part 96

175 14 3
                                    

Diary itu tentang isi hatinya Nasya terhadap Verrel.
"Izinkan aku menikmati senyummu, walau engkau telah memilih yang lain.
Izinkan aku menikmati tawamu, walau engkau tak lagi bersamaku.
Aku tau, kau bukanlah akhir dari segalanya.
Tapi aku tak bisa menepis bayang-bayang mu dari ingatanku.
Aku tak bisa melawan takdir yang terus menginginkanmu, walau hanya sekedar mimpi.
Tapi aku sadar, jiwamu bukanlah untukku.
Semoga kau bahagia bersamanya"
Ada rasa jengkel saat Febby membaca curahan hatinya Nasya itu, tapi ada rasa iba yang juga menyelimuti. Seandainya itu ada di posisinya, pasti ia juga akan merasakan hal yang sama. Sangat berat bagi kita untuk melupakan orang yang kita inginkan. Tapi inilah kehidupan. Kita harus tetap berjalan ke depan. Karena kalau kita terus menoleh ke belakang, maka selamanya kita akan terjebak didalamnya. Febby kemudian membuka lembaran berikutnya. Masih banyak tentang curahan-curahan hati Nasya yang diperuntukkan untuk Verrel. Tapi ia malas membacanya. Apalagi mengingat tubuhnya yang menggendut, ia semakin jengkel. Untung saja diary itu tidak di robek-robeknya.
"Jadi Nasya sudah menaruh hati dengan Verrel sejak lama? Benar kan dugaanku selama ini, dari tatapannya aja beda"
Febby menerawang saat kala itu Nasya menatap Verrel dari kaca spion. Ia juga pernah memergoki mata Nasya berkaca-kaca menahan tangis saat di resepsi pernikahannya. Belum lagi pada saat beradegan mesra untuk keperluan sinetron. Terlihat sekali kalau Nasya sangat menjiwai perannya. Tapi spontan ia kaget dan menutup diary itu ketika Livia menepuk pundaknya dari belakang.
"Serius banget sih lo, lagi ngeliat apaan?"
"Bukan apa-apa kok, kita ke bawah yuk"
Sementara dari lantai tiga, Ammar dan Bella berdiri didekat kaca sambil memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang saling berdesak-desakan ingin mengisi KRS dibawah. Apalagi Bima dan Erry. Mereka paling senang kalau ada kericuhan. Yang ada bukannya membantu menenangkan, malah membuat keadaan semakin panas.
"GIMANA KITA MAU NGAMBIL MATA KULIAH KALAU KAYAK GINI..." Bima memprovokasi yang lain agar terus mendesak  Mila dan Rekannya.
"Ini gimana Bu?" Tanya pak Rektor menghampiri.
"Didalam Verrel lagi berupaya mengembalikan programnya, kasih kami waktu pak" jawab Bella.
"Baik Bu" pak Rektor kembali ke kantor.
"Kita harus bisa menenangkan mereka" ucap Ammar.
"Tapi gimana caranya?"
"Sini saya bisikin"
Bella mendekatkan telinganya, penasaran ide apa yang akan Ammar katakan? Tapi yang terjadi bukanlah sesuatu yang serius, melainkan sebuah kecupan mendarat cepat di pipinya.
"Ammar..." Panggilan manja Bella tertahan melihat Ammar  tersenyum geli meninggalkannya.
Wira semakin geram melihat kelakuan Bima dan Erry yang tak henti-hentinya membuat kegaduhan.
"Bisa nggak sih Lo diem, ini kampus, bukan pasar" maki Wira.
"Nggak usah munafik lo, lo juga kesel kan" balas Bima ingin melayangkan pukulan, tapi dari belakang Ammar menangkap tangannya.
"APA YANG AKAN KALIAN LAKUKAN...?" Sembari memberi tatapan nanar, Ammar membentaknya keras.
"KALIAN INI MAHASISWA, BUKAN PREMAN..." Lanjutnya sambil melepaskan tangan Bima.
Semua mahasiswa termasuk Erry, Astra, Zian dan Reno terdiam.
"APA KALIAN PIKIR DENGAN CARA INI BISA MENYELESAIKAN MASALAH...?"
Mereka membubarkan diri seketika, sedangkan didalam ruangan khusus, Verrel berkutat dengan laptop. Gerakan tangannya begitu cepat mengetik keyboard. Entah apa yang diketiknya. Setelah di enter, tapi programnya masih saja eror tak bisa dibuka.
"Ya Allah..." Ia mengeluh menekan kening dengan jari, sedangkan otaknya terus berpikir.

Mawar datang ke showroom pak Rifki, disaat pak Buyung ingin mengambil mobilnya di bengkel tersebut. Rivan bingung ingin menjelaskannya, sedangkan Rian menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal sembari melirik Tony.
"Saya mau bertemu dengan pak Rifki, ada kan didalam?" Tanya Mawar.
"Iya sebentar"
"Heh kamu mau kemana? Saya mau ngambil mobil saya" cerca pak Buyung pada Rivan yang ingin masuk ke kantor.
"Ya udah deh Ibu masuk aja langsung" perintah Rivan.
"Dari tadi kek" ketus Mawar memasuki kantor.
Tanpa diminta, Mawar duduk diruangan santai milik Rifki.
"Apa kabar?" Tanya Rifki menyodorkan tangan bersalaman.
"Baik, Oia, gimana dengan keuntungan yang kita dapatkan bulan ini?"
"Hmmm..., Kamu termasuk investor yang sangat cerdik ya"
"Tentu saja, mana laporan rekening korannya?"
"Sebentar ya" Rifki lalu menelepon bagian keuangan meminta rekening koran bulan ini. Tak berapa lama, si mba mengetuk pintu dan menyerahkan frint out rekening koran. Setelah dicek, keuntungan perusahaan itu cukup besar.
"Oke kalau begitu saya tunggu transferannya" ucap Mawar beranjak berdiri.
"Secepatnya akan saya transfer"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang