part 89

193 15 4
                                    

Sesampainya di Rumah Sakit, mereka lekas membawa Almeera menemui Dokter khusus baby. Setelah diperiksa Dokter bilang itu hanya gejala flu biasa. Dokter memberikan berupa obat oles agar dada si baby terasa hangat.
"Kemungkinan pada saat dimandikan, baby Almeeranya tidak sengaja menghisap air mandinya sendiri"
"Oo begitu dok"
"Iya"
Sedangkan pulang dari olahraga pagi, Febby panik dan menangis saat Vani memberitahu Almeera dibawa ke Rumah Sakit.
"Bunda jangan panik dulu, aku yakin Almeera nggak kenapa-kenapa" ucap Verrel menenangkannya.
"Nggak kenapa-kenapa gimana? Pokoknya sekarang kita susul ke Rumah Sakit"
Namun Ammar dan Bella tiba dengan membawa Almeera.
"Almeera kenapa kak?" Tanya Febby langsung mengambilnya.
"Kata Dokter Almeera lagi flu" jawab Ammar.
"Ini obat yang harus dioles ke bagian dadanya setiap habis mandi" tambah Bella menyerahkan obat itu pada Verrel.

Diatas gedung yang cukup tinggi, tangan Dino terikat. Matanya memicing silau menatap sinar mentari yang menyorotnya. Kenapa gue bisa ada disini?" Setelah mengingat barulah ia mengerti kenapa bisa ada disini.
"PROK PROK PROK..." Bima muncul sambil bertepuk tangan bersama Raka dan Chiko.
"Sebenernya lo mau apa sih?" Tegas Dino berusaha melepaskan tangannya yang terikat ke belakang itu.
"Gue mau apa ka?" Ejek Bima melirik Raka.
Mereka hanya tersenyum saja.
"Lo nggak usah pura-pura nggak tau" lanjutnya. "Apa tujuan lo ke sungai waktu itu kalau bukan mau membunuh gue?"
Dino tercekat atas pertanyaan itu.
"Apa lo punya bukti? Nggak ada kan?" Dino berupaya mengelak.
"Terus lo ngapain ngendap-endap ke sungai itu? Kalau bukan mau ngecek keadaan gue?" Bima mencengkeram kerah baju Dino yang seolah-olah tak merasa bersalah.
"Gue nggak tau sama sekali kalau lo ada di sana, lagian gue kesana itu mau nemuin saudara gue,  bukan mau ngecek keadaan lo, jadi lo nggak usah kepedean"
Tapi Bima tak percaya begitu saja. Penjelasan itu justru membuatnya curiga karena Dino agak gugup.
Bima memukul wajahnya dengan keras. Karena tidak bisa menahan amarah, Dino berdiri mengibas-ngibaskan kursi yang terikat dengan tangannya kearah mereka. Namun ada suara seseorang yang ingin menuju keatas gedung itu, sehingga Bima mengajak mereka pergi.
Orang itu sempat berpapasan dengan mereka.
"TOLOONG..." Dino berteriak.
Mendapati tangan Dino terikat dan berteriak meminta pertolongan, orang itu segera menolongnya.
"Tolong lepasin saya pak"
"Apa ini perbuatan mereka barusan?"
"Iya pak betul"
"Dasar anak zaman sekarang, bisanya cuma melakukan kekerasan"
Disisi lain, Andin kesal mengingat tadi saat Verrel berhasil melindungi Febby. Padahal ia sudah membayar orang suruhan, tapi hasilnya gagal gara-gara Verrel kembali lebih cepat.
"Sepertinya gue harus melakukan cara lain!"

Livia bersiap-siap ingin pergi ke opening cafe mininya bersama teman-temannya, tapi papanya menelepon.
"Via nggak jadi kuliah di sana pa" ucap Livia cepat sebelum papanya memberikan pertanyaan.
"Bilang aja karena kamu udah nggak galau lagi kan? Makanya nggak jadi berangkat"
"Iih papa bisa aja deh"
Persiapan cafe mini sudah 100 persen. Tampak Wira dan Aldo sudah disana. Tak berapa lama datang mobil Verrel.
"Kok Febby nggak ikut?" Tanya Wira melihatnya turun seorang diri.
"Anak gue lagi sakit, jadi Febby nggak bisa ikut"
Sekumpulan orang-orang berdatangan bersamaan dengan Livia. Kali ini Livia tampak menawan yang memikat hatinya Wira dan Aldo. Mereka bersiap-siap memotong pita sebagai awal pembukaan cafenya.
"Bismillahirrahmanirrahim, mudah-mudahan cafe ini maju dan sukses..." Verrel memanjatkan doa sebelum menggunting pita itu.
"Amin..." Sahut mereka secara bersamaan.
"PROK PROK PROK..." Tepukan tangan mereka mengiringi pemotongan pita itu. Berhubung itu adalah opening, jadi mereka memberikan diskon untuk para pengunjung yang sudah tidak sabar lagi ingin merasakan menu-menu tersebut. Dengan harga yang cukup relatif murah, tapi terlihat mewah. Saking sibuknya melayani mereka, Verrel tidak sempat menerima video call dari Febby yang sedari tadi penasaran dengan openingnya.
"Kok nggak diangkat-angkat sih iih..., Aku kan pengen liat!"

Bella ingin menemui pak Hidayat di suatu tempat yang agak tertutup dan sepi. Namun ternyata itu bukan pak Hidayat, melainkan orang lain yang memanfaatkan waktu untuk ngobrol dengannya. Usianya juga masih terbilang muda. Mungkin sepantaran dengan Ammar suaminya.
Awalnya orang tersebut memberikan senyuman manis menyambut kedatangannya.
"Apa Bapak ini adalah utusan pak Hidayat?" Tanya Bella sambil menduduki kursi yang sudah tersedia untuknya.
"Iya betul, perkenalkan nama saya Rivaldi" sambil menyodorkan tangan.
Bella pun menyambutnya tanpa ada kecurigaan sama sekali.
"Panggil saja saya Rival atau Valdi" lanjutnya tersenyum manis.
Rivaldi menuangkan segelas air untuknya.
"Silahkan" Selanjutnya ia menawarkan segelas minuman itu.
"Maaf saya tidak minum", Bella menolaknya dengan halus.
"Oia saya sengaja bertemu ditempat ini ingin menyampaikan pesan dari pak... siapa tadi?"
"Kok dia bisa lupa sama pimpinannya sendiri" Bella membatin sembari menyipitkan sebelah mata.
Disisi lain, Ammar mencarinya didepan jalan karena melihat ada mobilnya bertengger di sana.
"Kenapa pak Hidayat ngajak Bella ketemuan ditempat sepi seperti ini?" Setelah berpikir dua kali, Ammar memutuskan untuk masuk ke tempat itu, tapi seorang bodyguard menahannya.
"Maaf pak, bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk"
"Tapi istri saya ada didalam"
"Iya saya tau, mereka lagi meeting, jadi biarkan mereka menyelesaikan meetingnya dulu"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang