part 152

161 23 0
                                    

"Ayah lho yang nendang bukan kita bun..." Dengan mimik yang lucu Imam mengangkat kedua tangan, karena tidak mau di salahkan.
"Kok Ayah sih, kan yang main kita bertiga" Sahut Verrel membujuk mereka.
"Tapi kan Ayah yang nendang" Yusuf membela Imam.
"Astaghfirullahaladzim...kok bisa pecah begini?" Tanya Febby melirik mereka, namun yang terlihat Imam dan Yusuf menunjuk Ayahnya yang sengaja memalingkan wajah, karena tak sanggup jika harus menghadapi amukan Febby.
"Yang main kan kalian bertiga, jadi kalian bertiga yang harus bertanggungjawab, oke" Tegas Febby.
"Iya betul, seharusnya memang begitu, sebagai laki-laki kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita" Verrel membenarkan perkataan Febby.
"Begitu ya yah?" Tanya Imam.
"Ya iya dong, yuk kita beresin" Ajak Verrel.

Tak jauh dari rumah Mawar, Ammar sedang memperhatikan Sultan yang bermain dengan Alan di beranda rumahnya. Ammar merasa bersalah. Karena selama Sultan dalam kandungan Mawar, Ammar tidak terlalu memperhatikannya. Meskipun Sultan terlahir dari wanita yang tidak di cintainya, tapi rasa sayangnya terhadap Sultan sangatlah besar. Biar bagaimana pun dia adalah darah dagingnya. Usianya yang baru menginjak 1,5 tahun memang harus ektra pengawasan, apalagi dia sudah bisa berjalan kemanapun yang dia suka. Sejenak kemudian Alan tak sengaja melihat Ammar yang tampaknya bersedih.
"AMMAR..." Panggil Alan.
Ammar ingin pergi, tapi Alan berteriak mengatakan kalau Sultan sangat membutuhkannya.
Mau tidak mau Ammar melangkahkan kakinya mendekati mereka.
"Apa saya boleh gendong Sultan?" Dengan tangan gemetar Ammar berbicara.
"Kenapa harus minta izin sih Mar, Sultan kan anak kamu, darah daging kamu" Alan memberikan Sultan padanya.
Kini Sultan ada dalam gendongan Ammar, mengajaknya berbicara dengan bahasa Sultan yang masih belum di mengerti. Sesekali Ammar mengelitiki pinggangnya, yang membuat Sultan terkekeh geli. Sultan tampaknya senang bermain dengannya.
"Sultan mau di ajak main kemana? Hmm..." Tanya Ammar sembari menengok Sultan yang duduk diatas bahunya.
"Au ubin ubinan..." Jawab Sultan dengan gaya bicara yang belum lancar.
"Ooo mau mobil-mobilan, mobil apa?"
"Ubin tede pa, ubin  pasin"
"Ya udah nanti papa beliin mobil angkut pasir yang gede, tapi Sultan nggak boleh nakal, oke"
"Ote..."
Ammar terus saja ingin tertawa mendengar bahasa Sultan yang lucu dan menggemaskan itu.
Sementara di dalam mobil, Bella menangis memperhatikan Ammar yang menggendong Sultan.
"Seandainya saja saya bisa punya anak, mungkin kehidupan kami tidak akan seperti ini"
Rupanya tadi Bella mengikuti kemanapun Ammar pergi. Saat Ammar memberikan Sultan pada Alan, Bella memutar arah mobilnya dengan cepat, segera meninggalkan tempat tersebut.
"Kenapa Ammar tidak bilang kalau mau menemui Sultan, saya juga tidak keberatan kok mau menemuinya kapan saja, lagipula itu adalah anaknya, saya juga tidak mungkin melarangnya, tapi kenapa Ammar tidak jujur?" Sambil nyetir ia berbicara sendiri menatap kaca spion, takut kalau Ammar mengetahuinya.
Setelah jauh dari tempat itu Bella menghubungi Ammar.
"Iya sayang" Jawab Ammar di ujung telepon.
"Mas lagi dimana sekarang?"
"Oh, saya lagi di jalan, sebentar lagi sampai"
"Ya udah saya tunggu di rumah ya"

Saat membereskan pecahan kaca di rumahnya, telunjuk Verrel terbeset oleh pecahan kaca tersebut. Imam dan Yusuf yang ngomongnya masih belepotan memanggil-manggil bundanya sambil berlarian ke dapur. Mereka silih berganti menceritakan insiden kecil tersebut. Febby yang lagi membersihkan dapur bersama Almeera jadi panik dan segera ke depan mengikuti dua jagoannya. Nampak Verrel tengah mengulum telunjuknya sembari meringis, namun darahnya tak mau berhenti. Febby meraih tangan Verrel meneteskan obat di telunjuk tersebut.
"Aduh pedih bunda..." Verrel merengek seperti anak kecil, sedangkan ketiga anaknya ikut meringis merasakan apa yang dirasakan Ayahnya.
"Makanya Ayah hati-hati" Ucap Febby membereskan p3k ke dalam kotaknya kembali. "Inget kalian juga sama" Sambungnya pada mereka.
"Iya bunda" Jawab mereka serempak.
"Sakit ya yah?" Almeera tak tega melihatnya.
"Hmm..." Verrel hanya tersenyum menatap mimik wajah Almeera yang iba padanya. "Sekarang udah nggak sakit kok, kan udah di obatin sama ibu dokternya" Lirik Verrel pada Febby.
"Memangnya bunda dokter juga ya yah?" Rasa penasaran Almeera begitu tinggi sambil memeluk Febby.
"Bunda ini dokter pribadi kita di rumah, jadi kalian jangan macam-macam sama bunda, kalau nggak mau di suntik pakai jarum gede" Sebenarnya Verrel ingin tertawa melihat ekpresi mereka.
"Kita nggak nakal kok bunda" Ucap mereka memeluk Febby.
"Ayah..." Tegur Febby, namun Verrel hanya menahan senyum.
"Bunda tau kok anak-anak bunda nggak nakal" Febby berjongkok membalas pelukan mereka. "Ya udah sekarang kita makan dulu yuk"
"Wah pasti masakannya enak banget nih, apalagi tadi Almeera yang bantu bunda masak" Puji Verrel mengajak mereka ke meja makan.
Bu Rahmi sudah menyiapkan piring untuk semuanya. Sekarang giliran Febby yang menaruh nasi ke semua piring. Verrel juga tak mau ketinggalan, ia membantu memberikan lauk untuk ketiga anaknya. Saat semua menikmati hidangan itu, Verrel justru kepikiran dengan Wahyu papanya. Sudah lama sekali ia tidak pernah menengoknya di penjara. Ia juga tidak pernah menceritakan hal itu pada anak-anaknya walaupun terkadang mereka bertanya dimana kakeknya. Verrel selalu mencari alasan yang tepat agar mereka tidak tau kebenarannya. Verrel tidak ingin mereka jadi bahan olokan teman-temannya di sekolah playgroup. Tiba-tiba luka di telunjuk Verrel terasa pedih, tapi Verrel menutupinya. Verrel tetap berusaha bisa menggunakan tangannya meskipun agak susah.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang