Akibat kehebohan yang dibuat Ammar diatas aula kampus, semua dosen dan sebagian mahasiswa masih berkerumun di lobby dekat tangga. Tak berapa lama Ammar muncul dari atas tangga bersama Bella dan juga Naya.
"Saya tidak menyangka kalau ternyata pak Ammar itu punya dua istri"
"Iya saya juga tidak menyangka, saya pikir Ammar itu bisa setia sama satu istri, tapi ternyata dugaan saya salah"
Perbincangan dosen dan para mahasiswa itu bikin telinga Ammar makin panas. Entah dari mana dan siapa yang menyebarkan gosip itu. Kini ia jadi bahan perbincangan satu kampus. Tak sedikit yang menyindir dan menyayangkan tindakannya yang menduakan istri itu, tapi tak sedikit juga yang kagum terhadap Bella.
"Kalau kalian tidak tau keseluruhan hidup saya, lebih baik mulut kalian diam" ancam Ammar dengan tatapan yang nanar.
"Ammar sudah, lebih baik kita pulang ya" ajak Bella memegangi lengan Ammar yang tampak mengepal menahan amarah.
Semua mahasiswa membubarkan diri setelah pak Rektor meminta mereka bubar.
Sambil menyetir, sesekali Bella menatap Ammar yang tampak murung di sebelahnya, sedangkan Naya duduk dibelakang dengan kegelisahan. Naya menyesal sudah merestui pernikahan mereka. Kalau seandainya dari awal ia tahu kalau Bella tidak bisa mempunyai anak, ia pasti akan menjodohkan Ammar dengan wanita lain. Keadaan hening sampai dikediamannya. Naya juga tak ingin membuat Ammar makin murung, jadi ia membiarkan Ammar dibawa Bella ke kamar.
"Apa kamu mau kopi atau sesuatu?" Tanya Bella saat Ammar duduk disisi ranjang.
Tapi tak jawaban dari Ammar. Ammar hanya menahan lengan Bella dan menepuk sprei memintanya duduk.
"Kamu mau apa?" Tanya Bella lagi sambil duduk.
"Saya cuma mau kamu didekat saya" Ammar memeluknya erat sekali, seperti takut kehilangan.
"Saya tidak mau kamu banyak pikiran" balas Bella sambil mengusap punggung Ammar yang mulai tenang.Feverr masih menikmati suasana romantis dinnernya sambil menatap langit yang cerah dengan taburan bintang. Tangannya seakan-akan tak mau lepas dari genggaman Verrel. Seumur hidupnya, ia tidak pernah diperlakukan seromantis ini. Berharap waktu tak cepat berlalu, tapi sayang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Bunda..."
Panggilan itu begitu lembut terdengar, hingga Febby hanya mendongak.
Akhirnya mereka saling beradu tatap. Mata bulat Verrel memang sangat mengagumkan, jadi ia tidak dapat berpaling, apalagi menghindar.
"Udah yuk" ucap Verrel lagi, tapi sepertinya Febby enggan pulang. "Kasian mama pasti nungguin kita"
"Hmmm ya udah deh"
Sementara Wahyu menghadang kendaraan Rifki ditengah jalan saat Rifki ingin menjemput Vani dikediaman Verrel. Terpaksa Rifki keluar.
"Saya sudah tidak punya urusan lagi sama kamu Wahyu, jadi tolong jangan halangi saya"
"Kata siapa kita sudah tidak punya urusan lagi, kata siapa?"
"Antara kamu dengan Vani itu sudah berbeda, kalian sudah tidak punya ikatan lagi, jadi apa yang kamu inginkan dari saya?"
"Kalau kamu mau hidup tenang, serahkan salah satu perusahaan kamu sama saya"
"Apa? Kamu mau minta salah satu perusahaan saya? Apa saya tidak salah dengar? Hahaha..."
"Tidak banyak bicara kamu Rifki, kamu tidak tau siapa saya, jadi ikuti saja apa yang saya minta"
"Tidak semudah itu Wahyu" Rifki lalu kembali masuk ke mobil. "Minggir, sebelum saya bertindak nekad"
Karena Rifki nekad ingin menabraknya, Wahyu melompat ke belakang menghindarinya. Dari kaca spion, Rifki melihat Wahyu tersungkur.
Sampai di rumahnya, Verrel sengaja meminta Febby ke kamar duluan. Sedangkan ia menemui Vani di kamar sebelah yang tengah menjaga si kembar. Alhamdulillah si kembar juga sudah tertidur dengan pulas.
"Eh udah pulang" gumam Vani tersadar dari tidurnya.
"Udah ma"
"Ya udah kalau gitu mama pulang dulu ya"
"Makasih ya ma, Oia yang jemput mama siapa?"
"Papa Rifki, kayaknya udah di depan, tuh suara mobilnya" kala mendengar suara pintu mobil terbuka.
Saat Febby membuka pintu kamar, ia kembali tercengang sambil menekan dada. Bibirnya tak bisa berkata kecuali kagum dan tersenyum melihat lilin manis dan lembut menghias jendela. Kelopak mawar merah berbentuk hati tertata rapi diatas tempat tidur. Aroma wangi bunga itu begitu menggoda jiwa.
"Masyaallah..." Pujinya sambil menduduki ranjang itu dengan sangat hati-hati.
Diambilnya salah satu kelopak bunga itu dan menghirup aromanya. Sedangkan Verrel berdiri didepan pintu sambil mengendurkan dasi.
"Apa Bunda suka?"
"Suka" jawabnya mengangguk.
Verrel kemudian melepaskan jilbab Febby. Tatapan Verrel dan sentuhan tangannya begitu lembut dan hangat, sampai matanya terpejam kala Verrel mencium keningnya. Secara tak sadar mereka membaringkan tubuhnya masing-masing.
"Hidung Bunda kok..." Verrel sengaja menggantungkan kata-katanya sambil memperhatikan setiap inci wajah istrinya tersebut.
"Memangnya hidung Bunda kenapa? Ada sesuatu ya" Febby sudah panik nggak karuan, ia takut banget kalau terlihat jelek dimata suaminya.
"Pesek" jawab Verrel dalam hati.
"Ada apa yah?" Tanya Febby lagi ingin bangkit, tapi Verrel merebahkan tubuh Febby menahannya.
"Ya pesek..." jawab Verrel dengan posisi miring sambil menekan hidung yang bangir itu dengan telunjuk.
"Iya iya yang punya hidung mancung" kali ini Febby tak mau kalah, ia memencet hidung Verrel sampai kesulitan bernafas dan mencubit pinggangnya.
"Ampun ampun Bunda" rengek Verrel sambil meronta-ronta kegelian.
"Enak banget kan?" Sindir Febby melepaskan cubitannya.
"Enak kok dicubit sama istri"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
Ficción GeneralApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...