul Bella.
Sampai di toilet, Bella muntah-muntah sampai ia terasa lemas.
"Ya ampun sayang" dengan penuh kasih sayang Ammar memijit bagian bahunya. "Sayang harus banyak istirahat"
"Ini kan toilet cewek" ucap seseorang ketika melihat mereka.
"Iya saya tau, tapi istri saya lagi nggak enak badan, makanya saya susul kesini" jelas Ammar.
"Ooo..." barulah orang itu mengerti.
Ammar kemudian mengajak Bella kembali.

Pagi-pagi di kediamannya, semangat Febby begitu tinggi untuk berangkat ke kampus. Meskipun kakinya masih menggunakan kruk, tapi tak mengurangi rasa semangatnya dalam menyisir rambut. Apa ini yang namanya cinta sejati? Tapi masak iya sih Verrel nembak gue cuma lewat surat...?" Tapi ia tak terlalu mempermasalahkan itu. Yang penting baginya, Verrel sudah menembaknya dengan panah asmara. Dan panah itu menancap tepat di hatinya.
"Ayo kak kita berangkat" dengan penuh semangat Febby mengajak Ammar yang masih sarapan.
"Tumben semangat banget mau ke kampus"
"Iya dong, kan hari ini mau bakti sosial donor darah"
Padahal bukan itu yang membuatnya semangat ke kampus, melainkan karena si Verrel yang sudah berhasil mengaduk-aduk perasaannya.
"Oia, nanti pulang dari kampus kita ke dokter untuk ngontrol kaki kamu"
"Oke bos..." Riang Febby.
Sementara dijalan umum, ada pengendara dengan motor gede melaju santai dari kejauhan. Karena berhubung waktu sudah menunjukkan pukul 10 siang, terpaksa Verrel mempercepat laju motornya. Ia juga sempat menyalip Bima dengan teman-temannya. Sukses sebagai aktor, Verrel akhirnya mampu membeli motor gede yang keren seperti yang di impikannya selama ini.
"Siapa tuh...?" Gumam Bima melirik kearah teman-temannya.
"Wah, berarti dia ngajak perang tuh Bim" salah satu temannya memanas-manasi.
Merasa diremehkan, Bima tancap gas ingin menyalipnya. Mereka tampak beriring-iringan sambil menatap satu sama lain. Verrel tersenyum tipis.
"Heeh siapa lo?" Dengan ketus Bima bertanya.
Verrel membuka kaca helmnya.
"Haah...si Verrel..." Bima terperangah tak percaya, tapi wajahnya begitu jelas.
Tanpa banyak basa-basi Verrel melaju kencang meninggalkannya. Meskipun Bima sudah berusaha mengejarnya, tapi tetap saja ia jauh tertinggal. Sampai di kampus, Verrel memarkirkan motornya.
"Hmmm baru bisa beli motor begini aja udah gaya" ejek Bima parkir di sampingnya.
Namun Verrel tak mau emosinya terpancing oleh celetukan Bima. Dengan santai Verrel melepaskan helm dan memberikan senyum hangatnya kepada Bima yang tampak kesal dan iri.
"Hai..." Sapa Febby tiba-tiba.
"Hai juga cantik" sahut Bima, tapi Febby tampak cuek.
"Ini motor kamu?" Riang Febby kepada Verrel.
"Iya, aku baru beli kemarin" jawab Verrel malu-malu.
Entah ada angin apa pokoknya mereka sudah bilang aku kamu. Tentu saja itu membuat hati Bima jadi semakin cemburu. Didalam pikiran Bima apa mereka sudah jadian?" Padahal sebenarnya belum.

Di lobby, Bella dan Bu Fira nampak disibukkan dengan kegiatan bakti sosial. Karena serangkaian acara HUT kampus yang ke-50 adalah bakti sosial, dan besok diakhiri dengan acara city walk. Acara tersebut bekerjasama dengan Rumah Sakit Medika. Beberapa mahasiswa sudah ada yang mendonorkan darahnya.
"Eh lo udah cek darah belum?" Tanya Livia kepada Febby yang baru datang bersama Verrel.
"Aduh, gimana ya...gue kan darah rendah" jawab Febby.
"Kalau darah rendah sih nggak boleh" celetuk Verrel agak dingin.
"Eeit mau kemana?" Tahan Livia ketika Verrel ingin kabur.
"Gue mau pipis" Verrel mencari alasan.
"Orang cuma kayak digigit semut kok, yuk" bujuk Livia, ia seolah-olah tau kalau Verrel itu takut jarum suntik.
Untuk menahan rasa gengsi, akhirnya dengan perasaan takut Verrel mau mendonorkan darahnya.
"Sus jarumnya gede apa kecil?" Tanya Verrel sambil melirik jarum yang dipegang suster.
"Tidak usah takut jarumnya kecil kok" jelas si suster menatap wajahnya yang ketakutan.
"AAAAA..." Verrel histeris.
"Belum juga disuntik" ucap si suster.
"Ini bakti sosial, jadi lo harus berani" tambah Livia, sementara si Febby malah ingin tertawa.
"Hehehe...nggak cerdas sih, kayak gue dong pinter cari alasan" Febby membatin sambil menahan tawa.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang