part 85

236 21 8
                                    

Verrel mengaduh pelan saat Febby tak sengaja menekan lengannya.
"Ini tangan Vibi kenapa?" Tanya Febby keheranan melihat lengannya ada bekas tancapan kuku.
"Ya bekas cakaran kuku Febby lah" jawabnya datar.
"Haah...masak sih? Kapan?"
"Ya waktu Febby ngelahirin si kembar, kurang dalem sih nancapin kukunya"
"Ya maaf..., Namanya juga reflek"
"Hmmm" Verrel memutar bola matanya sembari menghembuskan nafas. "Oke, aku akan maafin, tapi dengan satu syarat"
"Apa?"
Verrel menyodorkan pipinya sembari memasang senyuman termanis.  Dengan tersipu malu Febby memberikan kecupan lembutnya. Alhasil pipi Verrel bagaikan tersengat listrik. Tidak sakit, tapi justru menggemaskan. Sampai ia terpaku tak henti-hentinya mengelus itu pipi. Ada-ada saja ya tingkah mereka berdua, terkadang sama seperti orang yang baru merasakan jatuh cinta saja.

Setelah membesuk Febby, Livia lekas pulang dengan motor matic kesayangannya. Dari kaca spion terlihat ada kendaraan Wira, tapi Wira justru belok kiri. Livia penasaran sebenarnya Wira mau kemana, karena itu bukan jalan kearah rumahnya. Ia kemudian putar arah kendaraannya menelusuri jalan yang dilalui Wira. Sedangkan Wira menemui Nasya di komunitas skateboard. Disana tak hanya kaum laki-laki saja yang suka bermain skateboard, tapi perempuan seusianya juga banyak.
"Tumben lo nongkrong di tempat kayak gini?" Wira membuka obrolan.
"Lo salah, justru ini tempat gue dari dulu, berhubung gue sibuk kerja aja makanya jadi jarang main kesini"
Tampak beberapa anak-anak laki-laki dan juga perempuan menyapanya dari jauh. Bahkan ada juga yang masih kecil menyapanya sambil bermain skateboard. Ia hanya membalasnya dengan senyum dan lambaian tangan.
"Mereka semua temen-temen lo?"
"Bagi gue, mereka nggak hanya sekedar temen, tapi udah kayak saudara"
Wira tidak sadar dari kejauhan, kalau Livia lagi kecewa menatapnya.
"Gue pikir perasaan lo akan kembali ke gue..., Tapi ternyata gue salah!" Livia meninggalkan tempat itu sebelum Wira menoleh.
"Oia gimana dengan gebetan lo?" Tanya Nasya semangat. "Udah lo tembak belum?"
Wira hanya menggeleng. "Lho kenapa?"
"Gue belum siap aja menerima kekecewaan"
"Nembak aja belum udah mikirin kekecewaan, jangan kelamaan ntar nyesel lo"
Sampai dirumahnya, Livia menghubungi papanya yang tinggal di Amerika.
"Pa..., Kayaknya Via mau kuliah di Amrik aja pa" ia berkata lirih.
Papanya yang lagi mau meeting agak heran. Kenapa tiba-tiba Livia memutuskan ingin kuliah di Amrik? Padahal dari dulu ia bersikeras tidak mau tinggal bersamanya.
"Pa...papa dengerin Via nggak sih?"
"Oo iya, apa kamu sudah yakin dengan keputusan kamu?"
"Yakin pa"
Tapi dari nada bicara yang dingin, ia tahu pasti anak semata wayangnya itu lagi ada masalah dengan perasaan.
"Ya sudah nanti kamu kabarin aja kapan berangkatnya, soalnya papa lagi mau meeting"
"Iya pa"

Saat Vani ingin menjemput keluarga kecilnya Verrel di ruang VIV. Tiba-tiba alarm Rumah Sakit berbunyi. Sontak semua pasien jadi panik dan ketakutan. Suster bilang itu alarm tanda terjadi kebakaran, sehingga mereka berhamburan keluar, berupaya menyelamatkan diri masing-masing. Verrel benar-benar panik dan kebingungan .
"Gi gimana ini...?"
Untung saja box baby si kembar mempunyai roda, jadi Verrel lekas mendorong box tersebut sembari mengajak Febby.
"Ayo sayang"
"Udah kamu bawa aja dulu si kembar nggak usah mikirin aku"
Dua pilihan yang sangat sulit. Disamping ingin menyelamatkan si kembar, ia juga sangat mengkhawatirkan Febby yang masih lemas.
"KEBAKARAN...KEBAKARAN...KEBAKARAN..."
"AYO SEMUA HARUS TINGGALKAN TEMPAT INI..."
Ditengah kebingungan itu, untung Vani datang. Vani mendorong box bayi, sedangkan Verrel menggendong Febby. Tak ada yang menyangka kalau itu adalah perbuatan Andin. Dengan memakai masker ia terbahak-bahak dalam hati melihat suasana ricuh berlarian ke sana kemari. Dokter Jihan meminta petugas memeriksa semuanya, tapi salah satu suster bilang tidak ada kebakaran yang terjadi. Semua aman aman saja.
"Baby kita mana?" Febby baru ingat.
"Febby nggak usah khawatir, mereka udah sama mama"
Ada salah seorang tak sengaja menubruknya karena ketakutan, sehingga Febby terlepas.
"Aduh..." Punggung Febby terasa sakit.
"HATI-HATI DONG KALAU JALAN..." Kali ini Verrel sangat emosi sambil kembali menggendongnya, ia tidak rela melihat istrinya dalam keadaan seperti itu.
Udah gitu orang yang dimaki malah pergi saja tanpa meminta maaf.
"Udah nggak minta maaf lagi" lanjut Verrel mencercanya.
"Udah jangan marah-marah nanti cepat tua"
"VERREL..." Panggil Vani berdiri didepan taksi.
"Turunin, aku bisa jalan sendiri kok" ucap Febby.
Verrel menurunkannya. Sementara itu petugas keamanan memeriksa ruang alarm yang tadi menyala. Mereka menemukan bekas masker yang tergeletak dilantai. Mereka curiga sepertinya ada yang sengaja masuk ke ruangan itu.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang